BAYANG SERIBU BULU PERINDU

Daftar Isi

Manajemen Cinta

Genre : Romansa Asmara

Author : Mbah Salim

Jumlah Bab : 2

Jenis : Cerpen

⭐ 9.5 (Top Gold)
Share: Facebook Twitter Threads Salin Tautan
BAB 1
CINTA YANG TAK PERNAH SAMPAI
Sosok Joko sedang memegang Bulu perindu

PROLOG

Joko adalah seorang pemuda yang tinggal di sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian kota. Di usianya yang ke-29, Joko merasa hidupnya berjalan biasa saja, seperti kebanyakan orang desa pada umumnya. 


Ia seorang petani yang setiap pagi berangkat ke sawah, menanam padi dan merawat tanaman. Pekerjaannya sederhana, namun di balik kesibukannya itu, ada sebuah kegelisahan yang tak pernah hilang—tentang cinta.


Di desa itu, Joko tak pernah benar-benar berhasil mendapatkan hati seorang perempuan. Ia bukanlah pria yang buruk rupa, dengan tubuhnya yang tegap dan wajah yang bisa dibilang cukup tampan. Namun entah mengapa, setiap kali ia jatuh hati pada seorang gadis, perasaannya selalu kandas. Entah karena ia terlalu pemalu, atau mungkin karena ia terlalu merasa tidak cukup pantas untuk mereka.


Ada Ayu, gadis yang selalu mengisi pikirannya. Ayu adalah gadis desa yang sederhana, dengan senyuman yang mampu membuat hati Joko berdebar setiap kali mereka bertemu. Namun, meski ia telah lama menyimpan perasaan untuk Ayu, tak pernah sekalipun ia berani mengungkapkan cintanya. Ayu selalu tampak begitu sempurna di matanya, dan Joko merasa dirinya terlalu biasa untuk bisa meraih hati gadis secantik Ayu.


Setiap kali Joko berusaha mendekati Ayu, selalu saja ada rasa ragu yang menghalanginya. Ia hanya bisa mengagumi Ayu dari jauh, tidak pernah memiliki cukup keberanian untuk melangkah lebih dekat. Bahkan saat ada kesempatan berbicara, Joko seringkali hanya bisa terdiam, bingung harus mulai dari mana. 


"Mungkin dia lebih suka dengan yang lain," pikir Joko. "Aku ini siapa dibandingkan dengan orang-orang yang selalu ada di sekelilingnya."


Malam itu, setelah bekerja seharian di sawah, Joko berjalan perlahan pulang. Langit desa sudah gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang samar. Ia melewati jalan setapak yang sudah sering ia lalui, namun malam itu terasa berbeda. 


Perasaan hampa menguasai dirinya. Joko merasa seperti ada yang hilang, seolah-olah cintanya yang ia simpan begitu lama tak akan pernah sampai ke tempat yang diinginkannya. "Apakah aku memang ditakdirkan untuk selalu sendiri?" pikirnya dalam hati.


Ia berhenti di bawah pohon besar yang ada di pinggir jalan, tempat yang sering ia datangi setiap kali hatinya gundah. Angin malam berbisik lewat dedaunan, namun seolah tak mampu menenangkan keresahan yang ia rasakan. Joko duduk di sana, termenung panjang, merenung tentang kegagalannya dalam urusan cinta yang selalu berulang.


Dalam kesendirian malam itu, ia mulai merasa lelah dengan perasaan yang selalu terpendam. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Joko yang terkejut menoleh, dan melihat seorang lelaki tua yang berjalan pelan menuju arahnya. Lelaki itu adalah Pak Samin, seorang petani yang sudah cukup tua dan sering dilihat oleh Joko di pasar desa. Pak Samin bukan orang asing, meskipun mereka jarang berbicara.


Pak Samin menghampiri Joko, lalu duduk di sebelahnya. Mereka duduk dalam diam sejenak, menikmati kesunyian malam. Pak Samin akhirnya membuka pembicaraan dengan suara pelan, "Joko, kamu tampak gelisah malam ini."


Joko hanya tersenyum canggung, "Hanya sedikit lelah, Pak. Tidak ada yang penting."Pak Samin mengangguk pelan, "Tapi, kamu kelihatan seperti sedang menanggung beban yang berat. Jangan terlalu keras pada diri sendiri."


Joko terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa seperti ada yang dipahami oleh Pak Samin, meskipun ia tak mengatakannya secara langsung. Pak Samin melanjutkan, "Terkadang, cinta itu bukan soal seberapa keras kita berusaha untuk mendapatkannya. Cinta itu datang dengan cara yang tak terduga."


Joko mendengarkan dengan seksama, meski kata-kata itu terasa aneh. "Maksud Pak Samin?"


"Kadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita inginkan, sampai lupa melihat hal-hal kecil yang sudah ada di sekitar kita," jawab Pak Samin. "Cinta itu bukan untuk dikejar, tapi untuk diterima dengan tulus."


Joko hanya bisa mengangguk, merasa ada sesuatu yang dalam dari kata-kata Pak Samin, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti. Malam itu, ia merasa ada semacam kelegaan, meski hanya sedikit. Sepertinya, dalam hati Joko, sebuah pertanyaan baru muncul, "Apakah aku sudah cukup menerima diriku sendiri untuk bisa menerima cinta yang datang?"


Pak Samin pun berdiri dan memberi salam, "Jangan terlalu lama menunggu, Joko. Cinta itu datang dengan cara yang tak terduga, terkadang justru di saat kita tidak memaksanya."


Joko memandang Pak Samin yang perlahan menghilang di balik kabut malam. Ia masih merenung, mencoba memahami kata-kata sederhana namun penuh makna itu. Di balik semua kegagalannya dalam cinta, ada satu hal yang masih membekas dalam hati Joko—menerima diri sendiri adalah langkah pertama yang mungkin perlu ia ambil.


Lanjutan..

Joko masih duduk di bawah pohon itu, angin malam berhembus pelan. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar jelas. Biasanya, malam seperti ini, dia bisa pulang dan tidur dengan tenang setelah seharian bekerja di sawah. Tapi malam ini, tidak. Malam ini hatinya terasa lebih kosong dari biasanya.


Beberapa kali ia menoleh ke jalan, berharap ada yang lewat, berharap ada yang bisa mengalihkan pikirannya. Tapi jalan itu kosong. Tidak ada yang lewat. Tidak ada yang bisa menghiburnya.


"Kapan ya aku bisa seperti yang lain?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.


Sejak muda, Joko selalu merasa dirinya tertinggal dalam hal cinta. Ketika teman-temannya sudah punya pasangan, ia masih saja mengagumi gadis-gadis desa dari kejauhan. Bukan karena ia tidak berani, tapi karena entah kenapa, selalu ada rasa takut dalam dirinya. Takut ditolak, takut dianggap tak pantas, takut tidak bisa memberi yang terbaik.


Ayu, misalnya. Gadis yang satu itu, tak pernah lepas dari pikirannya. Ayu yang selalu tersenyum ramah pada siapa saja, gadis yang wajahnya selalu cerah, meskipun hidupnya sederhana. Gadis yang selalu tampak begitu sempurna di mata Joko.


Namun, meski sering bertemu, tak pernah ada kesempatan untuk mendekat. Setiap kali Joko ingin berbicara, lidahnya terasa kelu. Setiap kali ingin mengungkapkan perasaan, hatinya seperti dihentikan oleh sebuah kekuatan yang tak bisa ia atasi.


Ayu selalu pergi dengan lelaki lain. Selalu begitu. Lalu Joko hanya bisa melihatnya dari jauh, merasa ada yang hilang dalam hatinya. Terkadang ia bertanya, "Apa memang begini caranya? Apa aku tidak pernah cukup?"


Malam itu, di bawah pohon itu, pikirannya terus berputar. Ia merasa lelah, lelah dengan perasaan yang selalu dipendam. Ia ingin sekali bisa mencintai dengan bebas, tanpa rasa takut. Tetapi sepertinya, itu bukanlah jalan yang mudah.


"Kenapa ya semua ini terasa begitu sulit?" ia bertanya lagi pada dirinya sendiri.


Namun, tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Joko mendongak, melihat seorang lelaki tua berjalan pelan menuju arahnya. Lelaki itu Pak Samin, seorang petani yang sudah sepuh, yang sudah banyak makan asam garam hidup. Joko mengenalnya, meski mereka tidak begitu dekat.


Pak Samin berhenti di sampingnya dan duduk. Tidak ada kata-kata yang terucap seketika. Keduanya hanya diam, menikmati keheningan malam. Suasana di sekitar mereka terasa begitu tenang, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.


Lama-lama, Pak Samin menoleh pada Joko. "Kenapa malam-malam begini duduk sendirian, Joko? Ada apa?" tanyanya dengan suara yang lembut, seperti menenangkan.


Joko terkejut, namun ia hanya tersenyum tipis. "Nggak ada apa-apa, Pak. Cuma... ya, kadang ada rasa nggak enak saja," jawabnya pelan, sedikit ragu.


Pak Samin mengangguk. Ia sudah cukup tahu apa yang sedang dirasakan Joko, meski tidak diungkapkan. Lelaki tua itu sudah cukup lama melihat Joko, dan meskipun jarang bicara, ia tahu apa yang ada dalam hati pemuda itu.


"Terkadang, hidup itu memang penuh dengan hal-hal yang tak bisa kita pahami. Cinta juga begitu, anak muda," kata Pak Samin dengan suara berat, tapi tidak terburu-buru.


Joko hanya diam, mendengarkan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa risih, tapi di sisi lain, kata-kata Pak Samin terasa menenangkan.


"Jangan terlalu memaksakan diri, Joko. Cinta itu datang kalau kita siap, bukan kalau kita terus mengejarnya. Cinta itu bukan soal seberapa keras kita menginginkannya, tapi seberapa besar kita bisa memberi tanpa mengharap balasan."


Joko terdiam. Terkadang kata-kata seperti itu terdengar seperti nasihat orang tua yang biasa kita dengar, tapi entah mengapa, malam itu, kata-kata Pak Samin terasa berbeda. Ada ketulusan dalam ucapannya yang membuat Joko mulai berpikir. "Mungkin selama ini, aku terlalu fokus pada diriku sendiri, terlalu banyak berharap," pikirnya.


Pak Samin melanjutkan, "Cinta itu datang dengan caranya sendiri. Kita tidak bisa memaksanya, tapi kita bisa belajar untuk menerima apa adanya."


Joko mengangguk perlahan, meski dalam hatinya masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Tapi setidaknya, ada sedikit ketenangan yang merasuk. Ia merasa seperti ada yang mengingatkannya untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri.


Pak Samin pun berdiri perlahan, memberi salam pada Joko. "Jangan terlalu lama menunggu, Joko. Cinta itu bukan hanya untuk dikejar, tapi untuk diterima dengan hati yang terbuka."


Joko mengangguk lagi, mengucapkan terima kasih pada Pak Samin. Setelah itu, lelaki tua itu berjalan meninggalkan Joko, perlahan menghilang dalam kabut malam. Joko masih duduk di sana, merenung.


Perasaan di hatinya tidak lagi terasa sesak. Ada sedikit rasa lega, meski ia tahu perjalanannya belum selesai. Tapi mungkin, malam ini, ia sudah mulai mengerti satu hal cinta datang dengan cara yang tak terduga.


Lanjutan..

Joko tetap duduk di bawah pohon itu sampai beberapa saat setelah Pak Samin pergi. Malam semakin larut, suara jangkrik masih terdengar, dan udara desa yang dingin mulai merasuk ke dalam tubuhnya. Tapi hati Joko tidak lagi serasa terikat beban. Ada sesuatu yang mulai ia pahami,mungkin memang selama ini ia terlalu keras pada diri sendiri.


“Cinta itu bukan soal dikejar,” pikirnya, mengulang kata-kata Pak Samin dalam hati. “Tapi soal diterima dengan hati yang terbuka.”


Ia teringat kembali pada Ayu. Gadis desa yang sudah bertahun-tahun ia sukai, yang selalu tampak cerah dan bahagia, namun selalu memilih lelaki lain. Joko sudah terlalu banyak kali mengagumi Ayu dalam diam, tanpa pernah berani menyatakan perasaan. Kini, setelah mendengar nasihat Pak Samin, ia mulai berpikir, mungkin selama ini ia lebih banyak berharap tanpa memberikan apa yang seharusnya. Cinta itu tak seharusnya dipaksakan.


Tapi, meski begitu, ada satu rasa yang tak bisa hilang dari dalam dadanya. Rasa rindu yang mendalam, seperti ingin sekali ia mendekati Ayu, mengungkapkan apa yang selama ini disimpan. Hanya saja, ia tak tahu harus mulai dari mana. Ia masih takut, takut ditolak, takut dianggap tidak pantas.


Joko bangkit dari duduknya. Langkahnya pelan saat kembali melangkah pulang. Suasana desa yang tenang, dengan rumah-rumah yang hampir semuanya sudah padam lampunya, hanya membuatnya semakin larut dalam pikirannya. Sesekali, angin berhembus membawa aroma tanah basah yang menyejukkan hati.


Tiba di rumah, Joko menyalakan lampu minyak yang masih ada di dalam rumah. Begitu pintu rumah terbuka, ibu Joko langsung menyapanya, “Joko, kok baru pulang? Lama banget, kamu ada apa?”


Joko tersenyum tipis, “Gak apa-apa, Bu. Cuma jalan-jalan sebentar.”


Ibu Joko mengangguk, tidak banyak bertanya lagi. Joko langsung menuju ke kamarnya, melepas pakaian kotor dan berbaring di kasur. Masih banyak yang ada di pikirannya, tapi sepertinya hatinya sedikit lebih lega. Ia merasa, walaupun jawabannya belum datang, setidaknya ia sudah mulai mengerti.


Malam itu, Joko tertidur dengan perasaan yang agak berbeda. Seolah-olah ada sedikit cahaya dalam hatinya, meskipun masih jauh dari terang. Satu hal yang jelas, ia tidak lagi merasa terperangkap dalam rasa takutnya sendiri.


Beberapa hari berlalu. Joko tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Mencangkul, menanam padi, dan kadang-kadang membantu ibu di rumah. Namun, ada yang sedikit berubah dalam dirinya. Ia mulai lebih banyak tersenyum, mulai lebih banyak menikmati hari-harinya. Ia tidak lagi terlalu khawatir tentang cinta, meskipun perasaan itu masih ada, tetap ada.


Suatu hari, saat Joko sedang berjalan pulang dari sawah, ia bertemu Ayu. Kali ini, Joko tidak merasa takut atau canggung. Ayu yang sedang berjalan dengan teman-temannya tersenyum ketika melihat Joko.


“Joko, hari ini kok kelihatan lebih semangat?” tanya Ayu, heran.Joko tersenyum lebar, “Iya, Ayu. Sepertinya aku mulai mengerti sesuatu.”Ayu tertawa kecil, “Apa itu?”


Joko mengangkat bahu, “Ya, tentang hidup. Terkadang, kita terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Cinta juga datang dengan cara yang tak terduga.”Ayu mengangguk pelan, meski tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud Joko. Namun, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Joko. Seolah-olah pemuda itu sudah berubah menjadi lebih ringan, lebih bahagia.


Joko menghela napas, merasa sedikit lega. Ia merasa, mungkin inilah yang disebut menerima, menerima apapun yang datang dengan lapang dada. Cinta itu datang tanpa harus dipaksakan. Ia tidak perlu lagi merasa takut atau terikat dengan perasaan yang tidak jelas.


“Ayu, aku... senang bisa berbicara seperti ini sama kamu,” kata Joko pelan, “Terkadang, kita cuma perlu menerima diri kita sendiri dulu.”Ayu tersenyum hangat. “Aku paham, Joko. Kadang kita memang perlu waktu untuk mengerti diri sendiri.”


Mereka berjalan berdua sepanjang jalan desa. Tidak ada kata-kata besar, hanya obrolan ringan tentang hidup. Tiba-tiba, Joko merasa damai. Mungkin cinta memang datang pada waktunya. Dan malam itu, Joko merasa, walaupun tak ada janjian cinta yang terucap, hatinya sudah sedikit lebih tenang.


Lanjutan..

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan Joko dengan Ayu yang penuh keheningan itu. Kehidupan kembali berjalan seperti biasa, dengan rutinitas yang tak pernah berubah sawah yang harus digarap, rumah yang harus dibereskan, dan waktu yang terus berjalan tanpa henti. Namun, ada satu perubahan yang perlahan mulai terasa di hati Joko. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, tapi terasa berbeda.


Ia tidak lagi merasa tertekan oleh perasaan yang selama ini ia simpan. Setiap kali bertemu Ayu, hatinya tidak lagi berdebar takut. Tidak ada kecemasan bahwa dirinya akan ditolak, tidak ada rasa khawatir bahwa Ayu akan memilih orang lain. Joko kini hanya ingin menjalani hidup dengan lebih santai, lebih terbuka.


Pagi itu, Joko sedang duduk di teras rumah sambil menyeruput kopi. Di luar, suara ayam berkokok terdengar keras, menandakan bahwa hari baru sudah dimulai. Ia menatap matahari yang perlahan terbit, memancarkan sinar keemasan yang menerangi bumi desa. Joko merasa damai.


Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh, dan melihat Ayu sedang berjalan sendirian di jalan setapak yang biasa ia lewati. Ayu terlihat santai, mengenakan baju sederhana dan membawa keranjang kecil berisi sayuran segar dari kebun. Ketika melihat Joko, Ayu tersenyum kecil.


"Joko, pagi-pagi sudah duduk di sini?" tanya Ayu, suaranya lembut.Joko tersenyum kembali, "Iya, Ayu. Pagi ini terasa tenang."


Ayu duduk di sebelahnya, meletakkan keranjang di atas meja kecil yang ada di samping teras. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara pagi desa yang segar. "Aku senang lihat kamu lebih santai sekarang," kata Ayu, sambil menatap Joko. "Kamu kelihatan lebih ringan, Joko."


Joko tersenyum, sedikit kikuk. "Mungkin karena aku sudah mulai menerima diri sendiri," jawabnya pelan, "dan aku sadar, hidup ini bukan soal mengejar apa yang nggak bisa kita dapatkan, tapi tentang menerima apa yang sudah ada."


Ayu mengangguk, sepertinya ia mengerti, meskipun tidak sepenuhnya tahu apa yang dimaksud Joko. "Ya, hidup memang kadang datang dengan cara yang tidak terduga."


Joko tertawa kecil. "Betul sekali," katanya. Ia merasa ada kedekatan yang lebih, meskipun kata-kata itu hanya sesederhana percakapan pagi biasa. Tapi kali ini, ia merasa lebih jujur, lebih terbuka.


Hari itu, Joko dan Ayu menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang hal-hal sederhana. Tentang kebun, tentang cuaca, tentang kehidupan di desa yang tak banyak berubah. Tidak ada percakapan yang berat, hanya tawa ringan yang membuat suasana terasa hangat. Tapi di dalam hatinya, Joko mulai merasakan sesuatu yang berbeda.


Sebelum berpisah, Ayu menatap Joko dengan senyum manis. "Terima kasih, Joko. Aku senang bisa ngobrol sama kamu seperti ini," katanya dengan suara lembut.


Joko merasa sedikit tersentuh, meskipun tidak ada yang istimewa dari percakapan itu. Hanya percakapan biasa, tapi ada rasa yang mendalam di dalam hatinya. Ia merasa, mungkin, ini adalah langkah pertama untuk menyadari bahwa cinta tidak perlu dikejar. Cinta bisa datang dengan sendirinya, tanpa harus dipaksakan.



Bab 2: Bayang Seribu Bulu Perindu

Hari-hari setelah pertemuan itu, Joko merasa ada perasaan baru yang tumbuh. Bukan cinta yang berapi-api, bukan juga rasa yang mendalam. Tapi sesuatu yang lebih sederhana, lebih tenang, dan lebih mengalir. Ia tidak lagi terobsesi dengan Ayu, tapi ia merasa ada kedekatan yang terjalin secara alami.


Suatu sore, setelah bekerja di sawah, Joko duduk di warung kopi milik Pak Darma. Warung kopi itu selalu ramai dengan orang-orang yang mampir untuk sekadar ngobrol atau minum kopi. Joko menyeduh kopi hitamnya, dan sesekali menatap ke luar warung, melihat langit yang sudah mulai gelap.


Ketika ia sedang menikmati kopi, seorang teman lama, Dedi, mendekat dan duduk di sampingnya. Dedi adalah teman Joko sejak kecil, mereka sering berbicara tentang segala hal, mulai dari pekerjaan hingga kehidupan pribadi.


"Joko, gimana kabarmu? Apa kabar Ayu?" tanya Dedi sambil menyengir.Joko tersenyum, "Ayu? Ah, nggak apa-apa. Cuma, ya... kami cuma teman biasa, kok."Dedi tertawa, "Ah, jangan pura-pura! Aku tahu kamu suka sama dia, Joko. Lihat saja caranya kamu setiap kali lihat dia. Aku tahu kok."


Joko terdiam sejenak, merasa sedikit malu. "Ya, memang aku suka sama dia, tapi... ya, aku nggak pernah berani ngomong. Selalu takut, Dedi."Dedi mengangguk pelan, "Tapi kamu sudah berubah, Joko. Sekarang kamu kelihatan lebih santai. Tidak terbebani."


Joko menghela napas, "Aku cuma belajar untuk menerima apa yang ada. Kalau memang Ayu tidak bisa jadi milikku, ya sudah. Itu bukan akhir dari segalanya."


Dedi menatap Joko dengan penuh arti. "Joko, terkadang cinta datang ketika kita tidak mengharapkannya. Jangan terlalu terburu-buru. Cinta itu bukan soal mengejar, tapi soal menerima apa adanya."


Joko hanya tersenyum tipis. Ia merasa ada kebenaran dalam kata-kata Dedi, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya dengan sempurna. Tapi hatinya yang selama ini gundah mulai merasa lebih tenang. Cinta tidak perlu dipaksakan. Cinta itu datang dengan cara yang tak terduga, tepat seperti yang dikatakan Pak Samin beberapa waktu lalu.


Sore itu, Joko merasa sedikit lebih lapang, lebih menerima. Walaupun perasaan pada Ayu masih ada, ia tidak lagi merasa terbebani. Ia tahu, suatu saat nanti, segala sesuatunya akan jatuh pada tempatnya, tanpa perlu dipaksakan.


Lanjutan..

Joko kembali duduk di teras rumah malam itu, seperti biasa setelah seharian bekerja di sawah. Ia membuka segelas kopi hitam, menyesap pelan, menikmati keheningan desa yang sudah mulai gelap. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari kebun di belakang rumah. Langit tampak cerah, dengan bintang yang mulai bermunculan.


Namun, malam itu, hatinya sedikit berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak pertemuannya dengan Ayu beberapa hari yang lalu, ia merasa ada perasaan yang semakin mendalam. Bukan cinta yang besar atau berapi-api, tapi sebuah harapan yang perlahan tumbuh, walaupun ia tahu dirinya tak berani untuk mengungkapkan perasaan itu.


Dari kantong jaketnya, Joko mengeluarkan sesuatu yang ia dapatkan beberapa hari lalu dari Dedi. Sebuah kantong kecil berisi sepasang bulu hitam panjang. Bulu itu terlihat biasa saja, seperti bulu burung yang sudah sering ia lihat. Namun, sejak Dedi memberikannya, ada rasa penasaran yang terus menghantui Joko.


“Apa iya ini bisa membantu?” pikirnya, melihat bulu itu lagi.Ia teringat kata-kata Dedi yang terdengar aneh di telinganya saat itu. "Kalau kamu ingin cinta itu datang, coba pakai ini. Mantranya gampang, tinggal fokus aja."


Joko menghela napas panjang, lalu duduk bersila di teras rumah. Ia memandang bulu-bulu itu sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Dedi memang teman lama yang sering bercanda, dan Joko tahu Dedi bukan orang yang mudah percaya dengan hal-hal mistis. Tapi entah kenapa, perasaan Joko mengatakan bahwa ini mungkin bisa menjadi kesempatan untuk mencoba, walaupun sedikit ragu.


Ia memegang sepasang bulu perindu itu di tangannya, fokus pada bayangan wajah Ayu yang selalu ia ingat. Ia membayangkan senyuman gadis itu, yang selalu membuat hati Joko berdebar. Perlahan, Joko mulai membaca doa mantra yang pernah didengarnya dari Dedi.

“Bulu perindu, dengarkan aku, semoga hatinya terbuka...”

Joko membaca dengan suara pelan, tidak terburu-buru. Kata-kata itu tidak terlalu jelas, tapi ia berusaha mengikuti apa yang Dedi katakan. Ia tahu, ini bukan tentang kekuatan gaib yang bisa mengubah perasaan orang, tapi lebih kepada fokus dan niat yang terkumpul.


Saat ia terus membaca, tiba-tiba bulu yang dipegangnya terasa bergerak. Bukan seperti bergerak dengan sendirinya, tetapi lebih terasa seperti sesuatu yang hidup, seperti energi yang perlahan-lahan mengalir. Bulu itu seolah melilit satu sama lain secara perlahan. Joko terkejut, namun ia tidak menghentikan doa yang ia baca. Malah, ia merasa lebih tenang.


Senyap. Semua menjadi sangat sunyi. Hanya suara angin yang terdengar. Bulu-bulu itu kembali diam di tangannya, seperti semula.


Joko membuka matanya, sedikit bingung. Ia merasakan perasaan hangat mengalir ke dalam dadanya, seperti ada sesuatu yang terlepas. Namun, ia tidak tahu apakah itu hanya perasaan kosongnya yang muncul, atau memang ada sesuatu yang berubah.


Ia menghela napas panjang. “Cinta datang dengan cara yang tak terduga,” bisiknya pelan.


Joko tahu, ini bukan tentang bulu atau mantra itu. Ini tentang dirinya. Tentang menerima, tentang berani untuk terbuka meskipun rasa takut masih ada. Cinta tidak akan datang kalau ia hanya menunggu tanpa melakukan apa-apa. Ia merasa, mungkin inilah saatnya untuk berhenti menunggu dan mulai menerima diri sendiri.


Malam itu, Joko tidur dengan perasaan yang lebih tenang. Tidak ada janji atau harapan besar yang muncul, tapi ada kedamaian dalam hatinya yang dulu tidak ia rasakan. Ia tahu bahwa meskipun perasaan itu belum terjawab, setidaknya ia sudah memulai langkahnya untuk memahami apa itu cinta.


Lanjutan..

Keesokan harinya, Joko berangkat ke pasar seperti biasa. Pagi itu udara terasa lebih sejuk, matahari mulai terbit, dan langit desa menunjukkan warna biru yang cerah. Joko berjalan pelan, menikmati suasana yang tenang di pagi hari. Ia baru saja selesai merawat sawahnya dan kini harus membeli beberapa bahan untuk kebutuhan rumah.


Namun, hari itu terasa sedikit berbeda. Begitu tiba di pasar, beberapa wanita yang ia kenal mulai menyapanya. “Halo, Joko! Kamu sehat-sehat aja?” tanya seorang wanita yang biasa membeli sayur di warung Pak Wanto.


Joko terkejut, karena seumur hidupnya, wanita-wanita ini tak pernah menyapanya seperti itu. Biasanya mereka hanya tersenyum atau menyapa seadanya, tapi hari itu, seolah mereka semua tiba-tiba mengenalnya dengan cara yang berbeda. Joko hanya membalas senyum dengan canggung, "Iya, sehat, Alhamdulillah."


Ia melanjutkan berjalan menuju kios bahan kebutuhan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul. Namun, saat ia mulai menawar harga barang di kios penjual sayur, ada yang lebih aneh lagi. Penjual itu, yang biasanya sangat keras menawar harga, kali ini hanya mengangguk dan mengiyakan tawaran Joko tanpa banyak bicara.


"Jadi berapa, Pak?" tanya Joko, menawar harga cabai.


"Sepuluh ribu saja, Joko, nggak usah ditawar-tawar lagi," jawab penjual itu dengan cepat, seolah tak ada alasan untuk menawar lebih.


Joko merasa ada yang tidak biasa. Biasanya, penjual itu akan mencoba menambah sedikit harga atau berdebat tentang tawaran, tapi kali ini, semuanya terasa terlalu mudah. Ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ia mulai berjalan lebih cepat, berusaha menghindari rasa bingung yang semakin mengganggunya.


Sore harinya, Joko baru saja tiba di rumah dan hendak mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, ketika tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Joko mengangkatnya dengan pelan, "Halo?"


"Joko, ini Ayu. Bisa ketemu malam ini?" suara Ayu terdengar lembut di ujung telepon.


Jantung Joko seketika berdegup kencang. Ia tidak menyangka Ayu akan meneleponnya. Mereka sudah lama tidak berbicara lebih dekat, dan tiba-tiba Ayu menghubunginya. “Ayu... ada apa?” tanya Joko, mencoba tetap tenang meski hati mulai berdebar.


“Aku ingin bicara denganmu, Joko. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,” jawab Ayu dengan suara yang terdengar serius namun penuh keraguan.


Joko merasa ada kehangatan yang datang dari kata-kata Ayu, tapi di sisi lain, ada rasa cemas yang mulai tumbuh. Ia tahu, pertemuan ini penting. Dan mungkin, ini akan mengubah banyak hal.


Malam itu, mereka bertemu di tempat biasa, di bawah pohon besar dekat warung kopi Pak Darma. Joko datang lebih awal, matanya mencari-cari Ayu di antara keramaian. Ketika akhirnya Ayu muncul, hati Joko berdebar hebat. Ayu tersenyum dan mendekat ke arah Joko.


“Joko, aku... aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Ayu dengan suara yang lembut.“Ada apa, Ayu?” tanya Joko, perasaan campur aduk antara harapan dan ketakutan.


Ayu menarik napas dalam-dalam, menatap Joko dengan penuh kejujuran. “Joko, aku selama ini selalu merasa ada yang hilang. Tapi baru akhir-akhir ini aku sadar... yang hilang itu adalah perasaan yang aku sembunyikan. Aku... aku juga suka sama kamu.”


Joko terdiam sejenak, seperti tidak percaya. “Apa?” katanya pelan, hampir tak terdengar. “Kamu... serius?”


Ayu mengangguk pelan. “Iya, aku serius. Tapi aku takut, Joko. Aku takut kamu tidak pernah melihat aku seperti itu. Aku takut kita tidak akan pernah bisa bersama, karena kita terlalu lama menyembunyikan perasaan kita.”


Joko merasa seolah dunia berhenti berputar. Ia tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat. Hanya ada rasa haru yang menggenang di dadanya. Akhirnya, ia bisa mengungkapkan apa yang selama ini terpendam.


“Ayu, aku juga menyukaimu, lebih dari yang kamu tahu. Tapi aku juga takut... takut kalau ini hanya sebuah mimpi,” jawab Joko dengan suara bergetar.


Ayu tersenyum lembut, mengusap pipi Joko. “Tapi mimpi itu bukan selalu untuk ditakuti, Joko. Mimpi itu untuk diraih, untuk dicapai, bersama-sama.”


Joko merasakan air mata menggenang di matanya. Ini adalah saat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama ini, ia merasa bahwa cinta adalah sesuatu yang jauh, sesuatu yang tak pernah bisa ia raih. Namun sekarang, Ayu ada di depannya, dengan semua yang ia impikan.


Tetapi, tiba-tiba Ayu berkata, “Joko, aku harus pergi... Aku harus pindah ke kota untuk melanjutkan hidupku di sana. Ini adalah pertemuan kita yang terakhir.”Joko terkejut. "Apa? Ayu... jangan bilang begitu. Kenapa harus sekarang?"


Ayu menunduk, menghela napas. “Ini bukan pilihan yang mudah, Joko. Aku harus pergi untuk mengejar mimpiku. Mungkin suatu saat nanti, kita bisa bertemu lagi, tapi untuk sekarang, aku harus menjalani hidupku sendiri.”


Joko terdiam, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia bendung. Ini adalah cinta yang datang terlambat, dan kini harus berakhir. Namun, ia tahu bahwa di dalam hatinya, Ayu akan selalu ada.


“Aku mengerti, Ayu,” kata Joko dengan suara serak, “Semoga kamu bahagia di sana. Jangan lupakan aku, ya?”Ayu tersenyum, meskipun air mata juga mengalir di pipinya. “Aku tidak akan lupa, Joko. Terima kasih sudah membuat hidupku lebih berarti.”


Mereka berdua duduk diam di bawah pohon besar itu, menikmati beberapa menit terakhir yang mereka punya bersama. Ketika Ayu akhirnya pergi, Joko merasa hatinya hancur, namun ada rasa damai yang juga mengalir. Ia tahu, meskipun ini adalah pertemuan terakhir mereka, cinta itu selalu ada di dalam hati mereka berdua.


Lanjutan..

Joko duduk termenung di bawah pohon besar itu, matanya menatap jalan yang perlahan semakin sepi. Ayu sudah pergi, meninggalkan dirinya dengan sebuah kenangan yang akan terus hidup dalam hatinya. Perasaan itu, yang selama ini ia simpan, kini terasa begitu ringan dan juga begitu berat. Ia tahu, perasaan yang selama ini ia pendam telah mendapatkan jawabannya. Tapi, jawabannya bukan seperti yang ia bayangkan.


Ia melihat jam tangannya, dan menyadari bahwa sudah larut malam. Angin malam semakin kencang, dan bintang-bintang di langit tampak begitu jelas. Namun, kali ini, Joko tidak merasa sendiri. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengisi ruang hatinya yang kosong. Meskipun Ayu pergi, cinta itu tetap ada tetap hidup dalam ingatan, dalam kenangan, dan dalam hati Joko.


Joko pun berdiri, menatap jalan yang baru saja dilalui Ayu. Ia tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin, pertemuan ini adalah sebuah pelajaran yang berharga, sebuah pengalaman yang akan membantunya melihat hidup dengan cara yang lebih lapang dan lebih terbuka. Cinta tidak selalu datang dengan cara yang kita harapkan, tapi ia selalu datang dengan cara yang tepat, meskipun terkadang itu sulit diterima.


“Terima kasih, Ayu,” bisik Joko pelan, menatap langit yang kini mulai gelap. “Semoga kamu bahagia.”


Ia berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ada kedamaian yang menenangkan hatinya. Ia tahu, perjalanan hidup ini masih panjang. Dan mungkin, suatu saat nanti, ia akan bertemu lagi dengan Ayu, atau mungkin dengan seseorang yang baru, yang akan memberinya cinta yang selama ini ia impikan.


Joko tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu satu hal—bahwa cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, dan bukan sesuatu yang datang dengan mudah. Cinta itu datang dengan kesabaran, dengan penerimaan, dan dengan ketulusan. Ia merasa, hari itu, ia telah belajar untuk mencintai dirinya sendiri sebelum bisa mencintai orang lain.


Sampai akhirnya, Joko tiba di rumah. Ibu Joko menyambutnya dengan senyum hangat, meskipun ia tahu ada sesuatu yang berbeda dengan anaknya hari itu. Joko hanya tersenyum tipis, duduk di meja makan sambil menyeruput teh hangat yang disiapkan ibunya.


“Ibu, aku baik-baik saja,” kata Joko, meskipun hatinya masih terasa penuh dengan perasaan yang campur aduk.


Ibu Joko menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku tahu, Joko. Aku tahu kamu sudah dewasa. Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa kita selalu ada untukmu.”


Joko hanya mengangguk. Ia merasa, meskipun perasaan itu tak pernah sempurna, hidupnya tetap berjalan. Dan itu sudah cukup baginya. Ia akan terus berjalan, menikmati hidup dengan lebih lapang, lebih menerima, dan lebih bahagia. Cinta yang datang, meskipun berbeda dari yang ia harapkan, tetap memberikan arti yang mendalam dalam hidupnya.


Malam itu, Joko tidur dengan perasaan yang berbeda. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi penyesalan. Ia tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik yang ia bisa. Dan itu sudah cukup. Kini, ia bisa menjalani hidupnya dengan lebih tenang, lebih percaya diri, dan lebih siap untuk menerima apapun yang datang.


Selesai



✧✦✧