JIWA DAYA KODRAT

Daftar Isi

Laga Durjana di Bumi Jawara

Genre : Action

Author : Mbah Salim

Jumlah Bab : 13

Jenis :Novel-Cerpen

⭐ 9.7 (Box Office)
Share: Facebook Twitter Threads Salin Tautan
BAGIAN 1
LANGKAH SEORANG PERANTAU
Kang Jiwo Dalam Kerasnya Kota

Angin kota tak pernah ramah bagi orang desa.Itulah yang dirasakan Kang Jiwo, pemuda kurus, berkumis tipis, rambut sedikit gondrong, dan baju lengan panjang yang udah bolong di siku.


Hari itu dia tiba di kota, naik bus ekonomi, duduk paling belakang bareng ayam dalam kardus.

Modalnya cuma satu tas plastik hitam, dua pasang baju ganti, dan... sebuah ilmu yang diam-diam diwariskan ayahnya: Ilmu Daya Kodrat.


Ilmu yang tak bisa sembarangan dipakai."Kalau bukan buat kebaikan, jangan dikeluarin, Wo... nanti malah jadi beban,” kata almarhum bapaknya sebelum meninggal sambil megang tangan Jiwo erat.


Kang Jiwo numpang tinggal di kamar kos belakang pasar.Pemiliknya, Kang Darto, teman satu kampung yang sekarang punya toko grosir kecil-kecilan.


“Ayo kerja bareng aku dulu, Wo. Gak usah mikir bayaran, yang penting makan cukup, tidur nyenyak, dan gak direpotin preman,” kata Kang Darto sambil ngasih roti sisa stok dagangan.


Tapi ya itu... hidup di kota gak segampang ngupas singkong rebus.Baru seminggu Jiwo kerja di toko Kang Darto, udah sering lihat tukang parkir dipalak, tukang sayur nangis, bahkan nenek-nenek penjaja kembang diomelin preman cuma gara-gara lupa bayar ‘uang keamanan’.


Tapi Jiwo belum turun tangan.“Belum waktunya,” batinnya. “Kalau niat belum bersih, jurus daya kodrat justru jadi senjata makan tuan.”


Hingga suatu malam...


Bagian 2
Pertemuan di Bawah Lampu Jalan


Malam itu kota seperti biasa-bising, sumpek, dan penuh asap knalpot.Tapi ada satu sudut gang sempit yang sunyi. Terlalu sunyi.Ningsih, pegawai pabrik konveksi, pulang lembur bareng temannya, Yanti. Jalur pulangnya memang lewat gang potong, biar cepat sampai kontrakan.


Belum sempat langkah mereka melewati tembok keempat rumah petak, tiba-tiba “Sssttt... !! mbak cantik, jangan buru-buru dong...!”Dari balik bayangan, tiga orang lelaki muncul.Baju lusuh, rambut acak-acakan, mata merah menyala.


“Aa... ampun bang, kita gak bawa duit banyak...” suara Yanti gemetar.Salah satu dari mereka mengayun pisau kecil, mainan biasa para begal pasar.Ningsih memeluk tasnya erat-erat, tapi kaki gemetar, suara tertahan.


Cekrekk...!! Pisau digesek ke tembok, menimbulkan bunyi mencicit.Tiba-tiba..."Heh,minggir!"Suara itu datang dari ujung gang.Sosok lelaki berjalan pelan dari arah berlawanan. Bajunya kusut, celana dilipat sebatas mata kaki, dan satu tangan bawa kantong plastik isi cabai rawit.


Kang Jiwo!.Dia cuma melirik sekilas.Lalu berucap pelan, “Jangan ganggu orang kalau belum siap pulang pincang.”Para begal ngakak.“Woi! Mau jadi jagoan? Sendirian berani lawan kita bertiga?”


Jiwo taruh kantong plastiknya.Napas dihela pelan. Mata dipejam sejenak.Dalam hati ia berucap: 

"Ilmu Daya Kodrat, bangkit dari niat lurus. Bukan marah. Tapi menjaga."

Dan...BRAKK!! Satu begal tersungkur kena sapuan kaki Jiwo yang dari tadi diam.Dua lainnya maju. Pisau menusuk ke arah dada Jiwo. Tapi Jiwo miringkan badan, tangkap tangan lawan, putar balik, dan...BUKK! Begal itu terpelanting menabrak dinding gang.


Sisa satu lagi?Dia lari. Gak pake pamit.


Ningsih masih gemetar, tapi matanya tertuju pada Jiwo yang pelan-pelan membungkuk, ambil kantong cabainya lagi.“Sampean gak papa, Mbak?”Suara Jiwo datar, tapi penuh perhatian.


Ningsih cuma bisa angguk.Sejak malam itu, nama Kang Jiwo terpatri di hatinya.Bukan karena jagoan. Tapi karena...lelaki itu punya mata yang tenang. Tapi nyimpan badai.


Bagian 3
Penguasa Pasar,Bukan Karena Gengsi


Kehidupan di pasar Pasirwaja bisa bikin orang waras jadi linglung.Teriakan pedagang, bau ikan asin, dan suara klakson becak campur jadi satu. Tapi Kang Jiwo menikmati semua itu.


Ia bantu angkut karung, bantu timbang, bahkan bantu ngusir tikus dari gudang Kang Darto.Warga pasar mulai kenal. “Itu lho, Jiwo... yang kemarin katanya nyelametin cewek dari begal.”


Tapi...di balik ramainya pasar, ada bayang gelap yang mulai bergerak.


Ujang Kewer, preman pasar, datang tiap Jumat Wage.Naik motor bising, rombongan tiga orang. Bawa palu kecil dan buku catatan.Isinya? “Iuran keamanan” yang bikin para pedagang nelan ludah.


“Nek gak bayar, ya kiosmu bisa gak aman, Bu!”Ujang nyengir, gigi depannya bolong.Kang Jiwo cuma melihat. Tapi makin hari, hatinya panas.Apalagi saat lihat Mbah Tumirah, penjual tempe, ditendang cuma gara-gara kurang seribu rupiah.


"Woi!!, tahan dulu," bisik Kang Darto. “Ujang itu nyambungannya jauh, sampe ke atas.”Tapi malam itu...titik sabar Kang Jiwo jebol.


Keesokan paginya...Ujang Kewer datang lagi.Tapi saat dia buka pintu kios Kang Darto, Jiwo sudah duduk di depan meja, tangannya terlipat, matanya tajam.


“Gak usah narik uang di sini lagi. Pasar ini bukan ladang jagal.”Ujang mendelik.“Wah, ini bocah baru sok jadi pendekar?!“Bukan pendekar,” jawab Jiwo. “Cuma orang yang gak tahan lihat ketidakadilan.”


Preman Ujang langsung nyerang. Tapi Jiwo... berdiri perlahan, menghindar seperti angin.

Sekali putaran, tangan Ujang dikunci. Sekali injakan, tubuhnya roboh ke lantai penuh bawang.Warga pasar heboh.Ada yang tepuk tangan, ada yang teriak: "Waaahh pendekar pasar muncul!"


Tapi perang belum selesai.


Malamnya, puluhan preman datang.Bawa pentungan, rantai, dan niat menghancurkan.

Kang Jiwo sendirian di depan kios.Tapi ia tenang.Langkahnya pelan.Dua tangan terbuka. Jurus “Daya Kodrat” aktif sepenuh niat.


Dan malam itu...pasar jadi arena silat.Ada yang terlempar masuk tumpukan terigu,Ada yang mental nabrak gerobak gorengan,Ada pula yang malah lari sambil celana melorot.


Hingga pagi, pasar hening.Tapi satu nama jadi legenda:“Jiwo, penjaga pasar dari ketulusan niat.”


Bagian 4
Malam Berdarah di Pasar Pasirwaja


Malam itu, langit seperti ikut tegang.Bulan sembunyi di balik awan. Angin diem... seolah menahan napas.Kios Kang Darto udah tutup.Tapi Jiwo masih duduk bersila di dalam,matanya nyala, keringat dingin netes dari pelipis.


Dari kejauhan, suara knalpot liar makin dekat."Brrrrrrrrrrrttt... TAAAAK!!!"


Puluhan preman datang.Bawa senjata: pentungan, besi, rantai.Ujang Kewer di depan, sorot matanya buas kayak singa lapar.


"JIWOOOO!! KELUAR KAU JAWARAAAN PASAR!!" teriak Ujang, suaranya pecah kayak ember penyok.Warga pasar ngintip dari balik gerobak,tukang nasi goreng naruh centong,tukang cilok sembunyi di bawah meja.Semua deg-degan.


Dan…pintu kios pelan-pelan terbuka.Kang Jiwo melangkah keluar.Sendiri.Tanpa senjata.Cuma pake baju kaos hitam, celana komprang, dan sorot mata yang bikin ngeri.


“Satu syarat, Ujang...!!“Kalau saya kalah, pasar ini milikmu. Tapi kalau kau yang kalah, pergi. Jangan ganggu lagi.”


Ujang ngakak.“Woi bocah desa, ini bukan lomba ketoprak!”


Langsung preman pertama nyerang.Jiwo bergerak.Jurus Gunting Kodrat!Dua kaki menyilang, menjepit perut lawan, terus dilempar ke belakang. BRAAK! Lawan nyangkut di tumpukan karung bawang.


Preman kedua, ketiga, keempat, datang serbu bareng.

Jiwo geser kaki kanan, buka tangan, tarik satu, banting dua, putar tiga.


KRAKK! Ada yang gigi copot.DUARR! Ada yang masuk gerobak gorengan. Tahu, tempe, dan badan bercampur jadi satu.Ujang Kewer mulai panik."Serbu semuaa!!" Delapan orang sekaligus datang dari kanan kiri.Tapi Jiwo diam.Tutup mata. Lalu buka pelan-pelan.


“Daya Kodrat bukan buat sombong. Tapi buat membela.”Ia melompat. Jurus “Ayunan Kodrat Langit” dilancarkan.Putaran tangan kirinya mengenai dada preman seperti angin topan.

WUUUSSHH! Empat orang mental bareng. Yang lain lari. Satu bahkan teriak: “Emakkuuuu...!!!” sambil ngibrit nyeker.


Tinggal Ujang Kewer.Mereka berdiri saling tatap.“Wo...! kita selesain laki-laki,” kata Ujang sambil cabut rantai besi dari pinggang.Jiwo tidak bicara.Langkahnya maju pelan. Satu... dua... tiga...


HAP! Tangan kanan Jiwo pegang pergelangan Ujang, lalu...DOR!! Satu gerakan lutut tepat di ulu hati.Ujang ambruk. Rantai jatuh. Dunia jadi hening.


Pagi harinya, kabar menyebar.Pasar Pasirwaja kembali damai.Tapi yang bikin warga heran...Kang Jiwo tidak angkuh.Tidak sombong. Tidak minta upah.Ia malah nyapu di depan kios sambil senyum.


Dan dari balik lapak tahu gejrot,Ningsih berdiri sambil membawa dua gelas es teh...Matanya berbinar.Cinta mulai tumbuh. 


Tapi perang belum selesai.


BAGIAN 5
Soto,Senyum,dan Setitik Harapan


Pagi setelah pertempuran malam berdarah itu,Pasar Pasirwaja sepi. Tapi sepi yang tenang.Orang-orang lalu lalang dengan wajah lega.Tak ada lagi preman nyengir sambil pukul meja.Tak ada teriakan “Uang keamanan woy!”Hanya tukang sayur, tukang bakso, dan suara hidup yang biasa.


Di sudut kios yang masih gosong sebagian, Kang Jiwo duduk bersila.Tangan kanannya memegang lap kain, menyeka sisa-sisa abu.Meski semalam dia sendirian hadapi puluhan preman,pagi ini... dia bersih-bersih sendiri.Gak ada gaya. Gak ada angkuh.


Dan dari arah belakang kios, muncullah Ningsih.Pakai jaket pink pudar, rambut dikuncir, dan tangan membawa dua bungkus soto hangat.“Mas Jiwo... ini... soto buat sarapan,” katanya pelan.


Jiwo menoleh.Senyumnya tipis, tapi dalam.Senyum orang yang hatinya gak banyak bicara, tapi penuh makna.“Wah... terima kasih, Mbak Ningsih. Pas banget, tadi belum sempat ngopi,”

jawab Jiwo sambil duduk di bangku kayu.


Mereka makan diam-diam.Tak banyak obrolan.Yang terdengar cuma sendok beradu dengan mangkuk, dan desahan pelan karena soto masih panas.


Sampai akhirnya...Ningsih berkata,“Mas... kenapa gak pergi dari pasar ini aja? Bukankah Mas udah dihormati, bisa ke tempat yang lebih baik?”Jiwo meletakkan sendok.Menatap ke arah langit.


“Tempat ini... penuh orang-orang kecil yang gak bisa ngelawan.Kalau semua yang bisa bantu pergi,terus siapa yang bakal jagain pasar?”


Ningsih diam.Di matanya, lelaki ini bukan jagoan biasa.Tapi seperti... pohon di tengah padang diam, kuat, dan teduh.


Dan di saat itu...hujan turun.Pelan.Gerimis yang menari di atas genteng kios.Jiwo berdiri, ambil plastik besar, nutupin bagian atap yang bocor.Ningsih ikut bantu, tertawa saat kena tetesan air.Hujan pertama setelah pertempuran... jadi hujan pertama yang mereka nikmati bersama.



✧✦✧