LEMBAH DAYA KODRAT

Daftar Isi

Ksatria Lebur Jiwa

Genre : Action

Author : Mbah Salim

Jumlah Bab : 13

Jenis :Novel

⭐ 9.7 (Top Global)
Share: Facebook Twitter Threads Salin Tautan
BAB 1
KETIKA HIDUP MENAMPAR,TAPI IA TETAP SENYUM
Kandar terlihat sedang berlatih jurus daya kodrat

Ini bukan sekadar ilmu, tapi pondasi tanah kuat tempat semua ilmu tumbuh.Siapapun yang memilikinya, belajar apa pun jadi mudah. Ilmu gaib, ilmu formal, bahkan ilmu hidup.


Bayangkan tanganmu,saat ilmu ini merasuk, telapak itu berubah : berbobot, bergetar, seolah ada daya yang tak tampak tapi terasa. Ada jurus mematikan di balik diam!.

Ilmu ini bukan buat sombong. Tapi buat nguatkan.Sebab hidup ini ladang ilmu. Dan "Daya Kodrat" adalah bajaknya.


BAB 1
Di ujung kampung yang jauh dari sinyal dan suara motor, hiduplah seorang pemuda.Namanya Kandar. Badannya kurus, matanya cekung, dan hidupnya... lebih keras dari batu nisan.Tiap pagi, Kandar jualan keliling. Siang, dia kuli angkut. Malam, jadi tukang gali kubur.

“Hidup itu kaya hutan, Ndik,” kata Pak Mardani, tetangganya yang juga dikenal suka wirid malam sambil ngudud di surau.“Kadang sunyi... kadang ada yang ngintip dari balik gelap.”Suatu malam, Kandar pulang kerja. Lelah. Tapi belum bisa tidur, karena ada suara lirih dari pojokan rumah kosong sampingnya.Ada yang manggil namanya.“Kan... daar... Kan... daar...!”

Tapi anehnya, dia nggak takut.Sejak ia dipasrahi satu amalan oleh Pak Mardani yang disebut Ilmu Daya Kodrat, tubuhnya enteng. Pikiran jernih. Tidur nyenyak.“Ini bukan buat gagah gagahan,” kata Pak Mardani waktu pertama ngajarin.“Ini buat nguatke dirimu, biar pas hidup nampol, kamu nggak roboh.”

Tangan Kandar memang berubah. Kadang gemetar sendiri kalau ada bahaya mendekat.Pernah waktu ada preman mabuk ngamuk di pasar, baru dipegang pundaknya aja... si preman langsung jatuh, kejang, dan pingsan.Orang-orang bilang: “Wah, Kandar pegang jimat!”

Padahal enggak!.Cuma ada satu ilmu, satu napas, satu keyakinan yang ditanamkan di tubuhnya. Namanya: Daya Kodrat.Ilmu yang bikin dia tetap tenang, meski hidup penuh gelap dan suara-suara tak kasat mata.“Yang penting hatimu bersih, jiwamu pasrah, tubuhmu siap. Maka kodrat akan menuntunmu,”ujar Pak Mardani sambil ngelus tasbih kayu tua yang katanya dari hutan Rajeh.

Ilmu ini bukan buat pamer, tapi pegangan.Bukan buat nyerang, tapi untuk berdiri tegak saat semua runtuh.Dan... saat kau punya daya kodrat dalam tubuhmu, kau bukan sekadar manusia.Tapi penjaga hidupmu sendiri.

BAB 2
Antara Sunyi, Suara
dan Sebuah Tamparan Hidup

Di ujung kampung yang jalannya cuma muat satu motor, ada satu rumah reot berdinding papan, dihuni pemuda bernama Kandar.Hidupnya dari kecil sudah digodog penderitaan.Bapaknya mati saat Kandar umur lima, ibunya minggat dibawa lelaki kota. Tinggallah Kandar sendiri, hidup dari upahan dan belas kasihan.

Tapi satu hal yang bikin dia beda dia gak pernah ngeluh.“Hidup ini nggak bisa dilawan pake amarah, Kan,”ujar Pak Mardani, tetua kampung yang dikenal sakti tapi gak pernah sombong.“Lawan pake kodratmu. Kodrat dari langit. Tapi harus minta izin dulu... dari hatimu sendiri.”

Malam itu, malam Jumat Kliwon. Langit mendung, angin seperti membawa bisikan.Kandar diajak duduk melingkar bareng Pak Mardani dan dua orang lain Saiman, tukang sol sepatu, dan Bu Lindu, janda penjual jamu.

Pak Mardani buka kain putih berisi rajah kuno dan batu hitam kecil.Lalu berkata:“Ilmu Daya Kodrat ini bukan dari kitab, bukan dari gunung. Tapi dari dalam dirimu.Tapi ingat, siapa pun yang bawa ilmu ini, akan dicoba lewat hidup yang berat.Tapi kalau kau lulus... jalanmu akan dibukakan.”

Malam itu, Kandar mulai merasakan tubuhnya beda.Tangannya kadang bergetar sendiri. Tapi bukan karena takut karena ada kekuatan seperti mengalir, dari dada, ke ujung jari.Tiga Hari Kemudian...Saat sedang ngangkat karung di pasar, Kandar nyaris ditabrak gerobak. Tapi anehnya, gerobak itu berhenti sendiri, seolah menabrak tembok tak kasat mata.“Kau pegang apa, Kan?” tanya Saiman.“Wajahmu akhir-akhir ini beda. Tenang... tapi matamu tajem.”
Kandar cuma senyum.

Tapi malam harinya, cobaan datang...Ia bermimpi dikejar bayangan hitam besar, suaranya mendengung di kepala: “Kau bukan siapa-siapa! Tinggalkan ilmu itu! Hanya orang terpilih yang sanggup!”

Kandar terbangun dengan badan basah oleh keringat, dan telapak tangannya... berwarna gelap legam.Ia segera ke surau, cari Pak Mardani.“Kau sudah disentuh alam sana,” ujar Pak Mardani.“Itu tandanya ilmu Daya Kodratmu mulai hidup.Tapi jangan takut. Justru kalau kau lari, kau akan benar-benar dikejar.”

Beberapa Hari Berlalu...Kandar tetap kuat. Hidupnya tetap keras, tapi entah kenapa terasa lebih ringan.Orang-orang mulai datang padanya. Minta tolong. Bukan karena dia dukun. Tapi karena aura ketenangannya memancar.“Aku cuma orang biasa,” jawabnya pelan,“Tapi aku punya satu pegangan... Ilmu yang menguatkanku. Namanya Daya Kodrat.”

Dan malam itu, saat langit cerah, suara yang dulu menghantui mimpinya datang lagi. Tapi kali ini... tak membuat takut.Justru Kandar berdiri tenang, tangan kirinya mengepal, tangan kanan membentuk mudra...“Kalau kau dari kegelapan,” katanya,“Aku dari cahaya. Dan cahaya takkan mundur saat gelap datang.”

Lalu... suara itu hilang. Dan angin malam pun seperti tunduk kepadanya.Kadang hidup seperti kampung sunyi: sepi, gelap, dan penuh bisikan. Tapi jika kau punya pegangan baik doa, keyakinan, atau ilmu dari leluhur maka sekeras apapun hidup, akan terasa ringan.Karena yang berat bukan nasibmu… tapi kosongnya hatimu.

BAB 3
Saat Dunia Tak Lagi Ramah

Hidup itu kadang seperti burung gagak bertengger di pagar kuburan. Diam. Tapi matanya tajam. Dan siapa pun yang berani menatap balik, akan tahu... bahwa dunia ini, tak selalu ramah.Kandar mulai merasakan perubahan. Bukan hanya di tubuhnya, tapi di sekelilingnya.
Suatu malam, saat pulang dari pasar, ia melewati pohon randu besar. 

Sudah biasa. Tapi malam itu, angin berhenti. Sunyi seperti kuburan dalam mimpi buruk. Daun tak bergerak, tapi suara lirih terdengar jelas: "Kembalikan. Itu bukan milikmu."Langkahnya berhenti. Ia tengok kanan-kiri. Tapi tak ada siapa-siapa.Hanya kabut, dingin, dan bau tanah basah yang menusuk hidung.Tiba-tiba... dari balik semak, keluar sosok perempuan berjubah putih. Wajahnya rata. Tak ada mata, tak ada mulut. Hanya kulit pucat seperti bulan mati.

“Kau mencuri jalur yang bukan milikmu,” suaranya muncul langsung dari dalam kepala.Kandar tak mundur. Tangannya bergetar pelan. Tapi bukan karena takut.Justru karena ilmu dalam dirinya sedang aktif.Ia pejamkan mata. Tarik napas panjang. Dalam batinnya ia ucap: “Aku tidak mengambil. Aku diwarisi. Jika kau dari jalur gelap, maka inilah cahayaku. Dan aku tidak akan pergi.”Seketika tanah di bawahnya retak. Suara jerit menggema seperti ribuan orang dilempar ke jurang. Dan saat ia buka mata... sosok itu lenyap.

Tapi sejak malam itu...hidup Kandar makin aneh.Di kampung, orang mulai berbisik. Ada anak kecil yang bilang melihat Kandar bercahaya saat malam.Ada kambing yang tiba-tiba tak mau lewat depan rumahnya.Dan yang paling heboh, Bu Lindu kesurupan, lalu teriak-teriak menyebut nama Kandar tiga kali sambil menangis.

“Dia akan diganggu...! Karena dia terlalu terang...! Dunia ini tidak suka yang terang...!”Pak Mardani akhirnya datang. Menenangkan warga, dan membawa Kandar ke sudut surau yang paling sepi.Lalu berkata pelan...“Kodrat itu bukan mainan. Kau harus belajar tidak hanya menerima kekuatan, tapi juga hukuman. Semakin besar dayamu... semakin besar ujian yang akan mendatang.”

Kandar menunduk.“Kalau aku harus hidup sendiri... aku siap, Pak.Tapi kalau harus kehilangan orang-orang yang aku sayangi karena ilmu ini… aku tidak tahu apakah aku bisa kuat.”Pak Mardani hanya menatap jauh ke langit.“Justru karena kau sayang, kau harus kuat. Dunia tidak butuh manusia sempurna. Dunia hanya butuh penjaga cahaya… dan kau, adalah satu dari yang terpilih.”

Kadang hidup bukan tentang menang atau kalah. Tapi tentang siapa yang tetap berdiri, saat semuanya sudah hancur.Dan kalau kau punya ilmu daya kodrat… jangan sombong. Tapi juga jangan takut.Karena ilmu ini bukan milikmu, tapi kau hanya dititipi... untuk menjaga sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri.

BAB 4
Tamu Tengah Malam

Malam itu, hujan rintik-rintik.Kandar duduk di serambi, sendirian. Tangannya memegang cangkir kopi yang udah dingin, matanya mantengin gelap pekat di depan rumah. Suara jangkrik bersahutan, tapi malam itu... ada yang ganjil.Sunyi terlalu rapat.Kayak ada yang nahan napas di balik pohon pisang depan rumah.

Tiba-tiba…Tok... Tok... Tok...!! Ada yang ketuk pintu.Padahal rumah Kandar nggak punya tetangga dekat. Dan jam segini? Siapa?“Siapa itu?” teriak Kandar dari dalam.Tak ada jawaban. Hanya suara angin.Tok... Tok... Tok... lagi.

Akhirnya Kandar buka pintu.Di depannya berdiri seorang lelaki tua, pakai baju lusuh, tubuhnya kurus, matanya cekung tapi menyala.“Kau Kandar?” suaranya pelan, tapi tegas.“Iya, Mbah. Sampeyan siapa?”Lelaki itu tak menjawab. Hanya masuk begitu saja, duduk di kursi kayu dekat dinding.

“Ilmumu sudah bangkit. Tapi kau belum paham arah tujuannya.”“Ilmu apa, Mbah?”“Daya Kodrat. Bukan ilmu buat pamer. Bukan buat sakti. Tapi buat bertahan. Melawan sesuatu yang tak kelihatan... tapi selalu ada.”Kandar diam. Ia perhatikan tangan si kakek. Ada bekas luka di pergelangan. Seperti gigitan binatang besar.

“Kau pernah digigit?” tanya Kandar.“Pernah. Oleh rasa sombong. Dan itu lebih sakit dari makhluk apapun,” jawabnya sambil tertawa pelan.Tiba-tiba...Lampu minyak padam sendiri. Angin masuk lewat celah jendela. Tirai bergerak sendiri. Dan suara perempuan menangis terdengar samar dari belakang rumah.“Mbah... itu apa?” bisik Kandar.“Itu bukan siapa-siapa. Hanya peringatan... bahwa kau sedang diawasi.”Kandar bangkit, tubuhnya tegang. Tapi kakek itu tetap duduk tenang.

“Jangan lawan. Rasakan. Ilmumu itu hidup, bukan buat menyerang... tapi buat menyatu. Kalau kau takut, kau kalah. Tapi kalau kau tenang, mereka pergi.”Kandar pejam mata. Tarik napas dalam.Tiba-tiba... rasa takut berubah jadi hangat. Seperti ada tangan tak terlihat yang menenangkan dadanya.

Suara tangisan perlahan hilang. Angin kembali tenang. Dan lampu minyak menyala sendiri.Kakek itu berdiri.“Aku cuma mampir. Ingat... kau bukan dipilih untuk jadi sakti. Tapi untuk menjaga. Jangan lupa siapa dirimu.”Lalu ia jalan keluar.Dan saat Kandar menengok lagi ke depan…Si kakek sudah hilang.Tak ada jejak. Tak ada suara langkah.

Besok paginya...Pak Mardani datang bawa rokok dan pisang goreng.“Semalam kau dikunjungi?“Iya, Pak. Lelaki tua. Katanya aku harus ngerti arah tujuanku.“Berarti kau mulai diakui. Tapi ingat, semakin dalam kau masuk... semakin gelap yang kau temui. Tapi cahaya itu... ada di dadamu sendiri.”

Kandar tersenyum.Hatinya masih was-was. Tapi kini ia tahu: Ia tidak sendiri.

BAB  5
Bukan Sekadar Sakti

Tiga hari setelah malam itu, Kandar mulai ngerasa aneh.Tidur nggak tenang. Kadang ngelindur. Badan capek terus. Tapi bukan sakit biasa.Rasanya kayak dipeluk rasa gelisah yang nggak bisa dijelaskan. Kayak ada yang ngawasin… tiap waktu.“Pak, kenapa aku begini ya?” tanya Kandar waktu ketemu Pak Mardani di surau.

“Itu tandanya jiwamu belum siap,” jawab Pak Mardani pelan.“Ilmu daya kodrat itu kayak air deras. Kalau wadahmu bocor... malah jebol dirimu sendiri.”Sore harinya, di warung Mbok Nah, orang-orang mulai bisik-bisik.“Itu lho, si Kandar. Sekarang katanya bisa nerawang...“Lah, anak itu dulu sopan, sekarang sering bengong sendiri...“Hati-hati, jangan dekat-dekat... nanti ketularan...”

Kandar denger itu. Hatine panas. Tapi mulutnya diem.Bukan karena takut... tapi karena dia tahu,kadang luka paling dalam bukan dari hantu, tapi dari omongan tetangga.Malamnya, ia baring sendiri di dipan bambu. Rumah sepi. Ibu sudah lama meninggal. Bapak entah di mana.Angin malam menyelinap dari genteng.Tiba-tiba... jendela terbuka sendiri.

“Brak!”Kandar bangun kaget.Dan di pojok kamar, ada bayangan tinggi besar, badannya hitam, matanya merah.Tapi anehnya... bayangan itu nggak bergerak.Cuma berdiri, menatap... kayak cermin dari dunia lain.“Siapa kau?!” teriak Kandar.Bayangan itu… tiba-tiba bicara.“Aku bukan siapa-siapa. Aku... adalah rasa takutmu sendiri.”

Kandar pegang dada. Nafasnya berat. Tapi ia ingat kata si Kakek malam itu."Kalau kau tenang, mereka pergi."Ia tarik napas. Pejam mata. Lalu ucap pelan..."Aku terima. Kalau memang aku harus menghadapi semua ini, ya sudah. Tapi jangan ganggu yang tak bersalah. Aku yang kamu mau, bukan mereka.”Bayangan itu... perlahan larut. Seperti asap terbakar angin.

Dan malam itu...Kandar tidur lebih nyenyak dari biasanya.Pagi harinya, ia ke sawah bantu Pak Mardani.Di sana, mereka duduk di pematang, makan nasi bungkus dan sambel terasi.
“Pak...!!”Hmm?“Kalau ternyata aku harus hidup sendiri... kuat-kuat sendiri... hadapi semuanya sendiri... apa itu adil, Pak?”Pak Mardani senyum, ngelap tangan pakai daun pisang.“Hidup itu bukan soal adil atau nggak, Ndro. 

Tapi soal siap atau belum.Kau dikasih ini karena kau kuat.Dan kalau kau belum kuat... ya nanti dikuatkan. Dengan cara yang kadang nyakitin.”Kandar ngangguk pelan. Di ujung matanya, ada titik air. Tapi nggak jatuh.Ia tahu... ini bukan lagi soal ilmu.Ini soal perjalanan. Tentang jadi manusia seutuhnya.

BAB 6
Latihan di Atas Luka

Pagi itu, kabut turun lebih tebal dari biasanya.Kandar bangun lebih awal, badan masih pegal. Tapi ia ingat omongan si Kakek dan Pak Mardani: Ilmu ini bukan cuma di batin, tapi juga di badan. Harus dilatih. Harus dijalani.

Di kebun belakang surau, Pak Mardani sudah menunggu.Baju hitam lusuh, sarung digulung, mata tajam seperti elang tua.“Hari ini kau belajar tubuhmu. Karena jiwa yang kuat harus disangga raga yang siap.”

Jurus pertama : Menusuk.
Gerakan ini seperti dorongan niat. Lurus, cepat, tepat sasaran.“Tusuk bukan hanya pakai jari, tapi pakai niat. Kalau niatmu goyah, jurusmu cuma angin kosong,” kata Pak Mardani sambil nunjuk dada Kandar.Kandar coba. Kuda-kuda dibuka, tangan kanan dorong ke depan.Langsung disambit pelepah pisang oleh Pak Mardani.“Kurang niat! Tusuk itu bukan cuma tanganmu yang maju, tapi hatimu yang ngarah!”

Jurus kedua: Menarik.
Ini bukan soal narik baju orang. Tapi narik lawan dengan energi, bahkan narik rezeki dan keberuntungan.Kandar disuruh tutup mata.“Bayangkan ada benang halus dari tanganmu. Tarik pelan. Tapi pastikan itu sampai ke pusat lawanmu.”Ia coba. Tangannya gerak pelan. Badannya gemetar.Tiba-tiba... seekor ayam yang tadinya di pojok kebun, malah jalan mendekat ke arahnya.

“Weleh… kok bisa, Pak?“Itu baru kulitnya. Ilmu ini kalau dilatih bener, bisa narik yang tak kasat mata,” senyum Pak Mardani, matanya berbinar.Jurus ketiga: Membanting.Bukan soal nglempar orang ke tanah. Tapi soal menjatuhkan ego, membanting sombong, dan kadang... membanting rasa takut.Kandar diajari guling, menjatuhkan badan sendiri, lalu bangkit lagi.

“Kalau kau jatuh... jangan lama-lama rebah.Orang kuat itu bukan yang nggak pernah jatuh, tapi yang nggak betah lama-lama di bawah,” kata Pak Mardani sambil nyuruh ulang 10 kali.Peluh mulai jatuh. Nafas mulai ngos-ngosan. Tapi Kandar terus.Sampai sore, baru tiga jurus.Tangan Kandar gemetar. Tapi hatinya... justru tenang. Ada rasa lega yang nggak bisa dijelaskan.

“Besok kita lanjut lagi. Masih ada lima jurus: melempar, mengunci, menggunting, dan dua jurus rahasia. Tapi ingat, ilmu ini bukan buat nyari musuh... tapi nyiapin diri. Dunia ini medan tempur, tapi lawan terbesarmu itu... ya dirimu sendiri.”Kandar diam. Tapi dari mata dan peluhnya, orang bisa lihat: Ia bukan Kandar yang kemarin.

BAB 7
Ujian dari Dalam dan Luar

Malam itu, habis maghrib, kampung heboh.Anak kecil ketemu perempuan cantik duduk di tengah sawah. Tapi... rambutnya panjang sampai tanah, dan mukanya nggak ada hidungnya.“Perempuan itu manggil si Kandar!” kata warga.Besoknya, suara-suara mulai muncul.Ada yang bilang Kandar pelihara makhluk. Ada yang bilang dia ngilmu buat cari kekayaan.

Bahkan Bu Lurah pun manggil ibunya Kandar,padahal ibunya udah meninggal lima tahun lalu.“Kamu ini mau jadi apa, Ndro?“Mereka nggak ngerti, Pak. Saya cuma belajar menjaga diri...”Justru karena kau jaga diri, setan-setan itu gerah. Mereka lebih suka manusia lemah.”

Latihan lanjut.

Jurus keempat : Melempar.
Melempar itu bukan buang tenaga, tapi buang beban. Kadang kau harus belajar ninggalin sesuatu supaya bisa maju.“Lempar rasa sakitmu, lempar masa lalu. Tapi jangan lempar tanggung jawab,” ujar Pak Mardani.

Kandar latihan melempar tongkat ke titik tertentu.Tapi tiap lempar, yang keluar justru kemarahan dan frustasi.Sekali waktu tongkat itu malah balik ke arahnya sendiri, kena kening.“Hidup itu kadang nimpuk balik, Ndro. Jangan asal lempar.”

Jurus kelima: Mengunci.
Ini bukan soal ngunci badan orang. Tapi ngunci keputusan.Sekali jalan, pantang mundur. Sekali janji, tahan meski dihina.“Kau harus bisa ngunci lidahmu, nafsumu, dan emosimu. Kalau nggak, ilmunu bocor.”Kandar duduk bersila, disuruh diam sejam.Baru sepuluh menit, ada suara ketawa perempuan dari sumur belakang.Tapi Kandar diam. Nafas pelan.Keringat dingin mulai netes... tapi ia bertahan.

Dan suara itu... menghilang sendiri.“Bagus. Kau mulai bisa ngunci ruang batinmu,” kata Pak Mardani bangga.Tapi cobaan makin berat.Suatu malam, Sarni,janda muda yang tinggal di ujung kampung datang bawa wedang jahe.“Mas Kandar... saya sering mimpiin sampean. Katanya Mas Kandar bisa jaga saya...”Kandar gugup. Wajah Sarni manis. Bibirnya gemetar. Tapi matanya... aneh. 

Bukan seperti manusia biasa.“Sarni, pulanglah. Ini bukan waktu yang pas.“Tapi aku pengen dekat sama Mas Kandar...“Dekat itu bisa menghangatkan... atau membakar. Aku belum siap kebakar.”Sarni senyum. Tapi senyum itu... makin lama makin panjang.Dan tubuhnya berubah jadi siluet kabut hitam, lalu lenyap di balik pintu.

Kandar langsung duduk, ucap pelan: “Aku nggak belajar ini buat cari perempuan, tapi buat jaga diriku sendiri. Kalau memang ada jodoh... biar datang sendiri.”Malam itu, ia duduk di serambi.Sendiri, tapi nggak sepi. Sunyi, tapi nggak kosong.Ia tahu, ilmunya makin dalam. Tapi juga makin berat.“Kalau jalan ini panjang, biarlah aku lewati pelan.Yang penting... aku nggak balik arah.”


✧✦✧