SELEMBUT BULU PERINDU

Manajemen Cinta
Genre : Romansa Asmara
Author : Mbah Salim
Jumlah Cptr : 13
Jenis : Cerpen
Yudi. Umur udah 35. Tapi hidupnya kayak nasi basi gak enak dilihat, apalagi dirasa. Kerja nggak jelas, cinta apalagi. Kalau ngaca, kadang dia sendiri bingung, “Salahku di mana, ya?”
Tiap malam, Yudi nongkrong di pos ronda. Rokok tinggal separo, kopi pahit, dan cerita hidup makin nggak lucu. Sampai suatu malam, datang kakek tua.
Duduk diam, matanya kayak tahu isi kepala orang. Namanya Ki Darso. Nggak banyak omong, cuma ngeluarin benda kecil dari dompet kulit lusuh: dua helai bulu halus, mungil banget.
“Bulu perindu,” katanya.Yudi ngelirik, “Ini kayak yang di TikTok itu ya, Kek? Buat narik cewek?”Ki Darso cuma nyengir. “Bukan buat narik cewek. Buat narik hidupmu biar balik ke jalur.”
Sejak malam itu, Yudi mulai berubah. Nggak langsung jadi ganteng atau tajir. Tapi cara bicaranya jadi enak didenger. Senyumnya jadi adem. Suaranya, entah kenapa, bikin orang betah. Cewek-cewek yang dulu cuma balas "OK" sekarang jadi tanya "Udah makan, belum?"
Bulu itu disimpan, tapi bukan itu yang bikin hidupnya naik. Yang berubah tuh auranya. Daya tariknya. Kayak magnet.Dulu, Yudi cuma dianggap angin lalu. Sekarang? Dibilang buruan janda juga iya, tapi sopan.
Satu-satu hidupnya pelan-pelan naik. Dapet kerjaan ngisi suara, jadi MC hajatan, sampe diajak bisnis sama teman lama.Semuanya dimulai… dari sepasang bulu perindu. Tapi yang paling penting: dari Yudi sendiri, yang akhirnya sadar, ia punya daya yang selama ini tertutup kekesalan hidup.
Yudi itu orang biasa banget. Sampai kadang kayak nggak kelihatan.Di hajatan, dia duduk di bangku paling belakang. Di grup WA, dia cuma baca, nggak pernah dibalas. Di rumah, suara dia kalah sama TV yang nyetel sinetron sepanjang hari.
“Ngapain sih kamu hidup gitu-gitu aja?”Kalimat itu keluar dari adik perempuannya.Tajam. Tapi ya emang kenyataan.Yudi diam.Karena dalam diam, dia tahu: hidupnya bukan malas. Cuma bingung mau mulai dari mana.
Sampai satu hari, sebuah peristiwa kecil mengubah hidupnya.Dia bantuin orang tua yang dompetnya jatuh di pasar. Nggak sengaja. Tapi dari situ, orang itu ngajak ngobrol. Ternyata, si bapak itu seorang pembuat wayang keliling.
Ngobrol panjang. Dan sebelum pulang, si bapak bilang:“Kau punya suara, Nak. Tapi terkunci.
Kalau kau mau, ada satu tempat.Tapi... jalannya panjang. Dan nggak semua balik dengan selamat.”Yudi ketawa waktu itu. “Kayak film aja, Pak.”
Tapi malamnya, dia nggak bisa tidur.Kata-kata itu kayak... masuk ke tulang.
Perjalanan itu bukan langsung ke gunung. Bukan ke hutan.Tapi ke banyak tempat kecil yang bikin batin keok: Tidur di emperan karena kehabisan ongkos.Dikerjai orang yang ngaku bisa bantu, tapi malah nipu.
Ngangkat batu di sungai karena katanya itu ‘pembersihan ego’.Jalan kaki dari desa ke desa, cuma buat nyari satu orang tua yang katanya tahu “jalan menuju suara”.
Di tiap tempat, Yudi ditolak.Dibilang nggak pantas. Dibilang kurang kuat. Dibilang masih terlalu penuh amarah.Tapi dia terus jalan. Karena...nggak ada yang lebih menyakitkan dari hidup yang nggak pernah berubah.
Lambat laun, langkahnya jadi lebih ringan.Bukan karena beban hilang. Tapi karena ia mulai nggak peduli lagi sama beban.Dia belajar dengerin orang. Nggak marah kalau dihina. Nggak bereaksi kalau disepelekan.Ia mulai... hening. Tapi bukan kosong.Ia... dalam.
Dan pada suatu malam, setelah melewati hujan deras, luka kaki, dan hampir jatuh ke jurang...
Dia menemukan satu gubuk tua, di tengah hutan kecil yang kabutnya tebal banget.
Di sana... seorang kakek duduk, seperti sudah menunggunya.Si kakek tak bicara panjang.Cuma menyerahkan sehelai daun lontar.Di dalamnya, terlipat dua helai bulu tipis.
Dan kakek itu bilang:“Ini bukan hadiah. Ini bukan warisan.Ini hanya lambang... bahwa kamu sudah sampai.Dan kamu sudah siap... untuk jadi suara itu sendiri.”
KEPALA BENGKAK, HATI LEBIH BENGKAK
Hari keempat.Yudi masih di luar kota. Berangkat cuma bawa duit dua lembar merah, baju dua stel, sama sandal jepit yang udah putus sekali. Niatnya cari seseorang yang disebut-sebut ‘bisa bantu menemukan suara yang hilang’. Tapi siapa namanya? Di mana rumahnya? Nggak tahu. Pokoknya cuma info sepotong dari si pembuat wayang tempo hari.
“Namanya Mbah Diro. Tinggal di desa yang jauh. Tapi gak semua orang bisa ketemu dia. Kadang beliau muncul, kadang enggak.”
Itu aja petunjuknya.Yudi nginep di masjid kecil dekat terminal. Bangun subuh, cuci muka, ngelurusin pinggang. Jalan lagi.
Siangnya, nyari ojek. Tapi duit tinggal selembar.“Tiga puluh ribu, Mas,” kata tukang ojek.
“Nggak bisa kurang?”“Kalau bisa, saya udah pulang kampung.”
Yudi ketawa kecil. Tapi pahit.Akhirnya jalan kaki. Panas-panasan. Laparnya nggak terasa, yang lebih kerasa tuh kenapa hidup selalu kayak ini.
Sore menjelang, dia sampai di desa yang katanya dekat rumah Mbah Diro. Tapi belum sempat istirahat, ada anak kecil main layangan, benangnya putus, mental ke mukanya.
Plakk!!! Darah netes dari pelipis. Anak-anak kabur, orang kampung malah ngetawain.“Nah itu, baru sampe udah sial. Jangan-jangan gak bawa salam!“Jangan-jangan niatnya jelek, tuh!”
Yudi diam.Duduk di kursi bambu warung kopi.Mukanya bengkak, hatinya lebih bengkak.
Tapi anehnya, dia gak marah.Dia malah... ngelamun.
“Kalau kamu masih kuat jalan, terus aja sampai pojok desa. Nanti ada rumah tua tanpa pintu. Tapi jangan masuk. Duduk aja di depan. Kalau kamu cukup sabar, orangnya keluar sendiri.”
Itu kata nenek penjual kopi.Suaranya pelan. Tapi Yudi merasa... itu petunjuk yang harus dicoba.Setelah maghrib, Yudi jalan. Sendirian. Sepi. Angin dingin nyusup lewat lubang sandal.
Akhirnya dia sampai juga. Rumah tua. Tanpa pintu. Kayak kandang sapi yang pensiun.
Ia duduk di depan.Nggak tahu harus berdoa atau apa. Cuma duduk.Dua jam.Tiga jam.Sampai tengah malam, nggak ada siapa-siapa keluar.
Dia pegang pipinya yang bengkak.Dia senyum. “Bodoh juga aku ini. Ngapain jauh-jauh begini cuma buat cari orang yang belum tentu nyata?”Tapi pas mau berdiri...tiba-tiba suara dari dalam rumah berbunyi.“Kau akhirnya sampai juga.”
Yudi nggak langsung ngomong.Dia cuma duduk di depan rumah tua itu, pegang pipi yang bengkak. Sakitnya, perasaan lebih pedih daripada luka fisiknya.
Perjalanan ini memang susah, tapi lebih susah lagi kalau tiap langkahnya cuma nambah beban tanpa ada hasil. Yang lebih bikin emosi itu bukan masalah bulu perindu, tapi kenapa dia harus lewat semua ini cuma buat akhirnya disuruh duduk di depan rumah kosong?
Tapi, tiba-tiba, dari dalam rumah, muncul suara. Suara itu lebih seperti bisikan angin, tapi jelas banget di telinga Yudi."Kenapa kamu datang?"Yudi diam.Bukan cuma bingung, tapi juga... kaget. Sadar kalau yang dia cari, belum tentu itu yang dia butuhkan. Ternyata, bukan soal bulu atau benda, tapi jalan yang benar-benar harus dilewati.
Yudi cuma ngelus pipinya yang bengkak. Senyum pahit. "Saya nggak tahu kenapa saya datang. Cuma... ingin tahu kalau hidup ini bisa berubah. Gitu aja."
Dari dalam rumah tua, seseorang mulai muncul. Sosok tua, rambutnya panjang dan berantakan, wajahnya kaku, tapi matanya... nyala, kayak api yang tak pernah padam.
“Datang ke sini, berarti kamu siap. Tapi, apa kamu siap dengan apa yang akan datang setelahnya?”
Yudi cuma diam, menatap sosok itu.Dia sudah siap dengan semua yang dia jalani. Tapi siap dengan apa? Ini masih terlalu abstrak untuk dia pahami.
Orang tua itu hanya mengangguk pelan. "Kadang, yang kita cari itu, nggak langsung datang. Harus dicari dengan cara yang berbeda."Lalu dia mengarahkan tangan ke meja yang penuh dengan benda-benda aneh. Di antara semua itu, ada satu benda kecil yang terselip—dua helai bulu.
Yudi merasakan ada sesuatu yang kuat dari benda itu, tapi di sisi lain... dia tahu ini bukan akhir. Ini cuma sebuah tanda bahwa perjalanan lebih panjang lagi.
Sampai rumah, Yudi nggak langsung tidur.Sandal ditaruh pelan. Sarung disampirkan. Lampu kamar nggak dinyalakan dia cuma duduk di pojokan kamar, buka tas selempang usang yang sekarang jadi tempat menyimpan dua helai bulu perindu itu.
Warnanya kayak benang emas yang udah luntur. Ringkih. Tapi entah kenapa, saat disentuh, terasa ada getaran halus… bukan di tangan, tapi di dada.Yudi buka catatan yang dia dapat dari si kakek di rumah tua waktu itu.Tulisannya cuma dua baris:
“Jangan niat mempermainkan hati, karena yang datang bukan hanya cinta.“Baca dari suara hatimu, bukan dari lidahmu.”Yudi ngelus dagunya.“Suara hati? Ini maksudnya... apa?”Tapi dia tahu, ini bukan lagi soal teori. Ini soal rasa.
Pagi-pagi, dia keluar beli sarapan di warung langganan.Di sana, dia lihat Ayu, gadis yang dulu pernah nolak dia halus waktu Yudi ngajak kenalan di masjid kampung. Ayu ini beda. Nggak neko-neko. Anak warung, tapi tutur katanya lembut. Pernah juga bantuin ibunya Yudi waktu sakit.
Yudi berdiri di seberang warung.Nggak ngapa-ngapain. Cuma pegang bulu perindu itu, ditaruh di balik dompet lusuh. Nggak ada mantra. Nggak ada bacaan aneh-aneh.Dia cuma manggut pelan.Dalam hati, dia niatkan: “Biar Ayu denger suara hatiku, bukan cuma lihat tampangku.”
Saat Ayu menoleh...tatapannya biasa aja. Tapi... langkahnya berubah.Dia mendekat, dan ngomong tanpa basa-basi,“Mas Yudi... kemarin bantuin nenek di jalan ya? Aku lihat dari jauh. Terima kasih ya.”
Yudi ngangguk.Padahal dia nggak sadar pernah bantu nenek siapa.Ayu senyum. “Kalau Mas sempat... mampir ke rumah ya. Bapak mau cari tukang buat bantuin perbaiki antena. Mas bisa kan?”
Yudi bengong. “Eh... iya. Bisa. Benerin patah hati aja bisa...”Dia langsung nyesel ngomong itu.
Tapi Ayu... malah ketawa kecil.“Lucu juga ya, Mas...”Di situ, Yudi sadar: Bulu perindu bukan buat bikin orang jatuh cinta. Tapi bikin suara hati terdengar jelas.
Bikin getaran diri kita yang selama ini terkubur malu, minder, takut... akhirnya muncul.Bukan Ayu yang berubah. Tapi Yudi yang akhirnya bisa muncul apa adanya.
Malam itu, Yudi gelisah.Dia udah baca catatan kecil dari Mbah Diro: kertas buram setipis kulit bawang, tulisannya miring-miring pakai tinta yang entah dapet dari mana.Ada tiga hal yang harus dilakukan: Air rendaman bunga kenanga, cempaka, sama setetes keringat sendiri.
Lilin satu batang, gak boleh lebih.Baca mantra “sambil percaya setengah, setengahnya pasrah.”Yudi cuma garuk kepala.“Ini mantra apa iklan obat masuk angin?”Tapi ya sudahlah.
Udah jauh-jauh, masa nggak dicoba.
Jam 11 malam, Yudi siap.Bulu perindu diletak di mangkok kaca isi air bunga, disorot lilin kecil yang hampir putus nyalanya.Dia duduk bersila, baca mantra pelan-pelan:
"Ong karepku nyandhet atine,atiku mung siji,kang dak tembok ing swarane,
lumebu tekan dhadha lan pikirane.”
Udah!!.Gitu doang.Hening.Lilin masih menyala.Yudi ngeliatin bulunya.Dan tiba-tiba...bulu itu gerak.Pelan banget. Muter. Kayak digoyangin angin, tapi di dalam kamar nggak ada angin.
Yudi langsung mingkem.“Ya Allah... aku niat baik kok, beneran...”
Bulu itu makin muter. Terus... tenggelam sendiri ke dasar mangkok.Yudi makin tegang. Tapi... di saat yang sama, dia ngerasa ada yang ‘mblesek’ di dadanya. Kayak ada benang halus yang ditarik dari dalam.
Pagi harinya, Yudi ke warung lagi.Cuma pengen beli roti isi abon.Tapi pas dia sampai sana...
Ayu, gadis yang kemarin cuma basa-basi...sekarang beda.Tatapannya lebih lama. Senyumnya lebih dalam.“Mas Yudi, hari ini sibuk nggak?”Yudi bingung. “Enggak... kenapa?”
Ayu nutup warung sebentar. Jalan ke samping, terus duduk di bangku kayu.“Kalau Mas nggak sibuk, temenin aku ke rumah Mbah Karyo ya. Aku takut sendiri. Mau nganterin obat.”Yudi ngangguk.Padahal jantungnya deg-degan kayak ketemu polisi pas belum bawa SIM.
Sepanjang jalan, mereka ngobrol. Ringan, ngalir.Ayu ketawa, Ayu cerita.Dan Yudi... nggak kerasa, dia yang biasanya kagok ngomong, sekarang malah kayak penyiar radio malam.
Bulu itu gak nampak lagi gerak. Tapi yang gerak justru... hidup Yudi.Dan yang lebih serem: Ayu mulai sering nyebut nama Yudi, dengan nada yang manis.
Kadang kayak kepleset. Kadang kayak sengaja.Yudi cuma bisa senyum.Tapi dalam hati:"Wah, iki mantrane beneran nyambung, yo rek..."
Tiga hari setelah ritual itu, Yudi ngerasa aneh.Ayu makin manis.Ngirim makanan. Nanya kabar. Bahkan nelpon cuma buat bilang: "Mas Yudi, tadi aku lewat rumah Mas... hehehe... lampunya udah diganti, ya? Cakep."
Yudi senyum, tapi dalem hati mikir,“Lampu rumah bisa jadi bahan obrolan... ini udah gak wajar.”Belum selesai mikir, tetangganya, Bu Yani,janda umur 40-an, anak dua, suka pakai daster ketat motif pelangi mulai sering nongol.
“Mas Yudi... kalau butuh setrika, pinjam aja punyaku ya... masih anget...”Yudi kaget.“Eh... setrikanya... atau apanya yang anget, Bu?”
Bu Yani cuma senyum, gigit bibir, terus pergi sambil goyangin bahu.Yudi langsung masuk kamar, ngunci pintu, nempelin bulu perindu ke tembok sambil ngomong: “Ojo ngelunjak, rek! Targetmu cuma satu!”
Sore itu, Yudi lagi nyapu halaman.Tetangganya, Tatik, cewek umur 29, kerja di koperasi, belum nikah, mukanya kayak campuran Raisa sama Mang Oleh tukang tambal ban—kadang cantik, kadang ngagetin.
Biasanya Tatik cuek.Tapi hari itu, dia lewat depan rumah sambil senyum.Senyumnya bukan senyum biasa. Tapi senyum nyamping, sambil lirik bawah.“Mas Yudi... jempol kakimu imut ya... kayak kue cucur...”Terus dia jalan lagi.Yudi bengong sambil mikir, “Iki efek mantra... opo efek kurang tidur?”
Yudi balik ke kamar, ambil bulu perindu.“Lho kok kayak berdenyut gitu?”Dia panik.Dia baca ulang catatan Mbah Diro, dan baru sadar ada tulisan kecil di baliknya: “Kalau kau niatkan dengan hati bersih, dia akan mengarah pada satu tujuan.
Tapi kalau kau bimbang, tak jelas niat, dia akan menyebar... ke segala arah yang terbuka.”Yudi nyengir miris.“Lha pantes... jendelaku tiap malam kebuka. Wani piroh efeknya nyebar kabeh!”
Hari itu, Yudi baru aja selesai nyuci motor pinjaman.Masih pakai singlet bolong dan celana pendek, belum sempat mandi, tiba-tiba Bu Yani nongol di pagar.Bawa dua plastik. Isinya... pisang goreng dan minyak kayu putih.
“Mas Yudi… ini gorengan masih anget, sama minyak... buat pijet. Siapa tahu pegal...”Matanya setengah ngedip, setengah ngancam.Yudi nelen ludah.“Bu… saya sehat walafiat kok.“Ya tapi siapa tahu... badanmu butuh perhatian. Kan saya... suka memperhatikan...”Suara Bu Yani mulai serak-serak basah kayak kaset jaman dulu yang kena jamur.
Yudi langsung nyelip masuk rumah. Nyalain kipas. Peluk dompet.Dalam hati dia teriak:“Iki bulu perindu opo bulu perusak rumah tangga orang?”
Belum sempat ngaso, sore harinya Tatik datang.Bawa termos dan dua cangkir.“Mas Yudi, aku bikin kopi sendiri. Pakai racikan baru. Ada kapulaga, ada kayu manis, ada... cinta.”Dia duduk di teras tanpa diundang.Kakinya disilangkan, dan nyodorin cangkir ke arah Yudi.
Yudi mikir keras.“Ini kopi atau jebakan batman?”Dia minum juga. Nggak enak nolak.Tatik senyum terus. Dan nanya dengan suara rendah:“Mas… kalau aku ngelamar Mas… Mas tolak nggak?”
Yudi tersedak. Kopi muncrat ke tembok.“L-Lamar? Lho... aku kan belum kerja tetap, belum punya rumah, belum...”“Cinta itu bukan soal harta, Mas. Tapi soal rasa.” Tatik makin deket. Suaranya lembut kayak suara pengantar iklan minyak angin.
Malamnya, Yudi kabur ke mushola.Tidur di serambi, pakai sarung, ngadep kiblat, sambil peluk bantal kecil.Bulu perindu dia bungkus tujuh lapis, terus dimasukin ke celengan ayam.
Dia berdoa sambil gemeteran,“Ya Allah… saya cuma pengen Ayu, bukan semua wanita yang punya daster dan sempak di rumahnya.”Tiba-tiba, pintu mushola digedor.Yudi kaget.Dibuka... Ayu berdiri, bawa termos, matanya berkaca-kaca.
“Mas Yudi... aku kangen...Aku bingung... tapi aku yakin, hatiku milikmu…”Yudi langsung lemas.“Wah, iki beneran efek bulu... atau efek ngaji kelamaan ya?”
Hari itu, suasana kampung sepi.Hujan baru saja reda.Tanah becek, dan embun masih nempel di ujung rumput.Yudi berdiri di depan rumah Ayu.Tangannya gemetar. Bukan karena takut, tapi karena dia akhirnya mutusin buat ngaku jujur.
Ayu keluar, masih pakai baju daster bunga kecil. Senyumnya gak sehangat biasanya.
Sejak kejadian-kejadian aneh Bu Yani nembak Yudi pakai pantun, Tatik ngajak kawin lari,Ayu mulai curiga.
Dan hari itu, Yudi ngomong pelan-pelan.“Ayu... aku mau jujur.Beberapa waktu lalu, aku pakai sesuatu. Namanya bulu perindu. Aku pakai... karena aku merasa gak cukup pantas buat disayang apa adanya.”
Ayu diam.Tapi matanya berkaca.“Aku tahu, semua jadi aneh. Dan mungkin... rasa itu datang bukan dari kamu. Tapi dari pengaruh bulu itu.Tapi kalau sekarang aku berdiri di sini... itu karena aku buang bulu itu semalam. Aku kubur.Dan aku cuma pengen tahu satu hal…”
Yudi narik napas.
“Kalau sekarang aku ngomong, ‘Aku suka kamu, Ayu... bukan karena bulu, tapi karena kamu bikin aku pengen jadi Yudi yang bener’...Kamu percaya nggak?”
Ayu masih diam.Hujan gerimis mulai turun pelan-pelan.Tapi senyum Ayu muncul, tipis... tapi jelas.Dia melangkah maju, pegang tangan Yudi.
“Mas Yudi...dari semua laki-laki yang datang ke aku...cuma kamu yang pernah jujur soal takutnya sendiri.Dan jujur itu... lebih ampuh dari segala mantra.”
Malamnya, Yudi duduk di teras.Ngopi, nulis sesuatu di buku kecil yang dulu dipakai buat catat mantra.Di halaman terakhir, dia tulis:“Bulu perindu bisa bikin orang suka. Tapi yang bikin orang tinggal lama...adalah hati yang pulih dan berani ngomong apa adanya.”
“Aku, Yudi. Bukan siapa-siapa. Tapi aku cukup.”
Selesai
✧✦✧