ANUGERAH AYATHUL KURSI

Daftar Isi

Manajemen Batin

Genre : Misteri,Spiritual

Author : Mbah Salim

Jumlah Bab : 17

Jenis : Novel

⭐ 9.1 (Top Platinum)
Share: Facebook Twitter Threads Salin Tautan
BAB 1
MISTERI LENTERA DOA YANG TAK TERDENGAR


Kang Udin Sewaktu Berguru di Pesantrenya Kyai Sofyan
PROLOG

Di tengah malam yang bisu, ketika cicak pun enggan berbicara dan angin cuma lewat-lewat saja, ada satu lentera tua masih menyala. Di bawah sinarnya yang kuning temaram, seorang lelaki duduk bersila. Wajahnya tenang, seperti embun yang sudah berdamai dengan subuh. Namanya Udin.


Kang Udin, begitu orang kampung menyebutnya. Bukan tokoh terkenal, bukan ustadz di layar kaca, bukan pula pendekar. Tapi... setiap kali ada yang sakit, kesurupan, atau jiwa terguncang, orang-orang nyebut satu nama: "Panggil Kang Udin."


Banyak yang tak tahu, di balik wajah kalem dan langkah pelan Kang Udin, ada ilmu dari langit yang ia bawa. Ilmu yang bukan sembarang ilmu. Namanya: Ayathul Kursi. Bukan sekadar ayat. Tapi senjata. Benteng. Doa. Zikir. Dan kadang... satu-satunya pelindung saat makhluk tak kasat mata mengintai manusia dalam gelap.


Namun, semua itu tak ia pamerkan. Kang Udin bukan tukang klaim. Ia tahu... bukan ilmunya yang hebat, tapi siapa yang ia minta bantuannya—Allah Azza wa Jalla.


Dan malam itu, sebelum cerita ini dimulai... Kang Udin kembali membuka tangannya. Membaca Ayathul Kursi perlahan. Tak ada yang dengar suaranya, tapi langit mencatatnya. Di sekitarnya, samar-samar mulai muncul gangguan. Bayangan hitam melengkung dari pojok-pojok bambu. Mata-mata merah memandang penuh benci. Tapi Kang Udin tetap diam.


Satu ayat. Satu napas. Satu keikhlasan.Dan... bayangan itu memudar seperti kabut tersentuh cahaya subuh.


BAB 1 
KEPULANGAN YANG TAK BIASA


Pagi itu, langit tak mendung, tapi hawa desa seperti menahan sesuatu. Burung-burung tak seramai biasanya. Embun masih betah di ujung daun, seperti enggan jatuh. Ada suara motor tua dari ujung gang. Brmmmmm...!! pelan tapi pasti, melewati kebun singkong, warung Mbok Jum, dan masjid kecil di ujung dusun.


Yang dibonceng? Lelaki itu. Kemeja putih rapi, celana kain gelap, kopiah hitam menempel sopan di kepala. Wajahnya bersih, tapi sorot matanya dalam. Orang-orang tak berani menatap lama-lama. Ada rasa segan yang entah datang dari mana.


“Lho… Udin?”Suara Pak Jangkung, tukang kayu langganan kampung.“Iyo, Pak. Innalillahi... wis suwe banget ra ketemu panjenengan...” jawab Udin, senyum pelan.


Anak-anak kecil menatap dari kejauhan. Ibu-ibu di teras menunduk, antara ingin menyapa tapi takut salah. Karena mereka tahu, Udin yang pulang hari ini... bukan Udin yang dulu.


BAB 2
KISAH ILMU DI PESANTREN WALISONGO


Zaman itu, Kang Udin belum dipanggil “Kang”. Namanya masih “Din”, anak muda biasa. Datang ke Pesantren Walisongo dengan niat yang cuma disimpan dalam dada—mencari pegangan hidup. Bukan karena disuruh, bukan karena kabur dari rumah, tapi karena hatinya yang haus.


Pondok Walisongo bukan tempat megah. Dindingnya kayu, lantainya semen kasar, dan kalau hujan… suara atap sengnya bikin malam jadi konser sendiri. Tapi justru di sanalah, Din belajar hal yang tak diajarkan di sekolah: menundukkan diri.


Guru pertamanya, Kyai Shofwan, bukan orang sembarangan. Pakaiannya sederhana. Tapi kalau beliau bicara, yang mendengarkan bukan cuma santri—bahkan angin di luar jendela pun seperti ikut diam. Suatu malam, Din dipanggil sendirian. Beliau menatapnya lama.


“Nak Din... sampean mau belajar ilmu tinggi?”“Inggih, Yai. Tapi saya nggak ngerti maksudnya ilmu tinggi itu apa...”“Ilmu yang gak sekadar hafalan. Tapi yang bisa bikin kamu jadi cahaya di tengah gelap.”Lalu malam itu, Kyai Shofwan mengajarkan satu amalan. Tak banyak, tak ribet. Tapi beliau wanti-wanti:

“Amalan ini berat. Ayathul Kursi. Bukan cuma dibaca… tapi diresapi. Dihafal bukan pakai mulut, tapi pakai ruh. Kalau sampean belum bersih niatnya, mending jangan dibuka...”

Dari situlah semuanya dimulai...

Malam-malam selanjutnya, Din tak tidur cepat. Ia duduk bersila di serambi mushola tua, lentera minyak menyala kecil. Bibirnya komat-kamit pelan...


“Allahu laa ilaaha illaa Huwal-Hayyul-Qayyum...”Tak ada yang tahu… setiap malam, ada suara-suara aneh yang mengganggu. Ada yang mencakar genteng. Ada bayangan yang tiba-tiba duduk di depannya. Tapi Din tak gentar. Ia terus baca... walau badan gemetar.


Suatu malam, ketika ia hampir menyerah, muncul suara Kyai Shofwan dari belakang: “Semakin besar cahaya, semakin tebal pula bayangannya. Teruskan, Nak Din... jangan takut. Selama sampean yakin, sampean gak sendiri.”


Dan benar, sejak malam itu... Din tak pernah merasa sendiri lagi.

 

BAB 3
BAYANGAN DI SERAMBI MUSHOLA


Sudah hampir dua bulan Kang Udin tinggal di pondok. Hari-hari berlalu seperti putaran gilingan tangan di penggilingan kopi: berulang, sabar, dan selalu menunggu hasil. Tapi malam-malam... itu beda cerita.


Setiap ba’da isya, Kang Udin tak langsung tidur. Ia selalu duduk di serambi mushola tua, mushola kecil yang jarang dipakai santri lain. Di sana, dia mengulang-ulang Ayathul Kursi, seperti yang diajarkan Kyai Shofwan.


"Allahu laa ilaaha illa huwa... Hayyul Qayyum..."Awalnya biasa saja. Tapi makin lama, suasana mulai berubah. Angin malam makin dingin padahal tak ada hujan. Lampu minyak kadang redup sendiri, lalu menyala lagi. Dan sesekali… terdengar suara gesekan kuku di dinding bambu.


Udin menoleh. Tak ada siapa-siapa. Tapi bau tanah basah dan wangi kemenyan tiba-tiba muncul tanpa permisi.“Ujian batin itu nyata, Din.”


Suara itu datang dari arah pintu. Kyai Shofwan berdiri di sana. Sorban putih di lehernya jatuh sedikit ke bahu, dan senyumnya tenang seperti biasa.“Semakin kamu dekat dengan cahaya, semakin banyak makhluk yang terusik. Jangan dilawan, cukup dibaca. Jangan ditantang, cukup dihadapi.”


Sejak malam itu, Kang Udin mengerti. Ilmu Ayathul Kursi bukan untuk pamer. Tapi untuk membentengi hati, bukan hanya menghadapi makhluk luar, tapi juga bayangan kelam dalam diri sendiri.


Satu malam, gangguan datang lebih besar. Seekor anjing hitam lewat di depan mushola dan berhenti. Tapi matanya... merah menyala. Ia diam, menatap. Tak menggonggong. Tak lari. Hanya menatap.


Udin diam. Lalu dengan nafas tenang, dia kembali membaca: “La ta’khudzuhu sinatuw wa laa naum...”Anjing itu meringis. Perlahan, tubuhnya seperti melebur jadi asap. Dan malam kembali sunyi. Hanya suara jangkrik dan napas Udin yang tersisa.


Itulah malam di pesantren. Bukan hanya soal kitab, tapi juga tentang membaca diri. Dan malam itu, Kang Udin tahu: ia bukan lagi anak kampung biasa. Ia sedang dipahat jadi penjaga cahaya.

BAB 4
TAMU DALAM MIMPI


Malam itu, Kang Udin kecapekan. Seharian ikut kerja bakti ngurusi saluran air pondok yang mampet. Lumpur nempel di baju, tapi hatinya adem. Ia merasa makin nyatu sama tanah, sama perjuangan.


Setelah Isya, seperti biasa, dia duduk bersila di pojokan mushola. Tapi malam itu, Kang Udin ketiduran. Tak kuat nahan kantuk. Kepalanya nyandar ke tiang bambu… dan saat itulah… mimpi itu datang.


Langit dalam mimpinya gelap. Tapi di tengah sawah yang sunyi, ada satu sosok berdiri. Punggungnya menghadap. Pakai jubah putih lusuh, tangannya menggenggam tasbih dari biji kelor. Tak bersuara, tapi Kang Udin tahu: ini bukan manusia biasa.


"Kamu memegang ilmu besar..."Suaranya berat, tapi tenang."Jangan kau kotori dengan kemarahan, kebanggaan, atau keinginan dunia.""Jika kau tergoda... Ayathul Kursi akan jadi beban yang menghancurkanmu, bukan menyelamatkan."


Kang Udin hendak bertanya siapa dia… tapi tiba-tiba sosok itu berbalik. Wajahnya... seperti wajah Kyai Shofwan, tapi lebih tua. Jauh lebih tua. Dan sepasang matanya menyala seperti bara.


“Hati-hati… bukan semua yang datang untuk minta tolong… ingin diselamatkan. Kadang mereka cuma ingin menyeretmu ke dalam gelap.”Lalu… cahaya menyilaukan menyambar, dan Kang Udin terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Nafasnya tersengal. Suara ayam jago terdengar jauh di belakang pesantren.


Pagi itu, ia lapor ke Kyai Shofwan. Tapi Kyai hanya tersenyum pelan, lalu berkata:“Kalau kamu udah didatangi yang begitu... berarti kamu memang dipilih. Tapi ingat, Din... cahaya yang tinggi, bayangannya juga panjang.”


Kang Udin cuma bisa manggut pelan. Dan sejak hari itu, setiap ia mengamalkan Ayathul Kursi, ia merasa ada mata yang memperhatikan… dari balik alam yang tak bisa dijangkau oleh mata biasa.


BAB 5 
RANTI,JAMU,DAN JALAN YANG BERLIKU


Saat Kang Udin Bertemu Ranti

Pagi itu, Kang Udin baru selesai bersihin parit dekat musala. Tangannya kotor, tapi hatinya lapang. Tiba-tiba dari arah tikungan, ada suara sepeda kayuh tua. Roda berdecit pelan, suara botol kaca berdenting-denting.


“Jamu... jamu sehat... jamu kuat... jamu kuat tahan lamaaa…”Kang Udin menoleh.


Ranti.Gadis penjual jamu. Usianya mungkin dua puluh lima. Wajahnya bersih, rambut disanggul rapi, berkebaya sederhana tapi kelihatan ayu. Bawa keranjang di belakang sepeda, dan senyum yang... bikin dada Udin kayak digodok air jahe.


“Assalamu’alaikum, Kang... sehat?”“Wa’alaikumussalam... alhamdulillah, sehat.” jawab Udin pelan.Ranti nggak cuma jual jamu. Dia juga jual rasa penasaran. Bagi para pemuda kampung, Ranti itu semacam teka-teki yang manis. Tapi entah kenapa... sejak ketemu Kang Udin, tatapan matanya jadi beda. Ada rasa... ada getar.


Kang Udin sadar. Ia mulai takut. Bukan takut pada Ranti, tapi takut pada dirinya sendiri.

Karena... hati yang baru ditaburi cahaya Ayathul Kursi, kalau kena air rasa... bisa tumbuh benih yang tak bisa ditebak arahnya.


Malamnya, Udin duduk lebih lama di mushala.“Ya Allah... jangan biarkan aku jatuh karena rasa yang belum Kau ridhoi.”Tapi, ujian nggak datang cuma dari rasa.Beberapa hari kemudian, ada kabar: Ranti dijodohkan dengan anak lurah dari kota. Orangnya tajir, keren, tapi... katanya suka main perempuan. Warga mulai bisik-bisik. Dan Ranti... diam.


Suatu malam, Ranti lewat depan rumah Kang Udin. Dia berhenti. Menunduk. Lalu berkata lirih: “Kang... apa boleh aku minta tolong? Bukan soal cinta. Tapi soal hidup.”Udin terdiam. Matanya dalam. Lalu ia menjawab:


“Kalau sampean niatnya lurus, insya Allah... saya bantu. Tapi bukan saya yang nyelesaikan. Allah yang Maha Kuasa. Saya cuma perantara.”Dan malam itu... Ranti menangis. Tangis perempuan yang udah terlalu lama menanggung luka.



✧✦✧