ANUGERAH AYATHUL KURSI 2

Daftar Isi


BAB 6
RUKYAH DI TENGAH MALAM


Saat Kang Udin Merukyah Orang Kerasukan
Malam itu, udara kampung dingin tak biasa. Angin bertiup pelan, tapi rasanya menusuk ke tulang. Dari kejauhan, terdengar suara panik. Tangisan. Teriakan. Dan suara seorang lelaki berlari sambil memanggil nama…“Kang Udin... Kang Udin... tolong... istri saya kesurupan!”


Kang Udin keluar dari rumah kecilnya. Lampu minyak di tangan, wajah tetap tenang. Dihadapinya lelaki itu Pak Rasim, wajah penuh kecemasan.“Sejak Maghrib tadi, Kang... istri saya berubah. Suaranya bukan suara dia. Matanya merah, dan... dan dia bicara kayak orang kerasukan!”


Tanpa banyak tanya, Kang Udin langsung ikut. Sesampainya di rumah Pak Rasim, suasana sudah mencekam. Beberapa warga berkumpul di teras. Ada yang pegang air putih. Ada yang pegang surah Yasin. Tapi semua bingung. Tak ada yang berani masuk.


Di dalam rumah, Bu Rasim—perempuan usia 45 tahun—terikat di tiang bambu. Tubuhnya menggeliat liar. Mulutnya berteriak dengan suara berat seperti lelaki,


“Aku tidak mau keluar... tubuh ini milikku!!!”Kang Udin masuk. Tenang. Tak bicara apa-apa. Dia taruh lentera di lantai. Buka sajadah kecil. Duduk perlahan, dan… meletakkan tangan di ubun-ubun Bu Rasim.


“Bismillah... Laa ilaaha illaa Anta Subhanaka inni kuntu minadz dzolimin...”“Allahu Laa Ilaaha illa Huwa... Al-Hayyul Qayyum…”


Bu Rasim menggeliat. Menjerit. Tapi Kang Udin tak goyah. Ia terus membaca. Tak pakai suara keras. Tapi nadanya menggetarkan.Seketika, tubuh Bu Rasim berhenti. Matanya mendelik. Lalu perlahan... menangis.


“Tolong aku... aku tersesat... ampuni aku...”Dan Kang Udin tahu—yang bicara barusan bukan Bu Rasim, tapi makhluk yang terjebak.“Kembalilah pada tempatmu. Jangan ganggu manusia. Ini bukan rumahmu…”


Kang Udin tiupkan nafas ke segelas air, lalu diusap ke wajah Bu Rasim. Dalam hitungan detik, tubuh Bu Rasim lemas. Matanya menutup. Tertidur.Semua warga yang menyaksikan... tak ada yang bicara. Hanya terdengar suara jangkrik dan satu-satunya kalimat dari Pak Rasim:


“Kang Udin... sampean ini... bukan orang biasa.”Tapi Kang Udin cuma senyum pelan dan berkata: “Saya cuma numpang lewat, Pak. Yang kuasa hanya satu: Gusti Allah.”


PROLOG 2 
PULANG UNTUK MENGHADAPI TAKDIR


Pagi itu, kabut belum sepenuhnya pergi dari permukaan sawah. Burung pipit masih ribut berebut padi sisa panen. Kampung itu tampak biasa saja, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi ada satu hal yang tak biasa: Udin telah kembali.


Naik motor bebek butut pinjaman santri, Udin masuk kampung pelan-pelan. Celana kain longgar, kemeja putih sederhana, dan kopiah hitam yang masih nempel di kepala seperti dulu. Tapi sorot matanya… bukan lagi sorot mata anak muda lugu.


“Kowe wis bali, Din...”Bisik seorang bapak tua di pinggir warung kopi.Namun tidak semua menyambut hangat. Ada yang cuma melirik dari balik tirai jendela. Ada pula yang membatin: "Apa dia pikir bisa pulang seenaknya? Ilmu dari pesantren mana bisa ngusir setan di kampung ini?"


Ya, Kang Udin tidak pulang untuk liburan. Ia dipanggil oleh takdir. Bukan surat undangan, bukan pesan WhatsApp, tapi panggilan batin. Ada yang harus ia hadapi di tanah kelahirannya sendiri.


Kampung Karangsari bukan tempat biasa. Di balik sawah yang hijau dan senyum ramah penduduknya, ada banyak cerita yang dikubur. Cerita tentang pohon beringin di ujung jalan yang tidak boleh disentuh. Tentang suara gamelan tengah malam dari rumah kosong. Tentang makhluk yang katanya sudah lama menduduki tempat yang tak semestinya.


Dan Udin tahu... semua itu sedang menunggu.Bukan untuk diselamatkan. Tapi untuk menguji, seberapa kuat amalan yang ia bawa.Dan yang lebih berat lagi… menghadapi masa lalu yang belum tuntas.


“Bismillah,” ucapnya pelan.Ia cium tangan ibunya. Lalu menatap sawah depan rumah.“Aku pulang. Tapi bukan untuk tenang. Aku pulang… untuk berjaga.”


BAB 7  
DUKUN DAN DENDAM LAMA


Saat Kang Udin Berhadapan Melawan Para Dukun Kampung
Namanya Mbah Jatmiko, orang tua berambut abu-abu dengan mata sipit menyala. Di kampung Karangsari, dia bukan cuma disebut dukun,tapi juga disebut "yang dituakan" oleh kalangan tertentu. Rumahnya ada di pinggir hutan bambu. Sering terdengar suara gamelan dari sana, bahkan kalau bulan belum penuh.


Dulu, waktu Kang Udin masih kecil, Mbah Jatmiko pernah datang ke rumahnya. Waktu itu Udin demam tinggi. Tapi alih-alih disembuhkan, Mbah Jatmiko malah bisik-bisik ke ibunya: “Anak ini punya cahaya. Tapi kalau gak dijaga... bisa jadi musuhku suatu hari.”


Kata-kata itu dilupakan semua orang. Tapi tidak oleh Mbah Jatmiko.Dan sekarang… Udin pulang. Membawa cahaya. Membawa nama. Membawa doa.Sementara warga mulai lirak-lirik…


“Lho, kok Bu Marni anaknya sembuh ya setelah ke Udin?”“Si Aan yang sering kesurupan, kok sekarang tenang setelah dikasih air doa sama Kang Udin?”Itulah yang bikin Mbah Jatmiko gerah.Bukan soal uang, tapi soal pengaruh.


Suatu malam, Kang Udin sedang duduk di mushola kecil. Sendirian. Baca wirid sambil sesekali mengusap wajah.Tiba-tiba… pintu mushola berderit terbuka. Masuklah seseorang dengan baju hitam longgar. Berdiri kaku, dan menatap tajam.


“Sampeyan bawa ilmu dari pesantren, ya?”“Insya Allah, ilmu dari Allah, bukan dari saya.”“Tapi kenapa sampean ambil semua urusan di kampung ini? Padahal sudah ada yang lebih dulu bertugas!”Kang Udin berdiri. Tenang. Tidak marah. Tapi pandangannya dalam.


“Kalau ada yang bisa nolong tanpa syirik, tanpa sesajen, tanpa melibatkan jin... ya kita pilih jalan itu, kan?”Tiba-tiba… tubuh orang itu gemetar. Mulutnya menyeringai aneh. Suara berubah jadi berat: “Kami... sudah lama di sini. Sampean jangan usik!”


Tangan Kang Udin naik. Tidak memukul. Tapi menutup dada. "Allahu Laa Ilaaha illa Huwa... Al-Hayyul Qayyum..." BOOOM!! Lampu mushola padam. Angin kencang menerpa dari luar. Suara pintu menutup sendiri. Tapi Kang Udin tak bergeming. Dia terus membaca. Dan… suara itu menghilang. Hanya menyisakan bau belerang dan suara lolongan anjing dari kejauhan.


Malam itu, Udin sadar… ia bukan sekadar pulang kampung. Ia sedang masuk ke medan perang.Bukan perang fisik. Tapi perang antara cahaya dan kegelapan yang sudah lama bersarang di tanah sendiri.


BAB 8
DUEL DI PEMAKAMAN TUA


Malam Jumat Kliwon.

Langit tak bintang. Bulan malu-malu tertutup mendung. Di ujung kampung Karangsari, ada pemakaman tua, tempat orang zaman dulu bilang: “Jangan lewat situ habis Maghrib… apalagi kalau hatimu lagi goyah.”


Tapi malam itu… pemakaman tua itu jadi arena.Kabar berembus: Mbah Jatmiko merasa dilecehkan. Ilmunya dianggap kalah. Harga dirinya diinjak karena warga sekarang mulai memilih Kang Udin.Dan tanpa perantara, tanpa undangan, datanglah Mbah Jatmiko sendiri ke rumah Kang Udin sore itu.


“Malam ini, di pemakaman tua. Biar bumi yang memilih siapa yang pantas berdiri. Kamu siap?” Udin hanya menatap. Tidak menyanggupi, tidak menolak. Tapi setelah Maghrib, dia wudhu… ambil sajadah… dan melangkah.


Jam 10 malam.Dua sosok berdiri di antara nisan-nisan tua.Mbah Jatmiko berdiri dengan jubah hitam, di tangannya ada tongkat dari kayu jati. Di lehernya tergantung kalung dari cakar macan dan potongan rambut yang dililit benang merah.


Kang Udin berdiri tenang. Kemeja putihnya bersih. Kopiah hitamnya tegak. Dan di dadanya... bergetar zikir tak terdengar. “Aku akan panggil jin-jin penjaga makam ini. Lihat bagaimana mereka menyambutmu!“Silakan,” jawab Udin lirih.


Mbah Jatmiko mulai membaca mantra. Udara tiba-tiba dingin. Awan menggulung. Pohon-pohon bambu berderak. Dan… suara geraman muncul dari tanah.Tapi Udin tak gentar. Dia duduk bersila. Lalu membaca pelan: “Allahu Laa Ilaaha illa Huwa...”


Dan saat itu… cahaya putih memancar dari tubuhnya. Seolah langit membuka satu titik kecil untuk menurunkan pertolongan.Makhluk-makhluk hitam yang tadi keluar dari tanah… berteriak. Tubuhnya terbakar. Mereka lari, hancur satu persatu.


Mbah Jatmiko terjatuh. Tongkatnya patah. Mulutnya bergetar.“Bagaimana kamu bisa...?“Karena aku tidak sendiri,” kata Udin.“Ilmu yang aku bawa, bukan untuk menantang, tapi untuk menghidupkan.”


Mbah Jatmiko menangis. Di tengah pemakaman itu, ia bersujud.

Dan untuk pertama kalinya, seorang dukun tua sujud di hadapan seorang murid pesantren.


BAB 9 
GAMELAN TANPA SUMBER


Malam itu, suasana kampung kembali tenang setelah kejadian di pemakaman tua. Banyak warga mulai berani menyapa Kang Udin, bukan cuma dengan senyum, tapi juga dengan rasa yakin.Tapi ketenangan itu… rupanya cuma jeda.Bukan akhir.


Malam Jumat berikutnya, sekitar jam 1 dini hari, suara gamelan terdengar dari arah selatan kampung.Bukan dari radio, bukan dari speaker. Tapi… dari tanah.


“Dung... dung... dung tak... dung...!!”Suaranya pelan, tapi bikin bulu kuduk berdiri.Tak ada lampu menyala. Tak ada orang di jalan.Warga mulai resah. Apalagi anak kecil tiba-tiba sering menangis tengah malam tanpa sebab. Ternak mendadak gelisah.


Dan yang lebih aneh: bayi-bayi mendadak tertawa dalam tidur.Tapi… dengan mata terbuka.Kang Udin tahu, ini bukan kejadian biasa.Malam itu, ia mendatangi rumah Bu Marsiyem, seorang janda tua yang tinggal sendiri. Anaknya melapor, ibunya mendadak kerasukan dan menyanyi lagu Jawa kuno.


Saat Udin masuk, lampu langsung padam.Bu Marsiyem duduk bersila di tengah rumah. Matanya terbuka lebar. Senyumnya aneh. Tangannya mengetuk lantai... seperti main bonang.“Kowe telat, Le Udin... mereka sudah datang dari lama...”


“Siapa mereka?” tanya Udin perlahan.Bu Marsiyem tertawa.“Yang mengiringi ruh-ruh penasaran… dari zaman keraton belum jatuh...”Udin tahu, ini bukan jin biasa. Ini gangguan berantai, makhluk-makhluk lama yang mendiami bekas kerajaan di tanah kampung itu.


Ia duduk. Menghampar sajadah.Lalu dengan suara tenang, ia baca: “Allahu Laa Ilaaha illa Huwa... Al-Hayyul Qayyum...” Semakin keras suara gamelan dalam telinga warga... semakin lirih doa Udin.Dan saat ayat itu selesai... suara gamelan berhenti.

Hening.


Lalu... angin masuk dari jendela. Membawa bau bunga kenanga dan dupa. Tapi hanya sebentar.Setelah itu, Bu Marsiyem menangis.“Kenapa aku... merasa ringan, Kang?“Karena yang menumpang sudah pulang,” jawab Udin.


Sejak malam itu, tak ada lagi suara gamelan tanpa sumber. Tapi warga makin paham…

Bukan semua yang tak terlihat itu jahat. Tapi semua yang menyamar jadi indah... harus diwaspadai.



✧✦✧