JIWA DAYA KODRAT 2

Daftar Isi


BAGIAN 6
BAYANGAN DARI MASA LALU


Perkelahian Tak Terelakan,Kang Jiwo dan Darsan
Tiga hari setelah hujan soto dan senyuman pertama Ningsih,Pasar Pasirwaja makin damai.Jiwo mulai dikenal sebagai “Pendekar Kodrat”, meski dia sendiri nggak pernah suka dipanggil begitu.

Tapi malam itu...di bawah lampu jalan yang sama saat ia pertama kali menyelamatkan Ningsih..seorang lelaki berdiri tegak.Tubuhnya besar.Wajahnya penuh luka lama.Dan satu matanya.. kosong.

Namanya: Darsan Kobra.Mantan murid satu perguruan waktu Jiwo masih muda,yang dulu pernah kalah, dan bersumpah akan balas dendam.

“JIWOOOO!!!”suara itu menggema di sepanjang gang.Ningsih yang lewat hendak beli tahu tek, terdiam.Warga sekitar berhenti melangkah. Ada aura bahaya di udara.

Jiwo keluar dari kios, menatap Darsan tanpa ekspresi.Mereka berdiri saling tatap. Dua bayangan siluet di bawah cahaya kuning lampu jalan.“Kau lupa janji kita, Wo?! Siapa yang kalah... harus tunduk seumur hidup!”

Jiwo menghela napas.“Darsan... kita udah beda jalan. Aku gak mau adu jurus buat nunjukin siapa yang paling kuat.Aku mau bantu orang, bukan hancurkan.”Tapi Darsan tertawa dingin.“Omong kosong! Ilmu Daya Kodrat itu bukan buat jadi pahlawan pasar! Itu warisan tua... harus dipakai buat menguasai! Biar dunia tunduk!”

Dan seketika...Darsan menyerang! Cepat.Keras.Penuh dendam.Jurus "Nafas Cobra"dilancarkan.Tinju kecepatan tinggi, seperti ular menghantam dari tiga arah sekaligus.Jiwo menghindar.Satu langkah ke kiri, lalu ke kanan.Matanya tak berkedip.

Dan...BRAK! Satu pukulan Darsan menghancurkan pot tanaman di pinggir kios.Debunya beterbangan.“Kau masih pengecut, Jiwo!”Jiwo berdiri, buka posisi jurus. Tapi bukan untuk menyerang.

Jurus “Menggunting.”Langkah perlahan. Tidak menyerang. Tapi menenangkan.Warga berkumpul.Ningsih menatap dari kejauhan. Jantungnya berpacu.Darsan menyerang lagi.Tapi Jiwo... malah tangkap tangannya.Menatap langsung ke matanya.

“Aku tak akan memukulmu, Darsan.Karena musuh bukan harus dihancurkan. Kadang cukup ditenangkan.”Darsan terdiam.Tubuhnya gemetar.Tiba-tiba dia berlutut.Air matanya jatuh.“Aku... kalah, Jiwo...”

Dan malam itu...bukannya perkelahian,malah jadi peristiwa pengampunan.Warga menangis.
Bukan karena kekalahan,tapi karena kemenangan hati.

Bagian 7
Maaf yang Membuka Pintu Langit
Darsan Kobra mengaku Kalah dan Minta Maaf pada Kang Jiwo
Setelah benturan jurus dan hantaman niat...Malam itu jadi saksi dua sosok berdiri di bawah cahaya lampu jalan.Darsan Kobra, tubuhnya besar, tapi kini lunglai.

Nafasnya ngos-ngosan. Lututnya mulai lemas.Sementara Kang Jiwo berdiri tegak. Tenang.Tak satupun luka di tubuhnya. Tapi sorot matanya... dalam. Seperti ngaca langsung ke hati Darsan.

“Sudah, San,” ucap Jiwo pelan.“Kita ini bukan musuh. Kita saudara seperguruan. Kau hanya salah arah. Dan sekarang... ayo balik.”Darsan jatuh berlutut.Tangannya menekan dada.Matanya berkaca-kaca.

“Jiwo... aku kalah. Tapi bukan karena jurusmu.Aku kalah... karena selama ini aku gak ngerti,bahwa kekuatan sejati bukan buat nunjukin siapa paling jago,tapi buat jagain orang lain dari kesakitan.”

Jiwo menunduk. Tangannya menggenggam bahu Darsan.“Ilmu Daya Kodrat lahir dari niat.Dan kau... malam ini sudah memulainya. Niat mengakui salah itu jurus pertama yang jarang orang bisa.”

Darsan meneteskan air mata.Tangannya terangkat, menangkup di depan dada.“Aku minta maaf, Kang Jiwo.Maaf untuk semua preman yang pernah kau lawan.Maaf untuk dendam yang kubawa sampai bikin orang lain luka.Dan maaf…karena selama ini aku gagal jadi murid ayah kita.”

Warga pasar yang menyaksikan, diam.Mereka tidak bersorak. Tidak bertepuk tangan.Tapi satu per satu mereka menunduk.Karena malam itu…pasar bukan tempat transaksi...tapi tempat di mana hati-hati keras belajar melembut.

Bagian 8
Pertemuan Dua Dunia Ujang dan Ningsih
Kang Ujang Yang sudah Bertobat,Saat bertemu Ningsih di Pasar
Pasar Pasirwaja pagi itu seperti biasa.Langit mendung, tapi suasananya terang.Ujang Kewer, lelaki berotot besar, yang dulu bikin pedagang gemetaran tiap Jumat Wage… kini berjalan pelan.Langkahnya berat. Bukan karena tubuhnya, tapi karena… hatinya belum utuh.

Sejak malam itu, sejak ia berlutut di depan Jiwo, hidupnya berubah.Bukan lagi pemalak.Tapi… tukang bersih-bersih pasar.Dan pagi itu, di depan warung soto milik Bu Nani,Ujang bertemu Ningsih.

Gadis pabrik itu baru saja selesai beli sarapan buat teman-temannya.Wajahnya bersih, polos, berkeringat sedikit karena jalan cepat.Senyumannya… khas gadis desa. Tulus tanpa dibuat-buat.Ujang mematung.Ningsih menatap sekilas.Lalu menunduk sopan.“Eh… Pak Ujang ya?”

Ujang gugup. “Eh… eh iya, Mbak Ningsih kan?”“Duh… saya masih ingat, dulu sampean sering jagain warung ini, meski sambil marah-marah…”Ningsih tertawa kecil.Tawa yang buat hati Ujang meleleh kayak tahu goreng kelamaan di kuah.

“Sekarang saya bersih-bersih, Mbak. Tiap pagi. Angkatin sampah. Tarik gerobak. Tapi kadang… masih malu sama sampean semua…”Ningsih menatap Ujang sebentar.“Pak Ujang...Yang penting sekarang sampean berubah.Banyak orang kuat, tapi gak semua berani minta maaf kayak sampean. Itu lebih gagah dari jurus manapun.”

Ujang terdiam.Tangannya gemetar.Bibirnya menahan sesuatu.“Kalau sampean gak keberatan… besok-besok saya boleh antar soto ke pabrik? Biar gak berat bawaannya…”Ningsih nyengir.“Ya boleh… asal gak minta uang keamanan lagi...”

Keduanya tertawa.Tak keras. Tapi cukup untuk menggetarkan satu sudut pasar kecil itu.

Bagian 9
Dua Hati,Satu Jalan

Malam itu, suasana pasar berubah.Bukan karena keributan,tapi karena dua orang diam duduk di bangku kayu di bawah lampu minyak gantung.Kang Jiwo wajahnya keras, tapi malam itu...melembut.Dan di sebelahnya, Ningsih.Gadis yang matanya seperti pagi hari: jernih, penuh harap.

Mereka tak banyak bicara.Kadang hanya saling pandang, kadang tertawa kecil karena sepotong kenangan lucu.“Mas Jiwo...”Ningsih memecah sunyi.“Sampean ini orang kuat. Tapi kalau lagi diam, kelihatan kayak anak hilang yang bingung pulang...”

Jiwo tersenyum tipis.“Lho... memang aku ini anak hilang, Ning.Hilang dari desa, hilang dari ayah, hilang dari pegangan hidup.Baru ketemu arah waktu lihat sampean nolongin anak kecil di warung tadi siang...”Ningsih menunduk.Pipi merah, bukan karena malu, tapi karena hatinya mulai gemetar.Ada rasa... yang tak perlu diumbar lewat kata.

Jiwo menatap langit.“Mungkin... takdir itu bukan soal siapa dengan siapa. Tapi...siapa yang berani duduk diam dan tetap ada, meski dunia ribut.”

Ningsih menoleh.Dan di momen itu, waktu seolah berhenti.Lampu gantung bergoyang.
Angin pelan menyentuh lengan baju.Dan dua hati... perlahan saling mendekat, bukan lewat pelukan,tapi lewat saling mengerti.



✧✦✧