LEMBAH DAYA KODRAT 2
Daftar Isi
BAB 8
GUNTING TAKDIR DAN HUTANG JIWA
![]() |
Ketika Kandar Sedang berlatih Jurus Daya Kodrat Bersama gurunya |
Tiga tahun lalu, adiknya sakit.
Dia minjam duit ke rentenir kampung.Tapi si adik... nggak tertolong.Dan utangnya... masih jadi beban sampai sekarang.Suatu malam, Kandar duduk di bawah pohon randu tua.Tempat itu angker. Tapi malah jadi tempat ia merenung.“Apa gunanya semua jurus ini, kalau hidupku tetap berat, Pak?” tanya Kandar saat Pak Mardani datang nyusul.
“Ilmu ini bukan buat meringankan hidup, Ndro. Tapi biar kau kuat nanggungnya.”Kandar diam. Matanya basah.“Aku benci sama diriku, Pak. Aku ngerasa... udah berusaha, tapi tetap gagal.”Pak Mardani duduk di sebelahnya.“Kalau kau benci sama dirimu... itu artinya kau belum paham cara menggunting.“Gunting?
“Jurus keenam.Menggunting bukan buat nyakiti. Tapi buat memutus.“Putus dari masa lalu. Putus dari dendam. Putus dari rasa bersalah yang nggak kau selesaikan.”
Latihan malam itu sederhana.Pak Mardani kasih Kandar seutas tali, diikat di dua batang bambu.“Anggap ini ikatanmu dengan masa lalu. Sekarang... potong.”Kandar ragu.Tangannya gemetar. Karena sebenarnya... bukan tali itu yang berat dipotong,tapi kenangan yang masih melekat di situ.
Setelah diam cukup lama, akhirnya...“Kres!”Tali itu putus.Dan entah kenapa... malam itu Kandar tidur tanpa mimpi buruk.Paginya, datang tamu ke rumah.Lelaki tinggi, berkumis, baju batik mahal.
“Saya Pak Sugeng, utusan dari orang kaya kota. Kami dengar Anda punya kelebihan. Mau ikut kami, nanti digaji tinggi, fasilitas lengkap.“Kerjaannya apa?” tanya Kandar.“Menjaga tempat usaha. Tapi kadang bantu ‘ngusir’ roh-roh penasaran. Kadang juga diminta ‘membersihkan’ pesaing bisnis…”
Kandar senyum, lalu berkata pelan: “Saya belajar ilmu ini bukan buat disewa.“Tapi uangnya besar, Mas. Bisa lunasin semua utang.“Saya mending miskin, tapi bebas. Daripada kaya... tapi dikendalikan.”Pak Sugeng pamit, wajahnya kaku.Sore harinya, Kandar jalan ke makam adiknya.
Bawa bunga, dan bawa rasa lega.Ia tahu, hidupnya masih panjang. Tapi satu hal sudah pasti:jalannya lurus, dan nggak bisa dibeli.
Bagian 9
Gunting Tak Kasat Mata
Malam Jumat itu, hujan turun halus.Langit mendung, tapi suara jangkrik tetap nyaring.Kandar duduk di dipan kayu tua, di samping tungku yang masih hangat.Matanya kosong. Pikirannya kemana-mana.“Kalau aja waktu itu aku lebih cepat cari uang... mungkin adikku masih hidup.“Kalau aja aku nggak belajar ilmu ini... mungkin aku bisa hidup normal.”
“Kalau... kalau... kalau...”Ia belum sadar kalimat “kalau” itu sedang menggunting hatinya sendiri, pelan-pelan.Tiba-tiba, ia tertidur. Tapi bukan tidur biasa.Ia seperti jatuh ke dalam sumur gelap, lalu muncul di tengah ladang ilalang.Ada sosok duduk di atas batu besar. Rambut putih panjang, wajahnya tenang, pakai sorban lusuh dan baju sobek-sobek.
“Kau tahu kenapa kau dibawa ke sini, Ndro?“Entah... saya bingung. Hidup saya seperti benang kusut. Saya belajar, saya berdoa, tapi tetap tersesat.“Karena kau belum bisa... menggunting ikatan gaibmu.”Kandar kaget. Sosok itu berdiri. Tangan kanannya pegang gunting hitam, besar, tapi ringan seperti asap.
“Kau masih terikat dengan dua hal: penyesalan, dan janji yang belum kau tepati.“Janji apa?“Janji kepada ibumu bahwa kau akan menjaga keluarga. Tapi kau malah menjauh.”Tiba-tiba, pemandangan berganti.Ia berada di depan rumah lamanya, rumah yang dulu ditempati ibunya. Di sana, berdiri mbaknya sendiri, wajahnya sedih.“Ndro... kalau kamu pintar, kenapa nggak bantu keluarga?”
“Aku belajar, Mbak. Aku jaga batinku...“Tapi kami yang di dunia nyata... butuh nasi, bukan batin!”Seketika Kandar menunduk.Gunting gaib itu muncul lagi di tangannya.“Apa gunanya gunting ini, kalau hatiku justru yang robek?“Gunting bukan buat melukai, Ndro. Tapi buat memutus tali yang menjerat.”
Ia terbangun. Nafasnya memburu, baju basah keringat.Jam menunjukkan pukul 3 dini hari.Ia berdiri, mengambil air wudhu, dan shalat malam dengan air mata meleleh.“Ya Allah... kalau aku salah jalan, tuntun aku. Kalau aku beban bagi keluargaku, kuatkan aku untuk menebusnya.”Paginya, Kandar datang ke rumah mbaknya.
Rumah tua, bocor, lantai tanah. Mbaknya kaget, lalu nangis.“Aku minta maaf, Mbak. Mungkin aku belum bisa ngasih uang banyak... tapi mulai hari ini, aku jaga warung kecil ini. Biar kau bisa istirahat.”Dan sejak hari itu, Kandar bantu mbaknya jualan kopi, gorengan, nasi kuning.
Ilmu daya kodratnya tak ditinggalkan tapi disatukan dalam kehidupan sehari-hari.Malamnya, Pak Mardani datang ke warung.“Ndro... kau sudah berhasil memutus satu ikatan.Sekarang saatnya kau belajar jurus terakhir:
Jurus Ketuju : Menggenggam Tanpa Mengikat.
Karena kadang... hidup ini bukan soal menahan, tapi soal merelakan.”Kandar menunduk. Tapi hatinya tenang.Karena kini, ia sadar ilmu bukan buat menjauh dari hidup. Tapi buat menghidupi hidup.
BAB 10
Menggenggam Tanpa Mengikat
Warung mbaknya Kandar mulai ramai.Bukan karena kopi, tapi karena aura Kandar.Orang-orang datang bukan cuma untuk ngopi... tapi curhat.Tentang anak yang nyolong motor,tentang istri yang ngambek, bahkan tentang jin gentayangan di kebun belakang.Kandar gak pernah mengaku dukun.
Tapi cara dia dengerin...Cara dia ngomong pelan tapi dalem...Bikin orang percaya, “Lelaki ini ada isinya.”Suatu siang, datang seorang tamu.Gagah. Jas hitam. Rambut klimis. Matanya tajam kayak silet.“Mas Kandar?“Saya.”
“Perkenalkan, saya Pak Danu. Dari Komunitas Garuda Hitam. Kami sedang mencari sosok seperti Anda. Berilmu, bersih, dan disegani.“Untuk apa?“Kami butuh pemimpin wilayah.Gajinya besar. Fasilitas lengkap. Bahkan, Anda bisa pilih tempat tinggal... termasuk rumah megah di kota.”Kandar diam. Tapi matanya mengamati.Ada sesuatu di balik tutur Pak Danu yang terlalu licin.
“Apa ada syaratnya, Pak?“Ya... sedikit. Anda harus jaga tempat-tempat kami. Kadang ritual. Kadang penyesuaian energi. Tapi tenang, semua dalam jalur putih... eh, agak keabu-abuan juga nggak papa.”Kandar tersenyum. Tapi senyumnya getir.“Ilmu yang saya pegang... bukan buat jadi alat. Bukan juga buat dagangan.”
“Tapi ini kesempatan besar!” bentak Pak Danu.“Banyak yang rela membunuh demi posisi ini. Anda malah menolak?”Kandar berdiri. Matanya tenang.“Saya sudah belajar satu hal dari hidup, Pak...“Apa itu?“Bahwa yang digenggam terlalu erat... malah lepas. Tapi yang dijaga dengan ikhlas... malah abadi.”Pak Danu meludah ke tanah.
“Bodoh. Kau pilih hidup miskin?“Saya pilih hidup merdeka.”Dan lelaki itu pergi. Tapi Mbah yakin, dia akan balik lagi. Dalam bentuk cobaan lain.Malamnya, Kandar gelisah.Hatinya mulai bertanya-tanya...“Benarkah aku menolak rezeki? Atau cuma pengecut?“Apa aku ini bener-bener dijalanin ilmu... atau sekadar lari dari kenyataan?”
Ia keluar. Langit gelap. Angin dingin menusuk.Di bawah pohon waru, ia duduk. Menunduk. Lalu seseorang berdiri di hadapannya.Bukan manusia. Tapi juga bukan setan.Wujudnya tinggi besar. Jubah putih. Mata terang.“Kandar... sudah saatnya kau menerima jurus terakhir.“Saya belum pantas.“Justru karena itu, kau layak.“Apa jurusnya?”
Jurus Kedelapan : Menggenggam Tanpa Mengikat.
Kau harus belajar melepas... bahkan ilmu itu sendiri.”Tiba-tiba...Kandar melihat dirinya berdiri di pematang sawah.Angin bertiup, dan suara bisikan terdengar: “Ilmu bukan untuk dikoleksi.
Bukan untuk pamer.Tapi untuk dilepaskan saat saatnya tiba.Yang menggenggam dengan ego, akan kalah.Tapi yang menggenggam dengan cinta, akan menang... bahkan saat ia jatuh.”
Paginya, Kandar kembali ke warung.Mukanya biasa saja. Tapi batinnya sudah berbeda.Ia bukan lagi “si pemilik ilmu.”Tapi si penjaga titipan.Dan seperti embun di pagi hari,ilmu itu... makin bening, makin ringan... makin mengalir ke siapa saja yang butuh.
BAB 11
Ujian Terakhir Kekuatan untuk Melepas
Hari itu cerah, dengan angin sepoi-sepoi yang terasa sejuk di wajah. Kandar duduk di warung sambil menatap jalan raya yang ramai dengan kendaraan yang melintas. Tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan malam itu di mana ia berdiri di bawah pohon waru, berbicara dengan sosok yang mengaku sebagai “penjaga ilmu”.
“Melepas... ilmu yang sudah digenggam. Itu berat sekali, Pak.“Iya, Ndro. Tapi ingat, ilmu ini bukan untuk kekuatanmu sendiri. Kalau kau berpegang terlalu erat, kau akan menjadi budaknya. Kalau kau bisa melepasnya, kau akan menjadi penguasanya.”Kandar menggenggam tangannya erat.
Ada perasaan kuat yang mengalir, seolah-olah dia sedang menahan sesuatu yang sangat berharga. Tangan itu tak bisa dilepaskan begitu saja. Namun, ia tahu... ini adalah bagian dari perjalanan.
Tiba-tiba pintu warung terbuka. Seorang lelaki datang, mengenakan jas hitam rapi.“Mas Kandar?“Saya.“Perkenalkan, saya Pak Rudi. Dulu saya pernah datang menemui Anda, dan saya ingin menawarkan sesuatu lagi.”Kandar mengerutkan dahi. “Apa yang Anda tawarkan kali ini, Pak?”
“Saya ingin Anda bergabung dengan kami. Kami adalah bagian dari sebuah organisasi besar yang menjaga kestabilan kekuatan gaib di Indonesia. Anda akan mendapatkan banyak fasilitas. Tapi yang paling penting, Anda akan diberi kekuatan yang lebih besar.”Kandar terdiam. Hatinya mulai goyah.
Apakah ini tawaran yang tepat? Atau justru godaan yang akan membuatnya jatuh?Sosok Pak Rudi terlihat meyakinkan, namun entah mengapa ada rasa tidak nyaman yang menghimpit.“Saya tidak tertarik,” jawab Kandar tegas.“Anda masih belum paham, Mas. Kalau Anda menolak ini, Anda akan kehilangan kesempatan emas. Dunia ini membutuhkan orang seperti Anda. Kami bisa memberi Anda lebih dari apa yang Anda inginkan.”
“Saya sudah cukup dengan apa yang saya punya, Pak. Saya memilih jalan saya.“Sayang sekali. Saya kira Anda lebih bijak dari itu.”Pak Rudi berpaling, dan Kandar bisa merasakan betapa beratnya keputusan yang telah dibuatnya. Sesuatu yang lebih besar, yang datang dalam bentuk kekuasaan, tampaknya memang menggoda.
Tapi hatinya mengatakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih dalam, lebih halus. Sesuatu yang mengajarinya untuk melepaskan.Malam itu, Kandar duduk sendiri di warung, ditemani secangkir kopi pahit.
“Kenapa saya merasa kosong, ya?” gumamnya pada diri sendiri.Tiba-tiba, ia mendengar suara dari luar.“Kandar... kau tak bisa melarikan diri selamanya.”Suara itu datang dari arah pohon waru yang kini terlihat lebih gelap dari biasanya.
Kandar bangkit.Ia melangkah keluar dan menuju pohon waru.“Siapa itu?”Tapi tak ada jawab. Hanya angin yang berdesir.Tiba-tiba, bayangan hitam muncul di depan matanya. Sosok itu melangkah pelan, seolah berjalan di udara.“Aku yang kau tolak tadi. Dan sekarang aku akan datang untuk mengambil apa yang sudah jadi milikku,” kata sosok itu, matanya memancarkan kekuatan gelap.
Tantangan datang tak terduga!!.
Pak Rudi ternyata bukan orang biasa. Ia adalah bagian dari organisasi yang punya cara-cara licik untuk menguasai kekuatan gaib. Dan kali ini, dia datang untuk menghancurkan Kandar, untuk mengambil ilmu yang telah lama terpendam dalam dirinya.
“Ini adalah waktu terakhirmu, Kandar. Kamu memilih untuk melepaskan ilmu yang bisa memberimu kekuasaan besar. Tapi lihatlah... dunia ini tidak memberi kesempatan kedua.”
Pertempuran dimulai.
Kandar tidak terkejut. Di balik kesederhanaannya, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian seperti ini. Ilmu Daya Kodrat sudah mengajarinya untuk bertindak, bukan hanya dengan kekuatan fisik, tapi juga dengan hati yang bersih.
Jurus pertama: Menusuk.
Kandar menyiapkan gerakan cepat, melancarkan tangan ke depan untuk menyerang. Namun, Pak Rudi menghindar dengan gesit.
Jurus kedua: Menarik.
Kandar menarik energinya dari alam sekitar, mencoba untuk memengaruhi arah serangan Pak Rudi. Tapi sosok itu sudah tahu cara mengelak.Pak Rudi mulai mendekat, tangan kirinya mengeluarkan cahaya gelap yang menyilaukan.
Jurus ketiga: Membanting.
Kandar memfokuskan energi di kakinya, menendang tanah dengan keras untuk mengguncang lawannya. Tanah bergetar, namun Pak Rudi tetap berdiri tegak, dengan senyum mengejek.Saat itulah Kandar sadar, ilmu ini tidak hanya untuk digunakan dengan kekuatan fisik.
Ia ingat apa yang diajarkan oleh Pak Mardani: “Ilmu ini bukan untuk dipertahankan, tapi untuk dilepaskan.”Kandar menarik napas dalam-dalam, melepaskan segala ketegangan dalam tubuhnya.
Ia tidak lagi menggunakan jurus-jurus fisik, tetapi mengalir dengan alam. Ia membiarkan dirinya menjadi satu dengan angin, satu dengan bumi, dan satu dengan ilmu yang sudah ia pelajari. Begitu ia melepaskan semua ikatan, semua kekuatan yang ada di dalam dirinya mengalir bebas.
Pak Rudi terkejut. Ia mencoba melawan, namun kali ini, Kandar sudah tidak lagi bergerak dengan nafsu atau keinginan pribadi.Ilmu Daya Kodrat mengalir, dan Kandar melawan bukan dengan kekuatan fisik, tapi dengan kedamaian yang terpancar dari dalam dirinya.
Akhirnya, Pak Rudi terjatuh, tak bisa melanjutkan serangannya.“Kau... mengalahkan aku dengan... dengan cara yang tidak aku mengerti.”
Bukan aku yang mengalahkanmu, Pak. Ini adalah kekuatan yang lebih besar dari semua ilmu yang ada. Kekuatan untuk melepas.”Kandar berdiri. Matahari mulai terbit di kejauhan.Ilmu Daya Kodrat-nya sudah lengkap.Ia tidak perlu lagi mengikat diri pada apapun. Karena ia tahu, kehidupan ini adalah tentang melepaskan dan mengalir.
Akhir dari perjalanan? Belum. Ini baru awal,Kandar kini bukan hanya penjaga ilmu,tapi penjaga kedamaian yang mengalir dalam hidupnya dan orang-orang di sekitarnya.
BAB 12
Sumpah di Balik Api
Setelah kejadian dengan Pak Rudi itu, malam-malam Kandar berubah. Bukan jadi tenang,justru jadi lebih... hening. Tapi bukan hening yang biasa. Ini hening yang bikin dada sesak, pikiran gaduh, dan jiwa seperti dikurung di ruangan tak berjendela.
Di pos ronda malam itu, Kandar duduk bertiga: Ada Pak Bejo, mantan satpam pabrik rokok.Ada juga Joyo, bocah SMA yang baru ngerasain patah hati.Dan tentu saja, Kandar, yang sekarang lebih banyak diam tapi tatapan matanya jauh... seakan menembus dinding kampung ini.“Ndar... koe wis lali karo awakmu sing sak durunge ta?” tanya Pak Bejo tiba-tiba, sambil nyulut rokok.
“Sing piye, Pak?“Sing gak ngerti ilmu, sing takut gelap, sing kerja bakul cilok keliling sambil ngelus dada ngitung utang...”Kandar senyum tipis. “Gak lali, Pak. Aku cuma lagi belajar... buat gak ketergantungan sama ‘kuat’-kuat’an itu.”Joyo nyeletuk, “Tapi Mas, jujur ya... aku iri. Kenapa orang kayak sampeyan yang dapet ilmu itu? Kenapa bukan aku?”
Kandar menoleh, tatapannya dalam.“Yo ndak usah iri, Yo. Aku dapet ilmu ini bukan buat keren-kerenan. Dapetnya aja lewat rasa sakit. Lewat dihina. Ditinggal. Diinjak. Lewat malam-malam panjang yang isinya cuma doa dan tangis yang gak kedengeran.”Joyo menunduk. Pak Bejo menepuk pundaknya.“Ndak semua orang kuat ngelewatin itu, Yo. Ilmu daya kodrat ini bukan kaya jurus dalam film. Ini urip. Ini napas. Dan kudu ditanggung dengan rasa.”
Malam makin pekat. Lampu jalan kedap-kedip kayak lagi ragu mau hidup atau mati.Dari kejauhan, suara gamelan dari rumah mbah modin masih sayup-sayup. Ada yang aneh. Langit malam itu gak biasa. Awan menggulung padahal gak hujan. Kandar merasakan... “ada yang datang.”
“Pak Bejo, Yo... pulang dulu ya. Ada tamu...“Tamu? Sapa?“Yang tak undang waktu aku sumpah lelaku kemarin.”Di tengah sawah, Kandar berdiri sendiri.Dari arah timur, muncul bayangan besar. Hitam, tinggi, dengan mata merah menyala. Sosok itu bukan manusia, tapi juga bukan siluman.“Kau telah membangunkan aku dari tidur panjang, Kandar. Sudah siap membayar sumpahmu?”
“Aku sudah siap. Karena aku sudah paham, kekuatan bukan untuk dikuasai, tapi untuk dilayani.“Bagus.“Tapi ingat, sebelum kau benar-benar layak, kau harus kuhadapkan pada ujian pamungkas pengkhianatan dari orang terdekatmu sendiri.”
Braakkk!!! Suara keras dari arah kampung. Api mulai terlihat dari kejauhan. Warung Mak Rini kebakaran! Kandar lari sekuat tenaga. Sesampainya di sana, dia terkejut. Di antara kerumunan warga... ada Joyo, berdiri gemetar sambil memegang botol bensin.“Joyo... kamu?”Joyo nangis. “Aku... aku gak kuat, Mas. Aku cuma pengin bisa kayak kamu. Tapi kamu gak pernah ajari aku. Kamu malah diam terus... aku... aku kesel...”
“Joyo... nak, ilmu ini bukan barang yang bisa diwariskan kayak piring pecah. Ini takdir. Dan takdir itu harus dijalani, bukan ditukar dengan amarah.”Kandar memeluk Joyo, meski badannya gosong kena jilatan api.“Aku maafin kamu, Yo. Ini mungkin bagian dari sumpahku... dan aku nerima.
”Di langit, suara guntur terdengar. Tapi hujan tak turun.Karena malam itu, yang turun adalah pemahaman.Dan di pos ronda yang sepi, hanya tinggal bara rokok Pak Bejo yang masih menyala.Sambil menatap langit, ia gumam: “Kadang, kekuatan bukan soal bisa mukul, ngunci, atau ngelawan. Tapi soal bisa memeluk orang yang udah bikin kita luka.”
Ketika itu..
Setelah api padam dan warga pulang satu-satu,kampung pelan-pelan kembali sunyi.Tapi bukan sunyi yang biasa…sunyi ini kayak luka yang belum sempat dikasih obat.Kandar duduk sendiri di depan warung Mak Rini yang hangus.
Matanya menatap abu,tapi pikirannya entah ke mana.Joyo udah dibawa pulang Pak Bejo.Badannya selamat. Tapi hatinya?Mungkin remuk.Mungkin baru mulai sembuh.
Angin malam lewat pelan.Bara rokok Pak Bejo di pos ronda masih nyala,kayak penjaga malam yang gak mau tidur sebelum semuanya bener-bener reda.
Beberapa hari kemudian...
Kandar gak kelihatan.Warga sempat nanya-nanya.Ada yang bilang dia pergi ke gunung.Ada yang bilang dia nyepi.Tapi Pak Bejo cuma senyum tiap ditanya.“Kandar itu gak hilang.Dia cuma lagi belajar diam.Soalnya… setelah bisa mukul,ilmu yang lebih tinggi itu ya… nahan diri.”
Dan benar saja!.
Satu malam, di batas kampung,di bawah pohon jati yang daun-daunnya jatuh satu-satu kayak perasaan yang udah reda,Pak Bejo nemu secarik kertas dilipet rapi.
Tulisannya tangan Kandar.
“Aku gak pergi jauh.Cuma pengin sendiri sebentar.Bukan buat lari,tapi buat ngerti apa yang sebenarnya aku jaga.“Kalau waktunya tiba,aku balik.Bukan jadi orang yang lebih sakti.Tapi mudah-mudahan... jadi orang yang lebih bisa nerima.”
Malam itu, langit cerah.Bintang kelihatan banyak.Dan di pos ronda, Pak Bejo nyeduh kopi buat dirinya sendiri.Sambil nyeruput pelan, ia gumam:“Yowis, Ndra…lelakumu wis tekan separo.Sopo ngerti, jilid kaping loro nanti…malah tambah marai urip iki luwih ngerti maknane.”
Dan malam itu,kampung benar-benar kembali tenang.Tapi hanya di luar.Karena di dalam...ada sesuatu yang sedang bangkit.Entah di gunung, entah di tubuh Kandar.Mungkin juga... di dalam dada orang-orang yang diam-diam menyimpan niat lama.
Lalu pertanyaannya…
Akan jadi apa Kandar setelah semua ini? Apakah dia akan kembali ke kampung sebagai penyembuh…atau malah jadi musuh dari gerakan yang ia tolak sejak awal? Siapa sosok berjubah gelap yang muncul dalam mimpi Pak Bejo tiap malam?
Apa maksud ujian pengkhianatan yang belum selesai itu…?Dan kenapa, di pojokan rumah Mbah Modin, tanah mulai retak tanpa sebab?Karena... kekuatan sejati belum muncul di ujung jurus. Tapi di antara pilihan: bertahan atau melepaskan!!.
💥 Nantikan di Jilid 2:
“Jejak Kodrat di Tanah Leluhur”
📜 Sebuah perjalanan baru, di mana kekuatan bukan lagi soal tubuh,tapi soal takdir, warisan, dan luka yang belum pulih.
Selesai
✧✦✧