PENGELANA KAROMATHUL GHOIB 21

Daftar Isi
BAB : 21
PULANG !!
TAPI TAK PERNAH SAMA LAGI
ilmu karomathul ghoib

Malam itu langit mendung.Angin tidak terlalu dingin, tapi menusuk pelan ke dalam dada.Suryo berdiri diam di mulut gang kecil itu.Kakinya berat.Tongkat kayu yang biasa ia bawa ke mana-mana... terasa ringan,tapi langkahnya sendiri... terasa sebaliknya.

Di depannya,jalan kecil itu membentang seperti kenangan yang belum selesai.Gang itu tidak berubah banyak.Masih ada penjual roti bakar di ujung,masih ada tukang tambal ban yang setengah ngantuk duduk di dingklik,dan suara TV dari rumah tetangga... masih nyaring seperti dulu.

Tapi bagi Suryo...ini bukan jalan biasa.Ini jalan yang dulu ia tinggalkan.Dengan luka. Dengan rasa malu. Dengan kecewa.“Apa Bapak masih marah?“Apa Ibu masih ingat saya?”Pertanyaan itu gak keluar dari mulut,tapi berdetak kencang di dalam dadanya.

Langkah kakinya pelan.Setiap rumah yang ia lewati,seperti memanggil kenangan kecil yang dulu pernah ia tinggalkan: rumah Bu Suminah ,dulu tempatnya numpang makan pas kulkas rumah kosong,rumah Pak RW,yang dulu marah karena Suryo sering nganggur dan nongkrong di pos kamling,semua...kembali muncul.

Dan akhirnya...rumah itu.Rumah kecil bercat pudar,temboknya mulai retak,tapi bagi Suryo...rumah itu seperti mimpi yang selalu ia hindari karena terlalu nyata.Ia berdiri di depan pagar.Tangan kanannya menggenggam tongkat,tangan kirinya...gemetar.Lama ia diam.Tak berani mengetuk.Tak berani panggil nama siapa-siapa.

Sampai akhirnya...pintu rumah terbuka sendiri.Seorang perempuan keluar.Usianya lebih tua dari yang ia ingat,badannya lebih kurus,tapi mata itu... adalah mata Ibu.Ibu Suryo berdiri diam.Kedua tangannya menggenggam pintu.Mata itu membelalak,tapi tak percaya.

Dan akhirnya...“Mas...”Hanya itu yang keluar.Tapi getarnya... lebih dari seribu kalimat.Suryo menunduk.“Saya pulang, Bu...“Kalau Ibu belum bisa maafkan, gak apa-apa.Saya cuma ingin Ibu tahu...anak yang dulu pergi,sekarang cuma ingin kembali duduk di dapur...dan makan sayur asem buatan Ibu.”Ibu Suryo gak bicara.Tapi air matanya jatuh.Pelan. Tapi deras.

Ia berjalan cepat.Memeluk Suryo.Tanpa kata.Tanpa syarat.Pelukan itu...adalah pelukan yang selama ini kosong di dalam hati Suryo.Di balik pintu,Bapaknya muncul.Dulu orangnya keras.Bicara seperlunya.Kalau marah, sering diam tiga hari.Dia menatap Suryo.Lama.Dan akhirnya...menyeka hidung pelan.

“Yo..!! kamu makan dulu ya.Ibu tadi masak tahu isi... itu makananmu waktu kecil.”Mereka duduk di ruang tengah.Tak banyak bicara.Tapi setiap sendok tahu isi, setiap suapan nasi,adalah obrolan tanpa kata.Dan bagi Suryo...itu lebih dari cukup.Malam itu ia tidur di kamarnya.

Masih sama.Dindingnya masih ada coretan tahun 1991.Buku-buku lama masih ada di lemari.Dan tongkat Karomathul Ghoib-nya... kini bersandar di pojok.Bersama harapan yang dulu pernah ia tinggalkan.

Sebelum tidur,ia buka kitab kecil.Menulis pelan.

“Pulang... bukan soal jarak.Tapi soal keberanian membuka hati.Dan yang paling mulia dari semua perjalanan bukanlah saat kita sampai,tapi saat kita berani kembali... ke pelukan yang pernah kita sakiti.Tidak semua orang diberi waktu untuk pulang.

Dan aku... hari ini, diberi kesempatan itu.”

BAB : 22
DARI HATI SEORANG BAPAK 
YANG TAK PANDAI BICARA

Aku duduk di kursi bambu dekat pintu.Sudah jadi kebiasaan sejak dulu.Kalau sore, aku duduk di situ, sambil ngopi, kadang cuma ngelihatin jalan.Ibumu Suryo sibuk di dapur.Tiap hari masih nyapu, masih masak, padahal anak-anak udah besar.Kadang aku bilang : “Buat siapa sih? Rumah sepi begini.”

Tapi dia selalu jawab:“Siapa tahu Mas pulang. Kita gak pernah tahu.”Aku gak pernah nyaut.Tapi dalam hati..aku juga nunggu.Dulu waktu kamu pergi, Yo...! aku gak marah.Tapi aku kecewa.Bukan karena kamu gagal kerja,tapi karena kamu hilang... tanpa pamit.Aku tahu kamu gak cocok tinggal di rumah ini.Kamu ngerasa kecil, minder, gak dihargai.Tapi tahukah kamu, Le...aku juga bingung caranya jadi Bapak.Aku gak tahu cara ngomong baik.Gak tahu cara peluk kamu saat kamu nangis.

Karena dulu...aku juga dibesarkan dalam diam.Dan aku pikir...diam itu cukup buat menunjukkan kasih sayang.Ternyata...salah.Hari-hariku setelah kamu pergi...biasa saja di luar.Tapi tiap malam,aku duduk sendiri di ruang tamu,ngelihatin baju sekolahmu yang masih tergantung.Sesekali...aku ambil album lama.Liat fotomu waktu kecil.

“Dulu bocah ini cerewet. Sekarang... malah hilang.”Tapi gak pernah aku tunjukin ke Ibumu.Karena aku malu.Karena aku bapak,dan katanya... bapak gak boleh nangis.Tapi malam itu...malam kamu datang...aku tahu,anak yang pulang itu bukan anak yang sama.Wajahmu tenang.Matamu gak gelisah kayak dulu.Dan cara kamu minta maaf itu...lebih nyentuh dari ribuan kata.

Waktu kamu peluk Ibumu,aku pura-pura masuk kamar.Tapi dari celah pintu,aku lihat...anakku pulang.Dan air mata...akhirnya jatuh juga.Pelan.Tapi cukup untuk bilang ke diri sendiri:“Yo... aku bangga padamu.”Sekarang kamu tidur di kamar lamamu.Dan aku duduk lagi di kursi bambu ini.Tapi bedanya...hatiku sudah gak kosong.Karena yang kutunggu selama ini...sudah pulang.

Catatan kecilku malam ini :

“Anakku pernah hilang.Tapi sekarang dia pulang,bukan sebagai anak kecil,tapi sebagai laki-laki yang telah menempuh jalan sunyi.

Dan aku... akhirnya belajar,bahwa tak ada kata terlambat untuk menjadi Bapak yang lebih baik.”

BAB : 23
DARI HATI SEORANG IBU 
YANG TIDAK PERNAH BENAR-BENAR 
BERHENTI MENUNGGU

Aku lupa, sudah berapa kali aku masak sayur asem,lalu aku simpan di panci semalaman.Esok paginya basi.Gak dimakan siapa-siapa.Tapi entah kenapa...tanganku gak bisa berhenti nyiapin itu.Karena kamu, Yo...dulu suka banget sayur asem.Setiap pagi, aku sapu kamar kamu.Korden tetap aku cuci, meski gak ada yang tidur di situ.

Dan setiap malam...aku rebus air,aku taruh baskom kecil di kamar mandi.Seolah-olah... kamu akan pulang dan mandi seperti dulu.Bapakmu sering ngomel:“Ngapain sih buang-buang air, buang-buang tenaga?”Tapi aku jawab: “Siapa tahu Mas pulang. Kita gak pernah tahu, Pak...”Padahal aku tahu.Itu cuma alasan.Karena aku belum siap bilang: anakku gak akan balik.

Waktu kamu kecil, Yo,kamu suka tidur di pangkuanku sambil minta dikerok.Kamu sering ngeluh:“Bu, perutku sakit.”Padahal cuma karena kamu pengen manja.Dan aku selalu kerokin, sambil kasih telapak tanganku ke punggungmu.“Kalau sakit... bilang Ibu, ya.”Itu pesanku.Tapi waktu kamu besar...kamu gak bilang apa-apa.Kamu hilang.Pergi.Tanpa pamit.Dan aku cuma bisa nangis di kamar mandi,karena Bapak gak suka lihat aku mewek.

Selama kamu gak ada,aku hidup setengah.Setengah makan.Setengah tidur.Setengah senyum.Karena separuh hatiku...ikut pergi bersamamu.Dan malam itu...malam kamu berdiri di depan pintu,aku hampir gak percaya.Matamu lebih dewasa,tubuhmu kurusan,tapi...hidungmu masih sama.Itu yang paling cepat aku kenali.Waktu kamu bilang:“Saya pulang, Bu...”Langsung lututku lemas.Air mataku jatuh.Pelukan kita malam itu...adalah doa-doa yang akhirnya dikabulkan.

Waktu kamu masuk kamar dan bilang:“Bu, saya cuma mau makan sayur asem.”Aku ketawa sambil nangis.Karena sayur asem itu...masih ada.Masih hangat.Dan memang… aku masak hari itu. Entah kenapa.Malam itu,aku tidur sambil senyum.Dan baru malam itu...aku tidur pulas setelah dua tahun.

Sekarang, tiap pagi...aku tetap nyapu kamar kamu.Bukan karena kamu pergi,tapi karena kamu sudah pulang.Dan rumah ini akhirnya...lengkap lagi.

BAB : 24 
( EPILOG ) 
KITA SEMUA ADALAH SURYO

Malam itu sunyi.Bulan separuh.Angin lewat pelan.Dan dari kamar kecil rumah itu,seorang pemuda duduk bersila di atas sajadah,bukan sebagai pahlawan,bukan sebagai dukun,bukan sebagai ahli apa-apa.Hanya sebagai anak.Yang pulang.Di sebelahnya ada tongkat kayu.Tongkat itu sudah menemaninya di jalan sunyi.Dari lereng gunung, ke pasar, ke mushola terminal, ke rumah-rumah yang hampir putus harapan.

Dan kini...tongkat itu bersandar,karena ia tahu: tempat paling sakral untuk bersujud bukan di tempat angker,tapi di lantai rumah sendiri, di hadapan orang tua.Suryo membuka kitab kecilnya.Bukan untuk menulis.Tapi untuk membaca ulang.Kalimat-kalimat yang dulu ia tulis...ternyata adalah doa yang sekarang menuntunnya untuk jadi lebih sederhana.

Di dapur, Ibu sedang masak sambil bersenandung.Di depan rumah, Bapak sedang betulin sepeda bekas.Dan di dalam hati mereka bertiga...ada sesuatu yang utuh.Meski tidak pernah sempurna,tapi cukup.Karomathul Ghoib bukan ilmu sakti.Bukan untuk pamer.Bukan untuk menaklukkan.

Tapi untuk melihat.Melihat yang tak kasat mata.Melihat luka orang lain.Melihat tangis yang ditahan.Melihat diri sendiri yang lupa cara pulang.Dan mungkin…kita semua adalah Suryo.Pernah merasa gagal.Pernah hilang arah.Pernah merasa tidak berguna.

Tapi satu saat…kita semua akan duduk di rumah paling sunyi,dan berkata pelan:“Saya cuma mau pulang...“Kalau masih boleh.”Akhir cerita.Tapi bukan akhir perjalanan.Karena Suryo…akan melangkah lagi.Bukan mencari lagi.Tapi memberi.

Dan kita,yang membaca ini...mungkin sedang dalam perjalanan yang sama.

BAB  : 25
PENUTUP
(TIGA WAJAH DALAM DIRIKU)

Satu: Suryo sebagai Anak

Aku berdiri di depan rumah.Memandang ke langit sore,di mana warna jingga perlahan berubah jadi kelabu.Dulu aku merasa tak punya tempat pulang.Tapi ternyata…tempat itu bukan hilang,hanya hatiku yang terlalu keras untuk mengetuk pintunya.Sekarang aku tahu,menjadi anak bukan tentang seberapa sukses aku di luar sana.Tapi tentang mau kembali dan duduk bersama,di depan nasi putih, tahu goreng,dan segelas teh hangat buatan ibu.

Karena rumah...bukan soal dinding,tapi soal maaf yang tidak perlu diminta lagi.

Dua: Suryo sebagai Murid.

Kadang malam-malam aku masih dengar suara Ustad Wahid."Le... jangan bangga bisa melihat yang ghaib.Lebih sulit melihat hatimu sendiri saat mulai tinggi."Beliau bukan guru yang ngajari jurus.Bukan pula guru yang suka ceramah panjang.Tapi dalam diamnya...aku tumbuh.Dari beliau aku belajar,bahwa menyembuhkan bukan soal menyentuh tubuh,tapi menyentuh batin orang lain yang sedang putus harapan.

Waktu beliau wafat,aku tak sempat datang.Tapi aku yakin...beliau tahu, aku masih melanjutkan jalan yang beliau buka.Dan selama tongkat ini masih kugenggam...aku akan selalu menjadi murid Ustad Wahid.Selamanya.

Tiga: Suryo sebagai Manusia.

Ilmu Karomathul Ghoib bukan milik orang sakti.Bukan pula milik orang suci.Ilmu ini...milik siapa saja yang mau membersihkan hati, dan melihat dunia dengan cahaya batin.Dari ilmu ini aku tahu,hantu paling menyeramkan bukan kuntilanak,tapi dendam dalam dada yang tak mau dimaafkan.Dan mahluk ghaib paling nyata...kadang adalah ketakutan kita sendiri yang tak pernah dihadapi.

Ilmu ini bukan untuk menakut-nakuti orang.Tapi untuk menenangkan jiwa-jiwa yang selama ini tak bisa tidur karena sesak.Kini... aku bukan siapa-siapa.Tapi aku tahu jalan pulang.Aku bisa melihat...tapi juga bisa memilih untuk tidak membuka mata kalau hatiku belum bersih.Karena ilmu Karomathul Ghoib bukan tentang kekuatan...tapi tentang rasa tanggung jawab kepada dunia.

Dan dunia...sangat butuh orang-orang yang hatinya bening.Jadi siapa aku sekarang?Aku Suryo.Seorang anak.Seorang murid.Dan seorang manusia...yang berjalan, bukan untuk mencari,tapi untuk menemani.Penutup ini bukan akhir.Tapi awal dari jalan yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih bermakna.Sebab seperti kata guruku: 

“Yang mencari kekuatan akan lelah.Tapi yang mencari cahaya...akan sampai pada keheningan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.”

yang belum terpecahkan...

Tamat.


✧✦✧