PENGELANA KAROMATHUL GHOIB

Daftar Isi

Manajemen Batin

Genre : Misteri,Spiritual

Author : Mbah Salim

Jumlah Bab : 25

Jenis : Novel

⭐ 9.1 (Top Platinum)
Share: Facebook Twitter Threads Salin Tautan
BAB 1
JALANAN YANG SUNYI HATI YANG GELISAH


Prolog

"Sebut saja namaku Suryo."

Aku bukan siapa-siapa.Dulu, aku cuma pemuda biasa. Hidup pas-pasan, isi dompet kayak kerupuk tenggelam di kuah panas lembek, cepat habis.Aku bukan anak pesantren, bukan juga anak indigo yang bisa lihat setan dari lahir. Aku hanya anak kampung yang bosan jadi pengekor hidup.


Sampai pada suatu malam...

Ada kejadian aneh yang tak bisa dijelaskan.Itu titik balik.Sejak malam itu, hidupku tak lagi sama.


Ringkasan

Novel ini bercerita tentang Suryo, pemuda biasa yang hidupnya berubah setelah tanpa sengaja terjerumus ke dunia ilmu ghoib.


Perjalanan yang awalnya sekadar mencari makna hidup, berubah jadi petualangan menembus batas logika dan nalar.Ia belajar dari para guru tak kasat mata, berjumpa makhluk-makhluk aneh, bahkan harus bertarung melawan ilmu hitam dan godaan kekuasaan.

  • Cerita ini tidak hanya mistis, tapi juga menyentuh.
  • Kadang lucu, kadang ngeri, kadang menampar hati.
  • Karena di balik jurus dan keghaiban, ada pelajaran:
  • “Ilmu sehebat apapun, tanpa adab... cuma jadi senjata makan tuan.”


BAB 1

Biasalah,Pemuda kampung. Lulusan SMA, gak punya ijazah kuliah, gak ada keahlian khusus, tapi juga gak goblok-goblok amat.


Waktu itu umurku baru masuk dua puluh lima.Lagi-lagi duduk sendiri di teras mushola pasar malam.Pasarnya udah bubar, tinggal aroma gorengan dingin dan suara plastik kresek ditiup angin.


Aku lagi nunggu angkot terakhir, katanya sih masih lewat. Tapi udah satu jam, gak nongol juga.Rasanya capek, tapi gak tahu capek karena badan atau capek mikirin hidup.


“Mau ke mana sih sebenernya, Yo?” batinku sendiri.Kerja gak jelas, rumah udah makin sumpek, ortu mulai sering nyindir, dan aku... gak tahu mau jadi apa.Hidup kok kayak jalan tanah basah... jejaknya ada, tapi gak tahu mau dibawa ke mana.


Pas duduk begitu, datang bapak tua penjual buku bekas. Dorong gerobak kecil dari ujung gang.Kebetulan lewat depan mushola, terus berhenti.


“Lho, mas ini kok sendirian?” tanyanya sambil jongkok benahin buku.

“Iya, Pak... nunggu angkot.”“Nungguin nasib juga sekalian ya?” katanya sambil ketawa kecil.


Aku ikut senyum.Tapi batinku nyeletuk: "Ini orang kok kayak tahu isi kepala gue."“Kalau nunggu bosen, baca ini aja dulu...”Dia nyodorin satu buku kumal. Sampulnya gak ada, warnanya udah kekuningan.“Gak usah bayar. Buku itu kadang nyari orang juga, kok.”


Aku terima aja, biar sopan.Buku tipis, kayak buku catatan. Isinya tulisan tangan, tapi rapi.


Belum sempat kutanya ini buku apaan,Pak tua itu udah jalan lagi dorong gerobaknya... hilang ke arah perempatan.Gak pakai pamit. Tapi anehnya... gak terdengar suara rodanya.Padahal tadi pas datang, roda gerobaknya bunyi citak-citak.


Aku buka buku itu asal.Kebetulan terbuka di halaman 13.Isinya cuma satu kalimat besar :

"Jangan tidur di tempat terang. Dunia lain lebih suka yang remang-remang."

Aku merinding.

Karena malam itu... aku memang nginep di mushola remang,dan baru sadar: sejak tadi lampunya berkedip, padahal kabel baru diganti minggu lalu.


Dan...

malam itu aku mimpi sesuatu yang aneh.Tapi biar Mbah ceritakan di bab selanjutnya.

Soalnya hidup itu memang gak langsung 'jreng'. Kadang dimulai dari obrolan iseng, dari buku kumal, dari remang cahaya di pojokan mushola pasar.


BAB 2
PASAR LOAK DAN KITAB 
YANG MENGUSIK TIDUR


Aku gak langsung pulang hari itu.Rasanya kayak ada yang belum selesai.Semalaman mimpi aneh. Tapi anehnya bukan yang serem... malah bikin hati gak tenang. Kayak ada pintu yang dibuka sedikit, tapi belum dikasih tahu isinya apa.


Mimpi itu cuma suara.Lembut, pelan... tapi dalem.“Hati itu... kayak sumur. Kalau terlalu penuh, gak bakal bisa nampung yang baru... Kosongkan dulu, Suryo.”


Aku bangun, masih dalam posisi duduk di sudut mushola pasar itu.Lampu di atas kedip-kedip. Udara dingin. Tapi bukan dingin biasa, ini dingin yang bikin telinga kayak ditarik pelan.


Kulirik jam di HP.Masih mati.Padahal kemarin sore masih nyala. Baterai masih 40-an persen. Tapi sekarang... layar gelap kayak nasib.Aku keluar mushola pelan-pelan.Pasar mulai hidup.Suara orang jualan, panci kebentur, tukang sayur teriak-teriak, semua nyampur jadi orkes pagi yang udah biasa.


Seolah gak ada yang aneh. Gak ada yang beda.Tapi di hatiku, ada yang ganjal. Sejak semalam. Dan semua itu... bermula dari buku lusuh tanpa sampul itu.Kakiku ngajak jalan sendiri.

Gak tahu mau ke mana. Tapi kayak ada yang narik pelan.


Lewat gang sempit belakang pasar, aku lihat gerobak buku bekas.Tepat di pojok dekat penjual karung goni.Ada anak muda jaga di situ. Kaus oblong belel, rambut kriwil, kaki nyeker. Lagi asyik nyusun buku sambil ngemut rokok lintingan kecil.Gerobaknya persis seperti yang semalam aku lihat waktu dikasih buku itu oleh bapak tua.Rasanya... ini tempat yang sama. Tapi orangnya beda.


Aku dekati pelan.

“Mas, ini gerobak siapa?”“Gerobak saya,” jawabnya, masih sibuk sendiri.“Semalam saya dapat buku dari sini, dikasih bapak tua. Jubahnya coklat kusam...”Dia berhenti, langsung nengok. Matanya nyempit, agak curiga.


“Bapak tua? Di sini?”“Iya... sekitar jam sembilan malam.”“Mas... saya tutup jam lima sore. Malem gak pernah buka. Gak ada orang tua di sini.”


Aku diam.Kupingku mulai hangat. Bukan karena marah. Tapi karena... ini mulai gak masuk akal.


“Mas punya bukunya?”Aku buka tas, kukeluarkan buku lusuh itu.Masih sama. Sampul gak ada, kertasnya kuning tua, bau apek.Begitu dia lihat... wajahnya langsung berubah. Serius.

Dia ambil buku itu, buka halaman tengah, terus napasnya berat.


“Ini buku warisan. Dulu dikasih guru saya. Katanya, kalau suatu hari buku ini hilang... berarti memang sudah waktunya cari pemilik barunya.”“Lho? Tapi... kenapa bisa ke saya?”

“Itu saya juga gak tahu, Mas. Tapi saya yakin, buku itu gak nyasar.”


Dia balikkan buku itu ke aku.“Kalau semalam Mas tidur di mushola pasar... dan gak ada siapa-siapa...”“Iya, memang sendirian.”Dia diam, lalu nyeletuk pelan.“Mas tahu gak... mushola itu udah lama gak dipakai. Bahkan orang sini aja udah gak berani ke sana kalau malam.”


Aku melongo.

“Tapi semalam... rame. Ada tukang parkir juga di depan.”“Pak Parkir? Kalau yang Mas maksud si Wak Darto... itu orangnya udah meninggal tiga bulan lalu.”


Deg!!.

Dunia rasanya kayak berhenti sesaat.Bibirku dingin. Jari-jari mulai gemetar kecil.Aku gak jawab apa-apa.Hanya bisa duduk di pinggiran trotoar pasar.Buku itu kupeluk di dada.

Orang-orang lalu lalang. Gak ada yang peduli.Tapi dunia di dalam kepalaku seperti berubah. Gak lagi datar. Gak lagi sama.


Kuberanikan buka lagi buku itu.Halaman demi halaman, isinya catatan tangan.Campuran antara bahasa Jawa, Arab gundul, dan sedikit coretan kayak mantra. Tapi semuanya ditulis pelan, kayak diary orang yang hidup setengah di dunia sini, setengah di dunia lain.


Di halaman 7, ada tulisan begini:

“Ilmu ini hanya dibuka oleh hati yang sudah lelah.

Jangan tamak. Jangan takut.

Karena setelah pintu ini terbuka, tak ada jalan pulang yang sama.”

Aku tutup buku itu pelan.Angin pasar berembus lembut.Tapi aku tahu... hidupku sudah berubah sejak semalam.Bukan karena kerasukan, bukan karena melihat hantu,tapi karena sebuah buku kecil...yang tiba-tiba memilihku.


BAB 3
MIMPI ANEH DAN AWAL ILMU RAGA DUA


Malam itu, aku tidur di rumah kos yang seadanya.Satu kamar sempit, kasur tipis, kipas angin bunyinya kayak suara motor mogok.Lampu remang, dan bau lembab dari kamar mandi kadang-kadang numpang lewat ke hidung.


Buku itu aku simpan di bawah bantal.Entah kenapa, aku gak tega ninggalin di tas.Rasanya kayak... kalau jauh dari buku itu, jiwaku ikut kosong lagi.Aku tidur telentang.Tapi mata ini belum mau merem.


Pikiranku muter-muter.Tentang Pak Tua yang gak ada, tentang pasar loak, tentang mushola yang katanya udah gak dipakai...dan yang paling bikin merinding: tulisan di buku itu,


“Tak ada jalan pulang yang sama.”Sekitar jam dua malam, baru mataku ngalah.Tapi tidurku... gak benar-benar tidur.Aku seperti sedang dibawa pergi.Bukan ke alam mimpi yang biasa. Tapi ke tempat yang sepi...kayak lapangan kosong, tapi ada suara angin berbisik.Udara dingin. Tapi gak menusuk. Hening. Tapi gak bikin takut.


Dari kejauhan, muncul sosok bayangan. Gak jelas wujudnya.Cuma siluet. Tapi gerakannya pelan, seperti gak menginjak tanah.Dia berhenti beberapa langkah dariku.


“Suryo...”

Suaranya berat, tapi gak keras. Seperti bergema dari dalam telinga, bukan dari luar.“Kamu sudah dipanggil. Tubuhmu akan diuji. Hatimu akan dibuka... tapi syaratnya satu: jangan bawa nafsu.”Aku mau bicara, tapi mulutku gak bisa dibuka.“Besok malam, ketika kamu tidur, ragamu akan dicoba keluar. Jangan kaget. Jangan tolak.Itu raga dua. Hanya mereka yang tenang yang bisa kembali.”


Lalu gelap.

Dan aku bangun. Kaget.Nafas ngos-ngosan. Dahi basah.Tapi... jantungku? Tenang.Aneh. Kayak habis olahraga, tapi gak capek.Kulirik jam dinding.Jam 03:09.Azan subuh belum, tapi ayam udah ribut duluan.


Aku duduk di tepi kasur.Mengusap muka.Dan pelan-pelan, kuangkat bantal. Kuambil buku itu.Masih di situ. Masih berat. Masih... hidup.Kubuka pelan, halaman 11.

Tulisannya tiba-tiba ada tambahan yang semalam belum ada.


Latihan Pertama : Raga Dua

“Jika kamu sanggup, malam kedua adalah ujian.

Kamu akan terbangun, padahal kamu sedang tidur.

Jangan panik. Karena yang keluar... adalah kamu yang kedua.”

Aku tutup buku itu pelan.Nafasku pelan.Tapi hatiku mulai percaya...ini bukan kebetulan.Bukan mimpi. Bukan delusi. Tapi... proses.Dan seperti kata mimpi itu:

“Ilmu ini datang ke hati yang kosong... bukan kepala yang penuh.”



✧✦✧