PEWARIS SUNGE RAJEH 6
Malam itu,Pagi datang dengan sinar lembut yang menembus sela-sela dedaunan. Dani merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukannya cemas, atau merasa ragu, kali ini ada rasa yang lebih ringan, lebih penuh. Seolah-olah pagi ini memberi peluang baru untuk memulai lagi, meski itu hanyalah sebuah langkah kecil.
Ia berjalan perlahan menuju rumah Mbah Wiryo. Setiap langkahnya terasa berbeda, seolah tanah yang ia pijak mengandung kekuatan yang tidak bisa ia lihat, tetapi bisa ia rasakan. Dani tahu, ia tidak bisa terus mencari kepastian. Kepastian bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan, tetapi sesuatu yang bisa dipahami dengan menerima perjalanan itu sendiri.
"Mbah, aku merasa ada yang berubah dalam diriku," ucap Dani dengan suara yang lebih yakin daripada sebelumnya.
Mbah Wiryo menatapnya dengan senyum penuh makna. "Perubahan itu bukan sesuatu yang datang begitu saja, Dani. Itu adalah hasil dari usaha, ketekunan, dan keyakinanmu. Namun, jangan terjebak pada kata 'perubahan' itu sendiri. Yang penting adalah apa yang kau lakukan dengan perubahan itu."
Dani terdiam. Kata-kata Mbah Wiryo terasa seperti aliran air yang tak pernah berhenti. Tidak selalu terasa besar, tetapi selalu mengalir, memberi kehidupan tanpa meminta.
"Ilmu ini," lanjut Mbah Wiryo, "bukan hanya untuk dirimu. Itu untuk orang-orang di sekitarmu, untuk mereka yang membutuhkan. Seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir, tak ada yang berhenti. Semua menerima manfaat dari aliran itu."
Dani mengangguk. Ia mulai mengerti, meski tidak sepenuhnya. Ilmu ini bukan tentang mendapatkan lebih banyak, tetapi tentang memberi lebih banyak. Mengenal dan menerima hidup sebagaimana adanya, tanpa ambisi berlebih, tetapi dengan niat yang tulus untuk berbagi.
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Matahari baru saja muncul di balik pepohonan, memberikan sinar lembut yang merayapi tanah. Dani berjalan perlahan menuju rumah Mbah Wiryo, langkahnya lebih mantap daripada sebelumnya. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Perlahan, ia merasa setiap detik dalam hidup ini penuh dengan makna.
Mbah Wiryo sedang duduk di beranda rumah, seperti biasa, dengan senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Wajahnya yang berkerut menandakan umur yang sudah tak muda lagi, namun matanya tetap tajam. Dani mendekat dan duduk di hadapan Mbah Wiryo, sedikit canggung. Ia merasa ada yang berbeda dalam dirinya. Lebih tenang, lebih yakin, meskipun banyak pertanyaan masih menggelayuti pikiran.
"Mbah, aku merasa seperti ada yang berubah dalam diriku," ujar Dani, suara yang dulu ragu kini terdengar lebih tegas.Mbah Wiryo tersenyum. "Perubahan itu tak bisa dilihat dengan mata, Dani. Perubahan adalah aliran yang meresap dalam hati. Seperti sungai yang mengalir, kita tak bisa melihat air yang telah lewat, tapi kita tahu, air itu memberi kehidupan kepada segala yang ada di sepanjang jalan."
Dani mengangguk, mengerti meski tak sepenuhnya paham. Tapi entah kenapa, ada ketenangan yang hadir. Sebuah kedamaian yang perlahan mulai mengisi ruang kosong dalam dirinya. "Jadi, aku harus terus belajar, kan Mbah?" tanyanya.
"Ya," jawab Mbah Wiryo. "Belajar itu bukan soal mengejar sesuatu yang jauh. Belajar itu adalah soal mengerti bahwa setiap langkah yang kita ambil, meski kecil, adalah bagian dari perjalanan yang tak pernah selesai. Seperti sungai, ia tak pernah berhenti meskipun jalan yang dilalui seringkali terjal dan berliku."
Dani merenung. Ia merasa seperti sedang memasuki babak baru dalam hidupnya, babak yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tak ada jaminan bahwa apa yang ia cari akan datang dengan cepat. Namun, satu hal yang pasti, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan sia-sia.
BAB 7
TERPEROSOK KE ALAM LAIN
Setelah apa yang terjadi di tepian Sungai Rajeh, aku kembali duduk di bawah pohon besar, masih merasakan beratnya apa yang baru saja kualami. Mbah Wiryo duduk di sampingku, menatap sungai dengan mata yang tak tampak ragu. Suasana di sekitar terasa sangat sunyi. Hanya suara aliran air yang terdengar, seakan memberi petunjuk bahwa alam ini penuh dengan rahasia.
“Kau sudah siap, Dani?” tanya Mbah Wiryo pelan, seperti mengukur kesiapanku.Aku menatapnya, sedikit bingung. "Siap untuk apa, Mbah?"
Dia tersenyum. “Untuk langkah berikutnya. Kau sudah belajar sedikit, tapi itu baru permulaan. Kali ini, kau akan menembus batas, melihat sesuatu yang tak terlihat oleh banyak orang.”
Jantungku berdegup kencang. Mungkin sebelumnya aku merasa sudah cukup paham, tetapi setelah apa yang terjadi, aku sadar bahwa ini jauh lebih dalam dari yang aku bayangkan.
Mbah Wiryo mulai duduk bersila di sampingku. “Duduklah dengan tenang. Jangan takut. Ketakutan akan membuatmu kehilangan kendali. Fokus pada pernapasanmu.”
Aku mengikuti perintahnya. Duduk bersila dan menutup mata. Suasana semakin hening, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan.
Tiba-tiba, udara di sekitar tubuhku terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang mendekat, sesuatu yang aku tak bisa lihat. Aku ingin membuka mata, tapi Mbah Wiryo berkata pelan, “Jangan buka matamu. Fokus pada napas.”
Aku menelan ludah. Rasanya sulit, tapi aku coba mengikutinya. Aku mulai merasa seperti ada yang menarikku ke dalam. Seperti dunia di sekelilingku mulai memudar. Dan dalam sekejap, aku tidak lagi berada di tempat yang sama.
Ketika aku membuka mata, aku tidak lagi duduk di bawah pohon besar, tidak lagi berada di tepian sungai yang biasa. Aku berdiri di sebuah tempat yang asing. Suasana sekelilingku gelap, kabut tebal menutupi segala sesuatu, dan aku hanya bisa melihat sedikit cahaya yang berasal dari langit yang kelabu. Sungai Rajeh mengalir di bawahku, tapi airnya tampak berbeda gelap dan bergejolak.
Apa ini, Mbah?” tanyaku, meski aku tahu Mbah Wiryo tidak berada di sana. Aku merasa seperti sedang terperangkap dalam dunia yang tak bisa kujelaskan.
Suara Mbah Wiryo terdengar samar dari kejauhan. “Ini adalah batas, Dani. Dunia yang tak terlihat oleh kebanyakan orang. Kau sedang berada di alam lain, di antara dunia yang nyata dan yang gaib.”
Aku merasa tubuhku gemetar. Mbah Wiryo tidak ada di sini, tapi aku bisa merasakan keberadaannya. Aku bisa merasakan ada kekuatan yang besar, tapi juga sangat asing.
Aku mulai berjalan, perlahan. Sosok-sosok bayangan muncul dari kabut. Mereka tidak bergerak, hanya berdiri di sekelilingku, mengawasi. Matanya kosong, tapi tatapannya tajam, seperti menusuk ke dalam tubuhku.
Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi hatiku berdebar kencang. “Mbah, apa yang harus aku lakukan?” aku bertanya, meski tahu Mbah Wiryo tak akan menjawab.Namun, suara itu kembali terdengar. “Jangan takut, Dani. Kau sudah cukup kuat untuk melihat ini.”
Aku menelan ludah. Perlahan, aku melangkah ke depan, semakin jauh dari tempat yang pertama kali aku lihat. Semakin aku berjalan, semakin terasa ada yang mengikuti. Aku tidak bisa melihat mereka, tapi aku bisa merasakannya. Sosok-sosok itu mengawasi dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
Tiba-tiba, dari sisi kanan, sebuah makhluk muncul—tinggi, kurus, dan matanya merah menyala. Tangannya panjang, hampir menyentuh wajahku. Aku ingin berlari, tapi tubuhku terasa kaku, seperti ada kekuatan yang menahannya.
“Jangan lari, Dani,” suara Mbah Wiryo terdengar lagi, kali ini lebih jelas. “Kau harus hadapi ketakutanmu.”
Makhluk itu semakin mendekat, tapi aku tidak bisa bergerak. Namun, anehnya, aku tidak merasa takut seperti sebelumnya. Aku mulai merasa, ini adalah bagian dari ujian yang harus kuhadapi. Aku harus belajar untuk tetap tenang, meski semuanya terasa asing.
Dengan perlahan, aku mengangkat tangan, mencoba untuk berkomunikasi dengan makhluk itu. Entah bagaimana, makhluk itu berhenti dan mundur. Aku merasa sesuatu mengalir dalam tubuhku, seperti kekuatan yang memancar.
Lalu, semuanya menghilang. Aku kembali duduk di tepian sungai, napasku masih terengah-engah. Mataku terbuka, dan aku melihat Mbah Wiryo kembali di sampingku, duduk diam seperti tidak terjadi apa-apa.
“Dani, itu adalah langkah pertama,” kata Mbah Wiryo dengan tenang.Aku menatapnya, masih bingung. “Apa yang baru saja terjadi, Mbah?”
“Jangan terlalu dipikirkan. Semua itu bagian dari perjalananmu. Kau baru saja menembus batas antara dunia yang kita kenal dan yang tidak kita kenal. Ini bukan akhir, ini hanya awal.”
Aku duduk diam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apa yang aku lihat, apa yang aku rasakan semua itu begitu nyata, tapi juga begitu asing. Namun satu hal yang pasti, aku tahu ini adalah perjalanan yang harus aku jalani. Dan aku siap untuk melangkah lebih jauh.
BAB 8
BELAJAR SECARA NYATA
Setelah apa yang terjadi di alam gaib itu, aku kembali ke desa dengan perasaan campur aduk. Ada banyak hal yang tak bisa aku jelaskan, tapi juga banyak yang mulai aku pahami. Rasanya, hidupku sekarang berbeda, meski masih banyak yang harus kutemui.
Pagi itu, aku duduk di tepi Sungai Rajeh, tempat yang sudah mulai jadi tempat pelarianku. Mbah Wiryo datang menghampiriku dengan langkah perlahan, seperti biasa. Matanya tetap tajam, meskipun usia sudah mulai nampak di wajahnya.
"Ada apa, Dani?" tanya Mbah Wiryo, suaranya tetap tenang.Aku menundukkan kepala, berpikir sejenak. "Mbah, aku merasa semakin bingung. Semua yang terjadi ini... rasanya aku sudah tahu sebagian, tapi kenapa rasanya masih banyak yang hilang?"
Mbah Wiryo duduk di sampingku, melihat sungai yang mengalir perlahan. "Ilmu itu seperti air, Dani. Tidak bisa kau kendalikan dengan keras. Ia mengalir dengan sendirinya, memberikan kehidupan kepada segala yang dilaluinya. Tapi kau harus bisa merasakan alirannya, bukan memaksanya."
Aku menatapnya bingung. "Apa maksud Mbah?"Mbah Wiryo tersenyum tipis, "Jika kau terus memaksa, kau tidak akan mengerti. Cobalah belajar untuk merasakannya, bukan memikirkan apa yang seharusnya terjadi."
Aku masih merasa kebingungan. Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, seperti bagian dari diriku yang belum sepenuhnya terhubung dengan apa yang telah diajarkan.
"Jangan khawatir," lanjut Mbah Wiryo. "Kau sudah memulai perjalananmu. Semua yang kau alami, semua yang kau rasakan, itu bagian dari proses. Tidak ada yang bisa dipaksakan. Semua ada waktunya."
Aku mengangguk, meskipun dalam hati masih ada banyak pertanyaan. Aku mulai menyadari bahwa ini bukan tentang mengetahui semuanya dengan cepat, tetapi tentang belajar untuk merasakan dan mengalir bersama hidup.
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai merasakan sedikit demi sedikit perubahan dalam diriku. Mbah Wiryo mengajarku lebih banyak tentang Asmak Sungai Rajeh, tetapi bukan dengan cara yang cepat atau langsung. Setiap ajaran yang diberikan, selalu ada waktu untuk memahaminya.
Suatu hari, setelah sesi latihan yang panjang, Mbah Wiryo mengajakku berjalan ke hutan di dekat desa. Hutan itu tidak terlalu lebat, tetapi ada rasa sejuk yang aneh di sana. Udara segar, penuh dengan bau tanah yang basah.
"Kau siap untuk langkah kedua?" tanya Mbah Wiryo.Aku hanya mengangguk, meskipun dalam hatiku, rasa ragu masih ada. Apa yang akan terjadi kali ini?
Mbah Wiryo berhenti di sebuah tempat terbuka, di mana sinar matahari bisa menembus celah-celah daun pohon. "Duduklah," katanya, "seperti yang kita lakukan sebelumnya."
Aku duduk di atas tanah, memejamkan mata dan mulai bernapas perlahan. Aku bisa merasakan udara yang masuk ke dalam tubuhku, dan perlahan-lahan, aku merasa tubuhku lebih tenang.
"Kali ini," kata Mbah Wiryo, "kau akan belajar bagaimana menyalurkan energi Asmak Sungai Rajeh. Bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi untuk orang lain. Ini bukan tentang kekuatan, Dani, tapi tentang bagaimana kau bisa memberi."
Aku terdiam. "Memberi?" tanyaku, heran."Ya," jawabnya. "Asmak ini mengalir seperti sungai. Kalau kau hanya mengambilnya untuk dirimu, ia akan berhenti. Tapi kalau kau bisa memberi, maka ia akan terus mengalir, memberi kehidupan."
Aku mulai mengerti. Ini bukan tentang menjadi kuat, ini tentang berbagi kekuatan itu. Tentang memberi, bukan untuk dipuji, tetapi untuk membuat hidup orang lain lebih baik.
Mbah Wiryo kemudian mengajarkan padaku cara mengalirkan energi itu ke tubuh orang lain. "Sentuh orang yang ingin kau bantu," katanya. "Rasakan energi dari sungai mengalir melalui tanganmu."
Aku mengangguk, mencoba untuk fokus pada pernapasan dan perasaan di dalam tubuhku. Perlahan, aku mengangkat tangan dan menyentuh batu di dekatku. Rasanya seperti ada sesuatu yang bergerak, sebuah getaran yang mulai mengalir.
"Aku bisa merasakannya," aku berkata pelan.Mbah Wiryo tersenyum. "Itu langkah pertama untuk bisa memberi."
BAB 9
BELAJAR MEMBERI DAN MENERIMA
Setelah hari-hari yang penuh latihan, aku mulai memahami apa yang Mbah Wiryo maksud dengan memberi. Bukan hanya soal materi, tapi memberi dengan hati. Menggunakan Asmak Sungai Rajeh untuk menolong orang lain, bukan hanya untuk diriku sendiri.
Suatu malam, seorang tetangga datang ke rumah Mbah Wiryo. Wajahnya terlihat cemas, dan aku bisa merasakan kegelisahannya. "Dani, Mbah, tolong anak saya, dia sakit. Sudah ke dokter, tapi belum ada perubahan," katanya dengan suara berat.
Aku berdiri, mendekati mereka. Aku tahu, ini adalah kesempatan untuk menggunakan apa yang telah aku pelajari. Tanpa ragu, aku memandang Mbah Wiryo. "Saya akan coba bantu," kataku, meskipun dalam hati, rasa gugup masih ada.
Dengan hati-hati, aku mengarahkan tanganku ke tubuh anak itu, merasakan getaran energi yang mengalir. Aku membaca doa seperti yang diajarkan Mbah Wiryo, dan perlahan, aku bisa merasakan ada sesuatu yang bergerak dalam tubuh anak itu. Aku tidak tahu persis bagaimana, tapi aku tahu aku harus terus melakukannya.
Beberapa saat kemudian, anak itu membuka matanya, terlihat lebih tenang. Wajahnya yang sebelumnya cemas kini mulai tersenyum. "Terima kasih, Dani," kata bapaknya dengan mata berkaca-kaca.
Aku hanya tersenyum. "Yang penting dia sudah merasa lebih baik."Aku tahu, ini adalah tujuan dari apa yang aku pelajari. Bukan untuk mencari pujian, bukan untuk merasa hebat, tetapi untuk memberi kehidupan kepada orang lain, seperti air yang mengalir tanpa henti.
LEMBARAN HIDUP BARU SI DANI
Sekarang, kita tinggalkan dulu Mbah Wiryo dan segala ajarannya. Fokus kita beralih pada Dani, yang sudah memasuki babak baru dalam hidupnya. Setelah belajar banyak hal, Dani harus menghadapi kenyataan kehidupan sehari-hari yang penuh dengan liku-liku, seperti sungai yang mengalir tidak selalu mulus.
Dani kembali ke rumahnya, di desa yang sama, tapi dengan pemikiran yang jauh berbeda. Sebelumnya, hidupnya terasa seperti berjalan di tempat, penuh kebingungan. Namun sekarang, meski banyak yang belum ia pahami sepenuhnya, ada rasa kedamaian yang baru ditemukan dalam dirinya.
Setiap pagi, Dani memulai harinya dengan cara yang lebih tenang. Dulu, ia terburu-buru dalam segala hal, tetapi sekarang, ia lebih menghargai waktu. Ia sadar, bahwa hidup ini bukan soal mengejar sesuatu yang belum tentu bisa kita capai. Kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak, merasakan setiap langkah, dan memahami bahwa segala sesuatunya berjalan dengan waktu yang tepat.
Hari demi hari, Dani mencoba untuk menerapkan apa yang ia pelajari. Di rumah, ia mulai lebih sabar dengan keluarganya, terutama dengan ibunya yang selalu khawatir tentang kehidupannya. "Dani, kamu harus lebih fokus pada masa depan, jangan terlalu banyak mimpi," kata ibunya sering kali.
Dani tersenyum mendengarnya. Dulu, kata-kata seperti itu bisa membuatnya kesal, tapi kini, ia mengerti bahwa ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. "Ibu, aku sedang berusaha. Aku ingin hidup dengan lebih tenang," jawab Dani dengan lembut.
Ia mencoba mengalirkan apa yang ia pelajari dari Mbah Wiryo ke dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika ada masalah, ia tidak lagi panik seperti dulu. Ia belajar untuk duduk sejenak, bernapas, dan mencari jalan keluar dengan hati yang lebih tenang.
Di pasar, Dani juga mulai membantu orang lain yang membutuhkan. Ia tidak lagi melihat orang yang kesusahan dan berpikir itu urusan mereka. Dani mulai menggunakan sedikit ilmu yang ia pelajari, mengobati orang yang sakit dengan sentuhan lembut, atau hanya sekedar memberi semangat pada orang yang merasa putus asa. Bukan untuk pamer, tapi karena ia tahu, itu adalah jalan yang harus dilaluinya.
Suatu sore, saat Dani sedang duduk di warung kopi, seorang bapak-bapak datang menghampirinya. Wajahnya cemas, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Dani, saya dengar kamu bisa membantu orang yang sakit. Anakku sudah lama sakit, sudah ke dokter, tapi belum sembuh. Boleh kah saya minta bantuanmu?"
Dani mendongak, memandang bapak itu dengan penuh perhatian. Tanpa pikir panjang, ia mengangguk. "Tentu, Pak. Ayo, bawa anaknya ke rumah saya."
Setelah beberapa lama, anak itu datang dengan wajah lesu. Dani mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah, dan seperti yang ia pelajari dari Mbah Wiryo, ia memusatkan perhatian pada pernapasan dan niat baiknya. Ia memegang tangan anak itu, dan perlahan membacakan doa untuk penyembuhan.
Beberapa saat berlalu, anak itu mulai merasa lebih baik. "Terima kasih, Dani. Anak saya lebih tenang sekarang," kata bapak itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Dani hanya tersenyum. "Yang penting anak Bapak sehat. Itu sudah cukup bagi saya."
Ia merasa ada kedamaian yang datang, bukan hanya dari hasil yang terlihat, tetapi dari dalam hatinya sendiri. Ini bukan hanya tentang ilmu, tetapi tentang bagaimana ia bisa memberi dan membantu orang lain. Dani tahu, ini adalah cara hidup yang ingin ia teruskan.
Hidup memang tidak selalu mudah. Tidak ada yang sempurna. Dani sering merasa kesal dengan banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Namun, ia belajar untuk menerima kenyataan. Ia tahu, yang bisa ia lakukan adalah terus berusaha, terus memberi, dan terus menjalani hidup dengan cara yang lebih baik.
Pagi itu, ia duduk di bawah pohon besar di dekat sungai. Di sana, dia bisa merasakan kedamaian yang sudah lama ia cari. Terkadang, hidup itu seperti aliran sungai yang tidak selalu mulus. Ada batu-batu besar yang harus dilewati, ada arus yang kuat yang bisa membuat kita terombang-ambing. Tapi, itu semua bagian dari perjalanan.
Mbah Wiryo pernah bilang padanya, "Ilmu itu bukan untuk mencari kekuatan, tapi untuk tahu bagaimana hidup ini mengalir dengan cara yang lebih baik."
Dani sekarang tahu apa yang dimaksud oleh Mbah Wiryo. Kehidupan ini bukan hanya tentang kekuatan atau keberhasilan. Ini tentang bagaimana kita bisa memberi, bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan hati yang tenang dan penuh rasa syukur.
Hari demi hari, Dani semakin mengerti. Ia tidak perlu menjadi seseorang yang hebat atau luar biasa. Kadang, menjadi orang biasa yang bisa memberi manfaat untuk orang lain sudah cukup. Ia mulai melihat bahwa hidup yang sederhana, penuh dengan niat baik dan tindakan kecil, bisa membawa kedamaian bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Ia masih sering duduk di tepian Sungai Rajeh, tempat yang dulu membuatnya bingung dan takut. Tapi sekarang, sungai itu terasa seperti sahabat yang menemaninya, memberi pelajaran baru setiap hari. Dani tahu, jalan hidupnya masih panjang, penuh dengan tantangan dan liku-liku. Tapi, ia siap menghadapinya.
Kehidupan ini mengalir, seperti sungai yang tidak pernah berhenti. Begitu juga dengan Dani. Ia tahu, selama ia tetap mengikuti aliran itu dengan hati yang penuh kasih, ia akan selalu menemukan jalan yang benar.
MEMBANTU SESAMA
Hari itu, ada seorang tetangga yang datang ke rumah Dani. Namanya Pak Jamal, seorang petani yang tinggal beberapa rumah dari rumah Dani. Wajahnya cemas, tampak terburu-buru.
"Dani, anak saya lagi sakit. Sudah ke dokter, tapi belum juga sembuh," kata Pak Jamal dengan suara serak. "Saya dengar kamu bisa bantu orang yang sakit, bisa nggak anak saya dibantu?"
Dani terdiam sejenak. Ia ingat apa yang diajarkan Mbah Wiryo tentang menggunakan Asmak Sungai Rajeh. "Bapak, bawa anaknya ke sini. Saya coba bantu," kata Dani dengan suara tenang.
Anak Pak Jamal, yang masih remaja, datang dengan tubuh lemas. Dani mengajak mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Dengan hati-hati, Dani memusatkan pikirannya, mengingat setiap langkah yang ia pelajari. Ia letakkan tangan di dada anak itu, mulai membaca doa-doa yang diajarkan Mbah Wiryo.
"Semoga bisa membantu," pikir Dani dalam hati. Dalam beberapa menit, anak Pak Jamal mulai merasa lebih baik. Dia duduk tegak, matanya tidak lagi nampak lemas. Wajahnya yang tadinya pucat, mulai terlihat lebih cerah.
Pak Jamal terlihat terkejut, kemudian berterima kasih, "Alhamdulillah, Dani. Terima kasih banyak. Saya nggak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu."Dani hanya tersenyum. "Yang penting, anaknya sehat, Pak. Itu saja sudah cukup."
Setelah kejadian itu, Dani merasa lebih yakin. Menggunakan Asmak Sungai Rajeh bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membantu orang lain. Mbah Wiryo memang selalu mengajarkan hal itu: ilmu harus digunakan dengan niat yang baik, bukan untuk pamer atau mencari keuntungan.
Namun, kehidupan Dani tidak selalu mulus. Beberapa minggu setelah membantu Pak Jamal, ia mulai merasa kelelahan. Masalah hidup tak pernah berhenti datang. Di pasar, usahanya masih belum berjalan lancar. Seringkali dagangannya sepi pembeli. Terkadang, Dani merasa seperti gagal.
Tapi, di tengah rasa putus asa itu, Dani selalu ingat satu hal: Asmak Sungai Rajeh mengajarkan untuk terus berjalan meskipun hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan. Seperti sungai yang mengalir meskipun kadang ada batu besar yang menghalangi jalannya, hidup pun harus terus dijalani.
“Dani, kamu nggak boleh putus asa,”kata Pak Slamet, teman warung kopi yang selalu memberi nasihat. “Semua orang juga ngalamin kesulitan. Kalau kamu jatuh, bangkit lagi. Itu cara hidup.”Dani hanya tersenyum mendengar itu. “Iya, Pak Slamet. Terima kasih.”
Ia tahu, selama ia terus berusaha dan berbagi, hidup akan lebih mudah dijalani. Keberhasilan itu memang tidak datang dengan mudah, tetapi usaha yang terus menerus pasti membawa hasil. Dan lebih dari itu, membantu orang lain dengan apa yang kita punya, membuat hidup terasa lebih berarti.
Suatu sore, Dani duduk di beranda rumah bersama ibu dan adiknya, Ardi. Mereka sedang menonton acara televisi ringan, seperti biasa. Meski hidup penuh dengan masalah, terkadang tawa dan kebersamaan itu yang membuat segalanya lebih mudah.
Tiba-tiba Ardi bercerita tentang kejadian lucu di sekolah. “Dani, kamu tahu nggak? Tadi di sekolah, Pak Dedi lupa bawa buku pelajaran, jadi dia ngajarin matematika pakai penggaris!” Ardi tertawa keras, membuat Dani dan ibu ikut tertawa.
Dani merasa ada kehangatan dalam tawa itu. Meski kadang hidup terasa berat, momen-momen kecil seperti ini yang membuat semuanya lebih ringan. Ia tahu, hidup ini penuh dengan tantangan, tapi selama ia bisa tertawa dan tetap bersama orang-orang yang ia sayangi, semuanya akan baik-baik saja.
“Pak Dedi bisa-bisanya,” kata ibu sambil tertawa.Dani tersenyum. “Iya, Bu. Kita harus lebih sering tertawa. Hidup ini kan nggak selamanya serius.”
Beberapa bulan berlalu, Dani semakin mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang mencari ilmu atau kekuatan, tapi tentang menjalani kehidupan sehari-hari dengan sabar dan ikhlas. Dengan Asmak Sungai Rajeh, ia belajar untuk memberi, untuk membantu orang lain, dan yang lebih penting, untuk menerima setiap kejadian dalam hidup dengan hati yang lapang.
Ia tidak lagi terlalu terfokus pada hasil, tapi pada proses perjalanan itu sendiri. Ia tahu, sungai tidak pernah berhenti mengalir meski banyak rintangan yang harus dilalui. Begitu juga dengan hidupnya.
Di tengah segala kekurangan, di tengah hidup yang penuh liku, Dani merasa lebih tenang. Ia tidak lagi merasa hidupnya sia-sia. Karena ia tahu, setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari proses yang akan membentuk dirinya menjadi lebih baik.
KETIKA ILMU SEDANG MENGUJI KEBERANIAN
Sudah beberapa minggu sejak Dani mulai mengamalkan Asmak Sungai Rajeh lebih dalam. Ia belajar lebih banyak tentang kekuatan air yang bisa menyembuhkan, tetapi ia juga tahu, ada sisi lain dari ilmu ini yang belum ia pahami sepenuhnya. Sebagai seorang yang ingin belajar, Dani harus siap menghadapi apa yang tak terlihat, yang mungkin lebih berbahaya.
Hari itu, suasana di desa tampak berbeda. Awan gelap menggantung di langit, seolah memperingatkan sesuatu yang buruk. Di tepi Sungai Rajeh, tempat Dani biasa duduk untuk merenung, ia merasakan sesuatu yang aneh. Udara terasa lebih berat, dan suara aliran sungai yang biasanya menenangkan, kini terdengar seperti gemuruh yang menakutkan.
Mbah Wiryo sudah pernah mengingatkannya :"Ilmu ini bukan untuk dimainkan, Dani. Ada yang harus kau bayar, ada yang harus kau hadapi. Jangan pernah terlalu percaya diri."
Namun, Dani merasa sudah cukup kuat. Ilmu yang dipelajari, kekuatan yang ia rasakan, membuatnya merasa tak terkalahkan. Ia ingin menguji dirinya. Ia ingin tahu apakah ia benar-benar bisa mengendalikan Asmak Sungai Rajeh.
Pada suatu hari Dani berdiri di tepi sungai, menatap air yang kini berwarna kelam, seperti menyimpan rahasia besar. Dengan tangan terkepal, ia mulai membaca doa yang diajarkan Mbah Wiryo. Rasanya, ilmu itu mulai mengalir kembali dalam tubuhnya, dan ia merasakan getaran kuat di telapak tangannya.
Tiba-tiba, air sungai yang tenang itu beriak. Seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. Dani merasakan ada yang tidak beres, tetapi rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya. Dengan cepat, ia mengulurkan tangannya ke dalam air, berharap bisa mengendalikan apa yang ada di dalamnya.
Sekejap, air itu bergulung, dan sesosok tangan muncul dari dalam sungai. Tangan yang putih, panjang, dengan kuku yang tajam seperti cakar. Dani hampir terjatuh mundur. Ia menahan napas, tidak bisa bergerak. Sesosok tubuh mulai muncul di permukaan, tubuh yang terbuat dari air, namun bergerak seperti makhluk hidup.
Dani tidak bisa berteriak, suaranya terhenti di tenggorokan. Tubuh itu mulai mendekat, matanya kosong, tetapi ada kekuatan yang begitu besar mengalir dari tubuh itu. Dani tahu, ini bukan sekadar halusinasi. Ini nyata. Sesuatu yang ia panggil, sesuatu yang tak seharusnya ia kendalikan.
"Sungguh, kau tak tahu apa yang kau panggil, Dani," suara Mbah Wiryo terdengar begitu dekat, meskipun Dani tahu Mbah Wiryo tidak ada di sana.
Makhluk itu mendekat dengan lambat, namun gerakannya begitu pasti. Dani merasa tubuhnya kaku, seakan tak bisa bergerak. Tangan yang terbuat dari air itu semakin dekat, dan tanpa sadar, Dani merasakan tubuhnya seperti terhisap oleh kekuatan yang tidak terlihat.
"Jangan coba-coba mengendalikan apa yang lebih besar darimu," suara itu kembali bergema. Dani merasa kepalanya berdenyut, dan pandangannya mulai kabur.Ia ingin mundur, tapi tubuhnya seakan terperangkap dalam air yang terus bergerak, menelan setiap inci tanah yang diinjaknya. Ia berteriak, tetapi suara itu hanya tenggelam di dalam dirinya.
Makhluk itu, dengan tatapan kosong, akhirnya sampai tepat di depan Dani. Air yang mengalir di tubuhnya membentuk wajah, wajah yang tidak manusiawi. Sebuah cermin dari dunia yang berbeda, dunia yang tidak bisa dijangkau oleh manusia biasa.
"Ilmu ini bukan mainan, Dani," suara itu kembali terdengar di telinganya, begitu dekat, seolah berbisik langsung ke dalam pikiran Dani. "Kau telah memanggilnya, dan kau akan membayar harganya."
Dani terperangah. Sebuah kekuatan mengalir melalui tubuhnya, rasa sakit yang begitu tajam, seperti setiap serat tubuhnya dipisahkan satu per satu. Ia merasa seolah tubuhnya hancur, tetapi pikirannya tetap sadar. Semua yang terjadi begitu cepat, dan ia tahu, ini adalah ujian terbesar yang pernah ia hadapi.
Akhirnya, ketika air itu hampir menenggelamkannya, Dani teringat pada pesan Mbah Wiryo. Asmak Sungai Rajeh bukan untuk dipermainkan, dan bukan untuk memenuhi ambisi pribadi. Ilmu itu ada karena ada keseimbangan yang harus dijaga. Ketika ia memaksa untuk mengendalikan sesuatu yang tak seharusnya, maka harga yang harus dibayar adalah hilangnya kendali.
Dengan sisa-sisa tenaga, Dani memusatkan pikirannya, berusaha mengingat apa yang diajarkan Mbah Wiryo. Ia harus mengembalikan segala sesuatu ke alam semesta, menyeimbangkan kembali kekuatan yang telah ia ganggu. Perlahan, ia mulai membaca doa yang lebih dalam, kali ini dengan niat yang lebih tulus.
Suasana menjadi hening. Air sungai yang tadinya bergolak kini kembali tenang. Dani merasa tubuhnya kembali normal, meskipun lelah. Ia terjatuh, tetapi tidak merasa takut lagi. Ia tahu, ia baru saja menghadapi salah satu sisi dari Asmak Sungai Rajeh, sisi yang selama ini ia hindari.
Malam itu, Dani kembali ke rumah dengan tubuh yang lelah, tetapi hatinya lebih tenang. Ia tahu, pengalaman ini akan mengubah cara pandangnya terhadap dunia. Asmak Sungai Rajeh bukan sekadar ilmu, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan untuk tidak mengendalikan, tetapi untuk mengalir bersama.
Di dalam kamar, Dani duduk sejenak, memikirkan semua yang terjadi. Kekuatan yang bisa menyembuhkan, tetapi juga bisa menghancurkan. Terkadang, kita tidak tahu apa yang kita panggil, dan terkadang kita tidak tahu apa yang kita cari. Namun, satu hal yang pasti—ia telah belajar banyak malam itu.
Asmak Sungai Rajeh mengajarkannya tentang keberanian, tentang ketakutan yang harus dihadapi, dan tentang harga yang harus dibayar ketika kita melanggar batas. Dani mengerti sekarang, bahwa hidup ini memang penuh dengan risiko. Tapi ia juga tahu, selama ia tidak berhenti untuk belajar, selama ia tidak berhenti mengalir, maka perjalanan ini akan membawanya pada kedamaian yang sejati.
PERTARUNGAN DENGAN PENJAHAT
Malam itu, seperti biasa, Dani berjalan pulang sendirian dari pasar. Udara malam terasa dingin, dan langkahnya berat setelah seharian bekerja keras. Pikirannya terlarut pada hal-hal yang tidak selesai,usaha yang masih belum berkembang, dan segala masalah yang datang tanpa henti. Namun, sesaat ia mulai merasa tenang, sesaat pula ia merasa ada yang tidak beres.
Tiba-tiba, dari balik pohon besar di jalan sempit, muncul dua orang pria bertopeng, wajah mereka tertutup dengan kain hitam. Dani berhenti sejenak, terkejut. Salah seorang pria itu maju dengan pisau besar di tangan.
“Hei, tasmu!” pria bertopeng itu berkata kasar, matanya tajam menatap Dani.Dani menelan ludah. Ia merasa ada rasa takut merayap di dalam dirinya, tetapi entah kenapa, ia juga merasakan ada sesuatu yang membakar di dalam dadanya,sebuah kekuatan yang datang entah dari mana.
Salah satu pria itu melangkah maju dengan pisau, berniat menusuk Dani. "Uang dan tasmu, cepat!" serunya, dan dalam sekejap, pisau itu sudah diangkat tinggi-tinggi, siap untuk menghujam ke tubuh Dani.
Namun, entah mengapa, Dani tidak merasa takut seperti biasanya. Dalam sekejap, tubuhnya bergerak cepat. Asmak Sungai Rajeh yang ia pelajari mengalir melalui tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia menghindar dengan gerakan yang tak terduga, seakan tubuhnya meleset begitu saja, hampir tak terlihat.
Pria itu terkejut, hampir kehilangan kendali saat pisau itu melesat lewat di samping tubuh Dani. Dani menggerakkan tubuhnya lebih cepat, seakan tubuhnya ringan seperti udara, dan dalam sekejap, ia sudah berada di belakang penjahat itu. Dalam gerakan cepat, Dani meraih tangan pria itu, menahan pisau yang hampir mengenai tubuhnya.
“Lepaskan!” teriak pria itu dengan suara marah.Dani tidak mendengarkan. Dengan sekali tarik, ia memutar tangan pria itu, dan pisau itu terlempar jauh ke tanah. Tanpa ampun, Dani meninju perut pria itu dengan satu gerakan yang sangat cepat, membuat pria itu terhuyung mundur. Sakit. Tidak ada waktu untuk berpikir. Hanya ada satu tujuan: bertahan hidup.
Namun, pria itu masih mencoba menyerang. Pria lainnya bergerak mendekat, mencoba menghantam Dani dengan benda tumpul. Dani, yang sudah merasakan aliran Asmak Sungai Rajeh di tubuhnya, bergerak lebih cepat. Ia berputar, menghindari serangan itu, dan dengan gesit menendang kaki pria yang mendekat. Penjahat itu terjatuh, tidak bisa bangkit lagi.
Dani berdiri di sana, napasnya terengah-engah. Perasaan takut yang biasa datang ketika berhadapan dengan penjahat kini tidak ada. Ia hanya merasa ada kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya, kekuatan yang tidak bisa ia jelaskan. Asmak Sungai Rajeh tidak hanya memberi kekuatan fisik, tetapi juga kecepatan dan ketenangan yang tak terduga.
Pria yang pertama kali menyerangnya masih tergeletak di tanah, tubuhnya lemas setelah pukulan yang Dani berikan. Dani tahu, ia sudah berhasil mengalahkan mereka, tetapi ada perasaan aneh yang datang. Bukan kebanggaan, tetapi rasa takut akan kekuatan yang baru saja ia rasakan.
Setelah penjahat itu melarikan diri, Dani berdiri lama di tempat itu, berusaha menenangkan dirinya. Tubuhnya masih gemetar, tetapi rasa lega menguasai hatinya. Asmak Sungai Rajeh telah membantunya, tetapi ia juga tahu, ada harga yang harus dibayar. Kekuatan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia kendalikan begitu saja. Ada peringatan dalam dirinya, suara kecil yang mengingatkan,jangan terlalu jauh melangkah.
Saat ia berjalan pulang dengan hati yang masih berdebar, Dani ingat kata-kata Mbah Wiryo. "Ilmu ini bukan untuk bertarung, Dani. Ini bukan untuk membuatmu merasa hebat. Ini untuk membantu, untuk melindungi, bukan untuk kekerasan."
Dani berhenti sejenak, menatap ke langit malam yang gelap. Ia merasa seperti baru saja melewati batas. Apa yang baru saja ia rasakan kekuatan yang mengalir begitu cepat dalam tubuhnya,adalah sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Tapi di saat yang sama, ia tahu bahwa kekuatan itu bukan hanya soal fisik. Itu adalah sesuatu yang harus dijaga dengan hati-hati.
Esok harinya, Dani tidak menceritakan kejadian malam itu pada siapa pun. Ia merasa tidak perlu. Meskipun perasaan lega menguasai dirinya, ada rasa kosong yang sulit dijelaskan. Ia kembali ke desa, berjalan menuju rumah dengan langkah yang lebih pelan. Apa yang baru saja terjadi membuatnya berpikir, bahwa hidup ini penuh dengan kejutan yang tak terduga.
Namun, hari-hari berikutnya, Dani merasakan dampak dari Asmak Sungai Rajeh lebih dalam. Kekuatan itu terkadang mengalir dengan mudah, tetapi juga kadang terasa seperti beban yang harus ia jaga. Ia tahu, ia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan itu. Asmak Sungai Rajeh mengajarinya untuk tetap tenang, untuk menjaga keseimbangan dalam hidup. Ia tidak bisa melawan segala hal dengan kekerasan. Ada cara lain untuk menggunakan ilmu ini.
Tamat.
✧✦✧