PEWARIS SUNGE RAJEH

Daftar Isi

Warisan Ghaib Rajeh

Genre : Misteri,Spiritual

Author : Mbah Salim

Jumlah Bab : 17

Jenis : Novel

⭐ 9.6 (Top Premium)
Share: Facebook Twitter Threads Salin Tautan
BAB 1
Misteri Pinggir Sungai Desa Wingit

Orang-orang di desa itu selalu berbisik setiap kali melewati tepian Sungai Rajeh. Mereka bilang, sungai itu bukan sekadar aliran air yang mengalir dari hulu ke hilir. Ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi bisa dirasakan oleh mereka yang peka.


Dulu, ada seorang lelaki tua yang setiap sore duduk di tepi sungai itu.


Rambutnya putih, matanya tajam seperti menembus lapisan-lapisan dunia yang tak kasatmata.


Namanya Mbah Wiryo. Tak ada yang tahu pasti berapa usianya. 

Tapi yang jelas, sejak kecil, aku sudah melihatnya duduk di sana, diam, kadang melantunkan sesuatu yang samar terdengar, seperti doa, seperti mantra. Aku ingat betul hari itu. Matahari hampir tenggelam, memantulkan cahaya oranye ke permukaan air yang tenang. 


Aku berdiri tak jauh dari tempat Mbah Wiryo duduk. Ada keinginan bertanya, tapi juga rasa takut. Namun, entah keberanian dari mana, aku melangkah mendekat.


“Mbah, apa yang Mbah lakukan setiap sore di sini?” tanyaku.Mbah Wiryo menoleh, senyumnya tipis. “Menunggu,” jawabnya singkat.


“Menunggu apa?”


Dia menatap ke arah sungai, lalu bergumam, “Menunggu mereka yang ingin belajar.”


Aku mengernyitkan dahi. “Belajar apa?”


Mbah Wiryo mengangkat satu alisnya. Seperti menimbang-nimbang apakah aku cukup pantas mendengar jawabannya. Kemudian, dengan suara yang lebih pelan, ia berkata, “Asmak Sungai Rajeh.”


Aku belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya. Asmak? Aku pernah mendengar orang-orang membicarakan ilmu-ilmu tua, tetapi tak pernah secara langsung bertemu dengan seseorang yang menguasainya.


“Mbah, apa itu?” tanyaku, lebih mendekat.Mbah Wiryo menatap lurus ke mataku, seolah membaca pikiranku. “Kalau kau benar-benar ingin tahu,” katanya, “besok sore, datanglah lagi ke sini.”    


Sejak hari itu, hidupku berubah.

Mbah Wiryo melangkah perlahan mendekati sungai, matanya terfokus pada pilar air yang masih berpendar dengan tulisan kuno di dalamnya. Sosok misterius yang tadi muncul kini mulai memudar, tetapi suasana di sekeliling masih terasa tegang.


“Kau siap, bocah?” tanya Mbah Wiryo tanpa menoleh.Aku menelan ludah, jantungku masih berdegup kencang. “Siap untuk apa, Mbah?”


Mbah Wiryo tersenyum samar, lalu mencelupkan tangannya ke dalam sungai. Seolah-olah air itu bukan sekadar air, permukaannya berdenyut seperti makhluk hidup. Dalam sekejap, telapak tangan Mbah Wiryo mengeluarkan cahaya redup berwarna biru kehijauan.


“Sentuh air ini,” perintahnya.


Aku ragu. Air itu tampak tidak seperti air biasa. Ada getaran aneh yang mengalir darinya, seperti sebuah kekuatan yang tak terlihat. Tapi aku tak ingin mundur. Perlahan, aku mengulurkan tanganku dan menyentuh permukaan sungai.


Begitu ujung jariku menyentuh air, sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhku. Bukan rasa basah seperti biasanya, tetapi sesuatu yang lebih dalam. Aku merasa seolah tersedot ke dalam sungai, mataku berkunang-kunang, dan tiba-tiba...


Aku tidak lagi berada di tepian sungai.


Aku berdiri di tempat yang asing. Air mengalir di sekelilingku, tapi aku tidak tenggelam. Cahaya kehijauan berputar di udara, menciptakan pola-pola yang berkilauan. Aku mendengar suara, bukan suara manusia, tetapi bisikan dari entitas yang tak terlihat.


“Kau telah memasuki batas antara yang nyata dan yang gaib,” suara itu bergema di sekelilingku.


Aku ingin berteriak, tetapi tidak bisa. Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat sosok berjubah putih berjalan di atas air. Wajahnya samar, tapi kehadirannya terasa begitu kuat. Aku ingin bergerak, tapi tubuhku seakan terkunci.


Sosok itu mendekat, dan saat jaraknya hanya beberapa langkah dariku, ia mengangkat tangannya. Seketika, aku merasa seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam kepalaku sebuah pengetahuan, sebuah pemahaman yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.


Aku melihat kilasan-kilasan peristiwa orang-orang di masa lalu yang menggunakan Asmak Sungai Rajeh, kekuatan air yang bisa menyembuhkan, melindungi, bahkan menghancurkan. Aku melihat Mbah Wiryo di masa mudanya, berdiri di tempat yang sama, menerima ilmu ini dari seseorang yang mirip dengan sosok di hadapanku sekarang.


Lalu, semuanya menghilang. Aku kembali ke tepian sungai, terengah-engah, tubuhku lemas.


Mbah Wiryo tersenyum. “Itulah langkah pertamamu.”Aku menatapnya dengan mata membelalak. “Apa yang barusan terjadi, Mbah?”


“Ilmu ini bukan sekadar kata-kata, bocah,” katanya pelan. “Ini adalah warisan dari para penjaga air. Dan kau baru saja diberi izin untuk melihat sebagian kecilnya.”


Aku masih gemetar. “Apakah... apakah aku siap untuk belajar lebih dalam?”


Mbah Wiryo tertawa kecil. “Itu bukan aku yang menentukan, tapi mereka.”


Aku menoleh ke arah sungai. Sekilas, aku masih bisa melihat bayangan sosok berjubah putih itu sebelum akhirnya benar-benar menghilang di dalam aliran air.


Malam itu, aku pulang dengan kepala penuh pertanyaan. Tapi satu hal yang aku tahu pasti,hidupku tidak akan pernah sama lagi dengan yang dulu.dan Aku sadar, ini adalah ujian pertamaku.  

BAB 2 
MENGUASAI ASMAK SUNGE RAJEH

Setelah melewati ujian pertamaku di dunia gaib, aku kembali ke dunia nyata dengan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ada kekuatan yang mengalir dalam tubuhku, sesuatu yang tidak kasatmata tetapi terasa begitu nyata.


Mbah Wiryo menatapku dengan sorot mata penuh makna. “Sekarang kau sudah diberi izin untuk menggunakan Asmak Sungai Rajeh. Tapi ingat, ini bukan sekadar ilmu. Ini adalah amanah.”Aku mengangguk. “Bagaimana cara menggunakannya, Mbah?”


Mbah Wiryo tersenyum tipis. “Asmak ini memiliki banyak manfaat. Bisa untuk perlindungan, penyembuhan, bahkan membuka mata batin. Tapi semuanya bergantung pada niatmu.”

Ia lalu mengajarkanku beberapa langkah dasar:


Mengaktifkan Asmak :

  • Duduk bersila dengan tenang.
  • Letakkan tangan di atas lutut, telapak menghadap ke atas.
  • Bacakan doa khusus yang diajarkan Mbah Wiryo.
  • Rasakan energi mengalir dalam tubuh, terutama di telapak tangan dan dada.

Menggunakan Asmak untuk Penyembuhan :

  • Sentuhkan telapak tangan ke air atau langsung ke bagian tubuh yang sakit.
  • Bacakan doa dengan niat menyembuhkan.
  • Rasakan energi dari Sungai Rajeh mengalir melalui tangan dan masuk ke tubuh pasien.
  • Dalam beberapa saat, rasa sakit akan mereda, dan energi negatif akan terserap ke dalam air.

Perlindungan Diri :

  • Saat merasa terancam, tarik napas dalam-dalam.
  • Bacakan doa dan bayangkan tubuhmu dikelilingi oleh perisai air yang tak terlihat.
  • Energi ini akan menolak serangan gaib atau fisik yang mengancammu.

Membuka Mata Batin :

  • Lakukan meditasi di dekat aliran air, terutama di waktu fajar atau senja.
  • Pejamkan mata dan rasakan getaran energi di sekitarmu.
  • Jika dilakukan dengan benar, kau akan mulai melihat sesuatu yang sebelumnya tak terlihat oleh mata biasa.

Aku mencoba langkah pertama. Ketika aku duduk bersila dan membaca doa yang diajarkan Mbah Wiryo, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada gelombang energi yang mengalir melalui tubuhku, menggetarkan jari-jariku.


Ketika aku mencelupkan tangan ke dalam sungai, airnya terasa lebih hangat dari biasanya. Aku bisa merasakan denyut kehidupan di dalamnya. Dengan hati-hati, aku menengadah dan melihat Mbah Wiryo tersenyum puas.


“Kau sudah mulai memahami,” katanya. “Tapi perjalananmu masih panjang!.”


Aku mengangguk. Aku tahu, ini baru permulaan. Tapi satu hal yang pasti,bahwa Asmak Sungai Rajeh bukan sekadar ilmu biasa. Ini adalah warisan dari masa lalu, kekuatan yang harus digunakan dengan bijak.


Dan aku siap untuk menggunakannya.Bahkan burung pun mendadak sunyi. Itulah tanda-tanda awal dari misteri yang belum terpecahkan..!!.


BAB 3 
TES MENEMBUS ALAM GHAIB


Mbah Wiryo mengajakku ke tempat yang lebih dalam, sebuah area di tepian sungai yang jarang dijamah orang. Pohon-pohon besar menaungi area itu, menciptakan suasana yang lebih gelap meski hari masih siang.

“Kau akan mencoba menembus alam gaib,” katanya lirih. “Tapi ingat, jangan takut. Ketakutan adalah celah yang bisa dimanfaatkan mereka.”


Aku menelan ludah. Kata ‘mereka’ yang dimaksud Mbah Wiryo jelas bukan manusia biasa.


Aku duduk bersila, mengikuti arahannya. Mbah Wiryo mulai membaca doa-doa dalam bahasa yang asing di telingaku. Udara di sekitarku berubah, terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan dari segala arah.


Aku merasakan tubuhku seakan tertarik ke belakang, meski aku tetap duduk di tempat yang sama. Pandanganku mulai buram, suara gemuruh muncul dari kejauhan.


Tiba-tiba, aku berada di tempat lain.Sebuah jembatan tua membentang di hadapanku, menghubungkan dua tebing curam yang diselimuti kabut pekat. Sungai Rajeh ada di bawahnya, tapi airnya hitam dan bergejolak seperti lautan badai.


Aku mendengar suara-suara samar, bisikan-bisikan yang menggetarkan nyali.“Kau telah memasuki perbatasan,” suara Mbah Wiryo terdengar dari kejauhan. “Jangan mundur. Tapi hati-hati, mereka mengawasi.”


Aku menatap sekeliling. Sosok-sosok samar berdiri di tepi jembatan, tidak bergerak, hanya mengawasi. Mata mereka kosong, tetapi terasa menusuk. Aku berusaha tetap tenang.


Perlahan, aku melangkah ke atas jembatan. Setiap langkah terasa berat, seperti ada tangan tak terlihat yang menahan kakiku.


Tiba-tiba, dari arah kanan, sesosok makhluk melompat ke arahku. Tubuhnya tinggi kurus, matanya merah menyala. Tangannya yang panjang meraih ke arah wajahku.


Refleks, aku membaca doa Asmak yang diajarkan Mbah Wiryo. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan melingkupi tubuhku. Makhluk itu berteriak melengking, mundur dengan tubuh terbakar oleh cahaya tersebut.


Aku sadar, Asmak ini bukan sekadar perlindungan. Ini adalah kunci untuk menaklukkan dunia yang tidak kasatmata.Aku melangkah lebih jauh. Sosok-sosok lain mulai menjauh, seolah takut dengan keberadaanku.


Di ujung jembatan, aku melihat sebuah gerbang batu. Tulisan-tulisan kuno terpahat di permukaannya. Aku tahu, jika aku melewatinya, aku akan memasuki wilayah yang lebih dalam dari dunia ini.


Tapi tiba-tiba, aku mendengar suara Mbah Wiryo lagi. “Cukup untuk hari ini. Kembali sekarang.”Sekejap kemudian, aku merasa ditarik mundur dengan kecepatan luar biasa.


Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Aku masih duduk bersila di tepi sungai, tetapi tubuhku basah oleh keringat dingin.Mbah Wiryo menepuk bahuku. “Kau berhasil. Tapi ingat, jangan gegabah. Ada batas yang tak boleh kau langgar.”


Aku mengangguk. Aku telah melihat sedikit dari dunia yang lebih besar. Dan kini, aku tahu bahwa ilmu ini bukan hanya sekadar mantra atau energi. Ini adalah tanggung jawab.Dan aku harus siap menghadapinya.


BAB 4 
MENYEMBUHKAN DENGAN ASMAK SUNGE RAJEH


Setelah pengalaman menembus alam gaib, aku mulai memahami bahwa Asmak Sungai Rajeh bukan sekadar ilmu mistis, tetapi juga anugerah untuk membantu sesama. Dan hari itu, aku diuji dengan tugas yang lebih berat,menyembuhkan seseorang yang sakit parah.


Sore itu, seorang lelaki tua datang ke rumah Mbah Wiryo. Tubuhnya kurus kering, matanya cekung, wajahnya penuh guratan kesakitan. Ia berjalan tertatih dengan bantuan tongkat.

“Mbah… tolong saya…” suaranya parau, nyaris tak terdengar.Mbah Wiryo menatapku. “Ini saatnya kau menguji ilmumu.”Aku menelan ludah. Jantungku berdegup kencang.


Lelaki tua itu duduk di atas tikar yang telah disediakan. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tidak beraturan. Aku berlutut di hadapannya, mencoba mengendalikan ketegangan dalam diriku.Mbah Wiryo memberi isyarat agar aku mulai.


Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kedua tanganku. Aku membaca doa Asmak yang diajarkan Mbah Wiryo, membiarkan energi dari Sungai Rajeh mengalir melalui tubuhku. Perlahan, aku menempelkan telapak tangan ke dada lelaki itu.


Saat itu juga, sesuatu yang tak terduga terjadi.Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Dari mulutnya keluar suara erangan panjang, seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam dirinya. Udara di sekitar kami menjadi lebih dingin, bulu kudukku berdiri.


Tiba-tiba, lelaki itu memuntahkan cairan hitam pekat ke lantai. Bau anyir menyengat ke hidungku, seperti darah busuk yang sudah lama membeku.Mbah Wiryo tetap diam, hanya mengangguk kepadaku agar aku teruskan.


Aku memejamkan mata, memusatkan energi pada telapak tanganku. Aku membaca doa lebih khusyuk, membayangkan cahaya dari Sungai Rajeh mengalir ke tubuh lelaki itu, menyapu bersih kegelapan yang bersarang di dalamnya.


Lelaki itu berteriak keras. Tangannya mencengkeram tikar, tubuhnya menegang seperti tertahan sesuatu. Dan lalu… semua tiba-tiba hening.Ia terkulai lemas. Napasnya mulai teratur, wajahnya yang semula pucat perlahan-lahan berubah kemerahan. Matanya terbuka, menatapku dengan penuh keheranan.


“Apa… yang kau lakukan?” suaranya bergetar.Aku menghela napas, menatap Mbah Wiryo yang tersenyum tipis.“Kau telah dibersihkan,” kata Mbah Wiryo. “Penyakitmu bukan sekadar sakit biasa. Ada energi negatif yang bersarang dalam tubuhmu selama bertahun-tahun. Dan kini, ia telah pergi.”


Lelaki tua itu meneteskan air mata. Ia meraba dadanya, seolah ingin memastikan bahwa dirinya benar-benar telah terbebas dari beban yang selama ini ia rasakan.Aku masih terpaku, menyadari bahwa aku baru saja menggunakan ilmu yang begitu luar biasa. Asmak Sungai Rajeh bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga tentang penyembuhan.


Mbah Wiryo menepuk pundakku. “Kau telah memulai perjalanan ini. Tapi ingat, semakin besar ilmumu, semakin besar pula tanggung jawabmu.”Aku mengangguk. Dalam hati, aku tahu, ini baru permulaan.Dan tugas yang lebih besar menantiku di depan.


BAB 5 

ENERGI GHAIB MENGALIR DALAM TUBUHKU


Pagi itu, Dani merasa ada sesuatu yang berbeda. Pagi selalu datang dengan cara yang sama, tapi kali ini rasanya sedikit lebih cerah. Ia berjalan menuju rumah Mbah Wiryo, seperti biasa. Tapi langkahnya terasa lebih ringan, lebih yakin.


"Mbah, aku merasa seperti ada yang berubah dalam diriku," ujar Dani dengan penuh rasa ingin tahu, tapi ada rasa cemas yang masih menggelayuti hatinya.


Mbah Wiryo, yang sedang duduk di serambi depan rumah, hanya tersenyum mendengar perkataan Dani. "Perubahan itu bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, Dani. Perubahan itu adalah hasil dari usaha dan keyakinan. Kau mungkin tidak menyadari, tapi perubahan itu sedang terjadi. Seperti air yang mengalir di sungai, kau tak akan tahu seberapa dalam ia bergerak sampai kau berhenti dan merasakannya."


Dani terdiam, merenungkan kata-kata Mbah Wiryo. Ia tahu, ada banyak hal yang belum ia pahami sepenuhnya. Namun, satu yang pasti, ia merasa semakin dekat dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.


Mbah Wiryo kemudian melanjutkan, "Ilmu ini, Dani, bukan hanya untuk kepentingan pribadi. Ia lebih dari itu. Ketika kau mengamalkan Asmak Sungai Rajeh, kau bukan hanya menerima keberkahan untuk dirimu sendiri, tapi untuk orang-orang di sekitarmu. Ilmu ini adalah untuk berbagi. Karena sungai yang mengalir tidak pernah berhenti hanya untuk satu orang."


Dani mengangguk. Ia mulai merasakan makna yang lebih dalam dari apa yang sedang ia pelajari. Ilmu ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi soal bagaimana kekuatan itu bisa mengalir dan memberikan manfaat bagi banyak orang. Seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir, memberikan kehidupan bagi yang membutuhkan.


Dani duduk di tepi Sungai Rajeh. Malam itu, langit tidak berbintang, hanya gelap yang menyelimuti. Seperti hati Dani, yang entah mengapa tiba-tiba merasa penuh, tetapi kosong di waktu yang sama. Dalam perjalanan hidupnya, ia sudah mencari banyak hal, mencari kepastian, mencari jawaban. Namun kini, setelah bertemu dengan Mbah Wiryo, segalanya seperti berada di persimpangan yang tak pernah ia duga.


Sungai Rajeh mengalir dengan tenang, seakan tahu betul apa yang sedang dipikirkan Dani. Ia memandang aliran air yang berjalan tanpa henti, begitu sederhana, namun begitu dalam maknanya. Begitulah hidup, pikir Dani. Terus mengalir, meski kadang tanpa arah yang jelas.


Mbah Wiryo pernah berkata padanya, "Ilmu ini, Dani, bukan hanya tentang mencari kekuatan. Ini tentang menemukan kedamaian dalam perjalanan yang tak pernah berhenti. Asmak Sungai Rajeh, seperti sungai itu sendiri. Ia mengalir tanpa pamrih, memberi kehidupan tanpa meminta balasan."


Dani mengerutkan kening. Apakah ia sudah cukup mengerti? Atau apakah semua ini hanya sekadar kata-kata kosong yang penuh harapan? Ia tidak tahu. Namun, sesuatu dalam dirinya terasa berubah. Tidak besar, tidak mencolok. Tapi seperti air yang mengalir di sungai, perubahan itu datang perlahan, tanpa bisa ia hindari.


"Kadang, kita tidak perlu tahu ke mana arah aliran itu, Dani," kata Mbah Wiryo suatu waktu. "Yang kita butuhkan adalah keyakinan bahwa kita adalah bagian dari aliran itu. Jika kita bisa merasakan setiap tetesnya, kita akan memahami betapa berharganya perjalanan ini."Dani menutup matanya sejenak. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. 


Tapi saat itu, ada rasa yang begitu dalam, rasa yang seolah-olah mengalir bersama air sungai itu. Rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun ia tahu ia harus mengikutinya. Begitu saja, seperti sungai yang mengalir tanpa bertanya.



✧✦✧