ANUGERAH AYATHUL KURSI 3

Daftar Isi


BAB 10
IBUNYA RANTI KRITIS


Kang Udin Lagi Diganggu Makhluk Tak Kasat Mata
Hari itu, langit tampak biasa. Tapi hati Ranti tak biasa.Ia datang tergesa ke rumah Kang Udin. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia mengetuk pintu pelan, dan saat pintu dibuka…“Kang... tolong... Ibu saya... kritis.”Kang Udin tak banyak tanya. Ia bawa air, sorban, dan Al-Qur’an kecil yang selalu ia simpan di tas rajut buatan santrinya dulu.


Ibu Ranti, wanita renta berusia 70-an, terbaring lemah.Tubuhnya dingin, napasnya satu-satu. Matanya seperti mau bicara tapi tak sanggup. Dokter sudah pasrah, katanya tinggal menunggu waktu.Tapi Ranti tahu, ada satu jalan yang belum ditempuh: Ilmu yang diamalkan Udin. Ayathul Kursi.


“Saya tahu ini bukan jaminan sembuh, Kang... tapi saya yakin, lewat sampean, Allah bisa menolong.”Kang Udin hanya mengangguk.Ia duduk di sisi ranjang. Mengusap lembut kepala ibu Ranti. Lalu memejamkan mata, dan mulai membaca:


“Allahu Laa Ilaaha illa Huwa…”“…Laa ta’khudzuhu sinatuw wa laa naum…” Kalimat itu keluar perlahan. Seperti aliran air bening dari mata air di dalam dada.

Dan saat Udin selesai membaca...tiba-tiba ibu Ranti menarik napas panjang, seperti seseorang yang baru saja bangkit dari dasar laut. Matanya terbuka pelan. Tangannya menggenggam tangan Udin.


“Nak... terima kasih… aku mimpi ketemu almarhum bapaknya Ranti tadi… dia bilang... belum waktunya aku…”Semua yang melihat menangis. Ranti tersungkur memeluk ibunya. Dan Kang Udin? Ia bangkit… mengambil wudhu lagi… dan duduk sendirian di teras.


Malam itu, nama Kang Udin berkibar di langit mulut warga.Orang-orang mulai datang dari luar kampung. Ada yang bawa anak kesurupan. Ada yang tak bisa tidur bertahun-tahun. Ada yang ingin “dibersihkan”. Bahkan ada pejabat diam-diam datang tengah malam.


Tapi Kang Udin tetap seperti dulu.Kalem.Tak pernah minta imbalan.Bahkan ketika satu warga nyodorin amplop tebal, ia cuma bilang: “Kalau mau sedekah, kasih ke masjid. Saya numpang lewat aja, Pak.”


Dan malam itu, Ranti berdiri di pojok halaman. Menatap Udin dari kejauhan. Ada sesuatu yang belum ia ucapkan. Tapi matanya bicara banyak: “Kang... mungkin selama ini saya mencari orang hebat di tempat jauh... padahal yang sejati itu... pulang ke kampung sendiri.”


BAB 11
PENGORBANAN TERBESAR


Setelah kejadian-kejadian luar biasa itu, nama Kang Udin makin melambung.Tapi Allah takkan membiarkan seorang hamba jadi tinggi... tanpa diuji lebih tinggi.Suatu malam, Udin dipanggil ke rumah Pak Sumarno, kepala desa.Anaknya—Rehan, 7 tahun kerasukan sejak 3 hari. Tidak bisa bicara. Matanya kosong.


Tapi… saat Udin masuk dan memegang tangannya, Rehan bicara… dengan suara perempuan tua.“Udin… sampean harus pilih. Satu… selamatkan anak ini. Tapi cinta sampean bakal diambil.”“Atau… selamatkan Ranti. Tapi anak ini mati.”


Semua terdiam. Pak Sumarno sampai gemetar. Ranti pun menangis di luar rumah, karena dia tahu… itu bukan suara biasa.Udin menghela napas.Menatap Rehan.Lalu menatap langit.“Gusti... aku bukan siapa-siapa. Tapi jika cinta yang aku simpan harus hilang... asal anak ini Kau selamatkan, silakan ambil semuanya...”


Dan saat ia letakkan tangannya di dada Rehan, Ayathul Kursi ia bacakan penuh air mata.

Bukan keras. Tapi lembut. Dalam. Menyatu dengan ruh.“...Wa laa ya’uduhu hifdzuhumaa wa Huwal ‘Aliyyul Adzhiim…” Rehan berteriak sekali. Lalu tubuhnya lemas. Nafasnya tenang. Dan… tertidur seperti bayi yang kembali pulang ke rahim ibunya.


Tapi... malam itu juga… Ranti pergi. Ia ditimpa musibah di perjalanan pulang. Tak wafat, tapi... kehilangan ingatan tentang Udin.Ia kembali ke rumah ibunya… tapi memanggil Udin dengan sebutan “Bapak tetangga.” Ujian itu nyata.Kang Udin menatap dari jauh… senyum.


“Kalau kehilangan ini bagian dari pengorbananku... maka biarlah aku merawatnya dalam diam.“Karena cinta sejati… tak harus diingat, cukup dirasakan.”


BAB 12
ANUGERAH AYATHUL KURSI


Sudah tiga tahun berlalu sejak Kang Udin pulang kampung.Rumah kecilnya di pinggir sawah tak pernah sepi.Bukan karena ramai orang, tapi karena selalu ada jiwa yang singgah.Kadang anak muda yang gelisah.Kadang bapak tua yang ingin sembuh.Kadang... hanya orang-orang sepi yang ingin didengar.


Dan Kang Udin… tetap seperti dulu.Kemeja putih, peci hitam, senyum pelan.Tapi kini ada yang berubah: keteduhan di wajahnya makin dalam.Seolah ia sudah tidak butuh apa-apa lagi, selain menjadi perantara.


Suatu sore, seorang anak kecil datang. Namanya Fahri.“Kang… Bapak saya bilang, kalau saya takut... baca Ayathul Kursi.“Tapi saya gak hafal... boleh Kang Udin ngajarin?”Udin tersenyum.Ia duduk di bawah pohon mangga. Anak itu duduk di pangkuannya.Dan dari bibir Udin, mengalir kembali kalimat-kalimat yang dulu ia pelajari di pesantren.


Pelan.Penuh ruh.Tanpa gembar-gembor.“Allahu Laa Ilaaha illa Huwa...”Dan saat Fahri ikut melafalkan... matanya berbinar. Seolah cahaya itu menurun pelan-pelan, tapi pasti.Hari-hari Udin berjalan begitu.Tak ada gegap gempita.Tapi kehadirannya menjadi penjaga diam kampung itu.


Warga tak lagi takut pada kegelapan. Karena mereka tahu,“Selama Kang Udin masih di sini... kita gak sendiri.”Dan tentang Ranti? Ia memang tak lagi mengingat semua yang pernah terjadi. Tapi tiap kali lewat depan rumah Kang Udin, ia selalu menunduk…Lalu tersenyum, tanpa tahu sebabnya.


Dan Udin hanya membalas dengan anggukan kecil.Tanpa kata.Karena bagi Udin…“Cinta yang pernah kita simpan, tak harus dimiliki… cukup diamalkan seperti ayat. Menenangkan walau tak dihafal.”Ayathul Kursi, bukan cuma ilmu.Ia adalah anugerah.


Dan bagi Kang Udin…Ilmu itu bukan untuk memamerkan, tapi untuk menjaga,seperti udara: tak terlihat, tapi jadi nafas semua yang hidup.


SELESAI.



✧✦✧