PENGELANA KAROMATHUL GHOIB 11
GERAKAN YANG TAK KUPELAJARI
Sudah seminggu aku tinggal di pondok Ustad Wahid.Setiap hari hanya diisi hal-hal sederhana: bersih-bersih halaman, masak air, bantu nenek-nenek cari kayu bakar.Tapi entah kenapa... hatiku tenang.Dan dari ketenangan itu, ada sesuatu dalam diriku yang mulai... bergerak.Suatu sore, selepas Ashar, Ustad Wahid menyuruhku ke tanah lapang belakang pondok.Tanah itu kering, banyak daun kering berserakan, tapi sejuk karena dikelilingi pohon randu tua.
“Suryo,” katanya pelan, “kamu sudah waktunya diuji.“Tapi bukan ujian lewat buku, atau hafalan.Ini... ujian yang langsung dari dalam dirimu.”Aku menatap beliau.Jantung berdebar.Tapi bukan karena takut.Lebih ke rasa penasaran: “Ujian seperti apa lagi ini?”
“Coba berdiri di tengah lapangan itu.Kosongkan pikiran. Jangan mikir jurus.Jangan mikir gaya.Cukup pikirkan: ‘Kalau ada yang mengganggumu, lindungi dirimu.’Tapi jangan pakai otot. Pakai... niat.”Aku nurut.Berdiri di tengah.Tarik napas.Pejamkan mata.Dalam hati, aku hanya membayangkan...“Kalau tiba-tiba ada orang jahat menyerang, aku harus bisa melindungi diri. Tapi gak tahu caranya.”
Dan saat itu...KAKIKU BERGERAK SENDIRI.TANGANKU MENGAYUN.BADANKU BERPUTAR - PUTAR !!.
Aku kaget !.Tapi tubuh ini seperti... bukan aku yang gerakkan.Gerakan itu lembut, mengalir, kadang keras, kadang pelan,tapi semuanya pas.Tanganku membentuk kuda-kuda pencak silat.Lalu berubah ke gaya karate.Lalu tiba-tiba... kaki menendang dengan gaya taekwondo.
Aku gak ngerti teknik itu. Tapi tubuhku... bergerak seolah aku belajar bertahun-tahun.“Ustad!! Ini... apa??” teriakku sambil gemetar.Ustad Wahid duduk di bawah pohon.Tersenyum.Tenang.
“Itulah... ilmu Karomathul Ghoib, Suryo.Ilmu yang hanya muncul kalau hati sudah jernih.Yang tubuhnya bisa digerakkan langsung oleh kehendak jiwa.”“Dan jiwa itu... terhubung pada kekuatan semesta.Bukan kamu yang bergerak.Tapi hatimu yang berserah, dan langit yang menjawab.”
Gerakan itu berhenti perlahan.Tubuhku berdiri tegak. Nafasku ngos-ngosan.Tapi rasanya... seperti baru selesai wudhu.Ringan. Segar. Damai.
Aku duduk di tanah.Daun-daun kering menempel di baju.Keringat membasahi leher.Tapi di dalam dada...ada sesuatu yang terbuka.“Silat Karomah,” kata Ustad, “bukan jurus yang dipelajari.Tapi jurus yang muncul sesuai kebutuhan hati.Kadang kamu bisa menghindar seperti bayangan.Kadang kamu bisa menyerang tanpa menyentuh.”
“Yang penting... jangan pernah gunakan ini untuk sombong.Karena kalau niatmu berubah... maka gerakan itu akan berhenti.”Malam itu, aku termenung di bawah langit.Dan aku mulai sadar...
Tubuh ini...ternyata bisa jadi alat untuk kebaikan,asal hatinya bersih dari kesombongan.
GERAKAN YANG TAK KUPAHAMI
Malam harinya, aku duduk di depan pondok.Langit cerah, bintang bertaburan.Ustad Wahid udah tidur, ngorok pelan dari balik bilik bambu.Aku masih belum bisa tidur.Tubuhku masih seperti... berisi sesuatu.Entah apa. Tapi sejak sore tadi, setelah gerakan itu keluar,aku merasa... tubuh ini bukan cuma daging dan tulang. Tapi ada alirannya.
Sekitar jam sembilan malam,dari kejauhan terdengar suara motor berisik.
“Nggenggg... nggengggg... brak!!!”
Seseorang berhenti di depan pondok.Lampu motor mati.Langkah kaki berat, goyah. Suara botol kena batu.“Ustaad!! Keluarrr... gua tau elu bisa nyembuhin orang...Gua gak percaya tuh karomah-karomahan!”
“Keluar luu! Jangan sembunyi!”Aku berdiri.Lihat dari balik anyaman.Seorang laki-laki muda, wajahnya mabuk, matanya merah.Kaosnya sobek. Di tangannya... botol kaca.“Sini lo! Ustad, muridmu atau siapa kek!Gue mau tanding!”
Aku keluar.Sendirian.Ustad gak muncul.Dan di detik itu... aku takut. Tapi... juga tidak.Karena entah kenapa, kakiku melangkah ke depan.Tanganku mengangkat pelan.Kuda-kuda terbentuk sendiri.Aku gak niat mukul.Tapi dalam hati, cuma satu niat:
“Kalau dia menyerang, lindungi tubuh ini...tapi jangan sakiti dia.”Orang itu lempar botol.Botolnya melayang...dan tanganku otomatis menepis.Botol mental ke samping.
Dia marah !.Lari ke arahku sambil tinju membabi buta.
Dan...tubuhku bergerak sendiri.Langkah kaki bergeser ke kanan.Tangan menepis ke bawah.Kaki menahan pundaknya.Lalu... pelan tapi tegas, badannya dibanting ke tanah.
“DUGHH!”
Dia pingsan.Tapi napasnya masih ada.Aku berdiri gemetar.Bukan karena takut. Tapi karena aku gak sadar barusan ngelakuin semua itu.Dari belakang...suara Ustad Wahid terdengar pelan.“Kamu gak mukul, Le.Tapi kamu menang.”
Aku menoleh.Ustad berdiri, senyum kecil.Sambil bawa selimut di pundaknya.“Itulah... silat karomah.Kalau hatimu minta damai...tubuhmu gak akan menyakiti.Tapi tetap melindungi.”Kami duduk bareng di tangga pondok.Laki-laki tadi dibaringkan di bale-bale, dikasih air putih.
“Dia dulu santri,” kata Ustad lirih.“Tapi jatuh di jalan yang keliru.Ilmu yang dulu dia pelajari...bikin dia angkuh.“Tapi malam ini... dia bertemu kamu.Dan semoga... itu jadi tamparan buat egonya.”Aku menatap langit.Masih banyak bintang. Tapi malam terasa sunyi.
Dan aku menulis di catatan kecilku:
“Kadang, ujian datang bukan dari setan,tapi dari manusia...yang lupa cara pulang ke dirinya sendiri.”
Pagi itu, langit diguyur embun.Pohon-pohon menggigil, dan tanah masih dingin seperti perut nenek-nenek habis wudhu subuh.Aku duduk sendiri di tepi sumur tua.Memandang cermin kecil yang sengaja kupinjam dari Ustad Wahid.
Cermin itu sederhana.Pegangannya dari kayu. Kacanya sudah agak retak di pinggir.Tapi entah kenapa... aku ngerasa aneh waktu menatap bayanganku sendiri.Karena…yang kulihat di dalam cermin...bukan cuma aku.Ada wajah-wajah samar.Ada mata yang menatapku dari balik bayangan.
Ada suara dalam kepala...yang berkata: “Kau belum selesai mengenal dirimu sendiri.”Ustad Wahid muncul dari balik pintu.Masih pakai sarung, dan tangan kiri bawa bungkusan gorengan.“Gorengannya panas. Tapi hatimu masih dingin,” katanya sambil duduk.Aku senyum.“Ustad, saya lihat bayangan aneh dari cermin ini...”
“Itu bukan aneh, Le...itu yang selama ini ada.Tapi kamu gak pernah diam cukup lama untuk bisa melihat.“Cermin itu bukan benda ajaib.Tapi... kalau hati tenang,ia akan menunjukkan wajah yang tak kamu kenali.”
Aku diam.Karena sejujurnya, aku bingung.Aku ini siapa?Pemuda gagal? Anak sial? Bekas orang yang suka ngelamun di warung?Atau...orang yang ternyata bisa melihat dan merasakan yang tak bisa dijelaskan?
Tiba-tiba Ustad nanya:“Kamu tahu kenapa sinar senter bisa menembus kegelapan?“Karena dia kecil. Tapi fokus.Sementara manusia hari ini...banyak yang terang, tapi nyebar ke mana-mana.Punya ilmu, punya jabatan, punya kata-kata manis...tapi gak bisa lihat dirinya sendiri.”
“Kamu, Suryo... sedang belajar jadi senter.Dan Karomathul Ghoib adalah baterainya.Kalau niatmu kuat, jernih, dan gak nyasar...kamu bisa menembus gelap hati siapa pun.”
Aku merenung.Tanganku masih megang cermin.Dan anehnya... bayangan itu mulai hilang.Yang tersisa cuma wajahku. Kusut. Lelah. Tapi ada sedikit cahaya di mata.Cahaya yang lahir bukan dari lampu,tapi dari keyakinan.Dari dapur, suara Ustad masih terdengar:“Jangan terlalu sering ngaca, Le...nanti kamu sadar, ternyata yang kamu benci selama ini bukan orang lain,tapi dirimu sendiri yang gak pernah kamu peluk.”
Catatanku hari itu:
“Kadang, yang paling terang adalah cahaya kecil,dari orang yang gak pernah dianggap.Karena ia bersinar bukan untuk dilihat,tapi untuk menemani langkah orang lain di jalan yang gelap.”
Malam itu, hujan turun pelan.Tetes air membasahi genteng pondok dan menetes ke ujung tikar depan.Suryo duduk bersila, tubuhnya agak gemetar, tapi wajahnya pasrah.Ustad Wahid duduk di depannya, membawa secangkir air putih dan sehelai kain putih panjang yang dilipat rapi.
“Suryo,” kata beliau lembut.“Ini malam terakhir kamu tinggal di sini sebagai murid...Besok kamu akan jadi pengelana.Tapi sebelum itu, kamu harus lewati satu ujian terakhir.”Aku menunduk.“Ujian apa lagi, Ustad?”
“Ujian yang datang... bukan dari luar. Tapi dari dalam rumah ini sendiri.“Lho... rumah ini?“Iya, Le. Bahkan rumah bisa menyimpan rahasia yang gak semua mata bisa lihat.”Setelah sholat Isya, Ustad menyuruhku duduk di tengah ruang utama pondok.
Lampu dimatikan.Hanya nyala lampu tempel di pojok ruangan.Bau tanah basah dan kayu tua memenuhi udara.Dan saat itu...Ustad Wahid membuka satu papan lantai.“Ini lantai tua yang gak pernah saya buka sejak dulu...Karena di bawahnya, ada sesuatu yang harus diselesaikan oleh orang terpilih.”
Tanganku dingin.Aku mendekat pelan.Di balik papan itu, ada ruang kosong kecil...dan di sana...terdapat sebuah bungkusan kain hitam.“Ambil, Le,” kata Ustad.“Tapi ingat, jangan baca isinya. Bawa ke tengah ruangan, dan duduk.”Aku angkat kain itu. Berat.Dalamnya keras, seperti batu atau logam.Tapi ada hawa dingin keluar dari dalamnya. Bukan dingin biasa.Dingin yang menusuk tapi gak membuat sakit.
Aku duduk.Dan detik itu...Lampu padam sendiri.Bau amis menyebar.Dan dari atas genteng, terdengar bunyi langkah.Bukan tikus. Bukan kucing. Tapi... berat dan pelan.
“Krak... krak... krak...!!”
“Suryo...” suara Ustad dari belakang.“Jangan takut. Tapi juga jangan terlalu berani.Hadapi, dengan niat terang.Kalau takut, akui. Tapi jangan lari.”Aku pegang bungkusan itu erat-erat.Tiba-tiba dari depan...bayangan hitam muncul.Tinggi. Rambutnya menjuntai.Wajahnya... gak jelas. Tapi matanya putih semua.
Dia menatapku dari kejauhan.Diam. Tapi aura tekanan itu terasa...seperti ditindih karung beras, tapi yang menindih bukan benda melainkan rasa bersalah.Dalam hatiku, muncul pikiran:
“Jangan sakiti aku...Aku hanya disuruh ambil benda ini...“Kalau kau ingin tenang...mari kita sama-sama pulang.”Bayangan itu mendekat.Tapi sebelum menyentuhku...badanku bergerak sendiri.Tanganku membuka bungkusan itu.Di dalamnya, sebuah cermin kecil dan pecahan kitab tua.Aku mengangkat cermin itu, dan...bayangan itu melihat ke dalamnya.
Tiba-tiba...!!
Dia... menangis.Suara tangis seperti anak kecil kehilangan ibu.Pelan.Tapi menghantam sampai ke hati.“Aku dulu juga murid...“Tapi aku salah langkah.Aku menyimpan rasa iri,dan akhirnya... aku dikubur bersama kesombongan.”Bayangan itu perlahan memudar.Dan hanya meninggalkan embun di lantai.Embun... dan satu helai rambut panjang.
Lampu menyala.Ustad Wahid duduk di belakangku.Menatapku dengan senyum damai.“Itulah... ujianmu.Kamu bukan melawan makhluk.Kamu melawan luka masa lalu yang belum tuntas.”“Itu bukan setan. Tapi ruh kecewa.Dan kamu berhasil... bukan karena kamu sakti.Tapi karena kamu mau mengulurkan tangan pada yang tak bisa bicara.”
Kami duduk diam.Angin berembus.Dan untuk pertama kalinya,aku merasa... selesai.Selesai sebagai murid.Tapi mulai sebagai pengelana.Sebelum tidur, aku bercermin sebentar.Dan kulihat wajahku.Kurus. Kumal.Tapi... matanya tenang.
Dan malam itu...aku tidur di pondok,dengan hati yang pulang ke dirinya sendiri.
✧✦✧