PENGELANA KAROMATHUL GHOIB 15
Pagi itu, matahari muncul malu-malu dari balik awan.Kabut masih menggelayut di ujung pohon,dan suara ayam jantan terdengar… telat setengah jam.Entah ayamnya kesiangan, atau semalam terlalu banyak pikiran.Aku berdiri di depan pondok.Tas kecil tergantung di punggung, dan di tangan... masih kupeluk kitab tua yang sejak awal menuntunku sampai ke sini.
Ustad Wahid duduk di kursi bambu, minum teh.Di depannya…tongkat kayu coklat gelap, ujungnya melengkung, dan penuh ukiran sederhana.“Ini buat kamu, Le,” katanya.“Tongkat ini bukan buat gaya.Tapi buat penanda.Bahwa kamu... sekarang pembawa amanah.”
Aku terdiam.Bukan karena bingung.Tapi karena... berat rasanya ninggalin pondok ini.Tempat di mana aku menemukan ketenangan pertama kali dalam hidup.Di mana aku gak lagi dipandang dari ijazah atau isi dompet.Tapi dilihat dari hati yang mau berubah.
“Ustad...” suaraku pelan.“Kalau nanti saya gagal, gimana?“Kalau saya takut...kalau saya dibenci orang...kalau saya dikira dukun...”Ustad Wahid tersenyum.Beliau letakkan cangkir teh.Menyeka sedikit air mata di ujung kelopak,tapi pura-pura garuk hidung khasnya orang tua yang gengsi nangis.
“Suryo... kamu akan gagal.Dan itu wajar.“Tapi orang yang gagal dan tetap jalan,lebih mulia daripada orang yang gak pernah gagal… karena dia gak pernah mencoba.“Orang yang kamu tolong nanti,belum tentu berterima kasih.Malah bisa jadi menghina.Tapi... tolonglah juga.“Karena kamu bukan penyelamat...kamu cuma pengingat.Bahwa manusia ini... terlalu sering lupa.”
Kami diam.Angin lewat.Dan tiba-tiba...!!
“BUK!”
Seekor ayam kampung numpang lewat depan pintu, nyenggol kendi air sampai tumpah.Aku kaget.Ustad melotot.“Nah, itu tanda alam...“Pergilah sebelum ayam-ayam ini ngajakmu sparring.”Aku tertawa.Ustad pun tertawa.Tangis dan tawa, dalam satu nafas.Kayak hidup kita semua gado-gado rasa, kadang asin, kadang pedes, kadang enak, kadang... nyesek.
Sebelum turun dari tangga pondok,Ustad Wahid memberi pesan terakhir:
“Ingat, Le...Ilmu Karomathul Ghoib bukan tentang bisa lihat jin,tapi bisa lihat hati sendiri.Bukan tentang gerakan silat,tapi bagaimana kamu bisa diam saat niatmu kotor.Dan bukan soal bisa menyembuhkan,tapi soal keberanian menolong…meski kamu sendiri belum sembuh sepenuhnya.”
Aku melangkah pelan.Tongkat di tangan.Angin lereng gunung menyambut seperti sahabat lama.Dan dalam hati...aku bukan lagi Suryo si pengangguran.Tapi Suryo si pengelana.Yang tak lagi mencari…tapi sudah mulai memberi.
Catatan kecil dalam note harianku hari itu :
“Perpisahan bukan akhir.Tapi gerbang menuju bagian hidup berikutnya.Yang sempit bukan jalannya,tapi hati kita yang belum siap melangkah.”
Hari itu aku jalan kaki menyusuri jalan tanah.Tongkat di tangan kanan, tas di bahu, dan kitab tua dibungkus kain putih di dalam ransel.Tak ada musik latar.Cuma suara angin dan bunyi daun jatuh dari pohon randu yang tua sekali.Aku meninggalkan pondok Ustad Wahid.
Tapi bukan sekadar meninggalkan tempat,aku seperti meninggalkan versi lamaku yang dulu sok kuat padahal rapuh.Yang suka menyalahkan hidup, padahal lupa bercermin.
Tiba di kota...Langsung terasa asing.Bunyi klakson bersahutan.Orang jalan cepat-cepat.Tak ada yang peduli siapa kamu.Tak ada yang menyapa seperti di kampung.Semua sibuk… seperti sedang dikejar sesuatu. Tapi entah apa.Aku duduk di pinggir taman.Mikir mau ke mana.Uang di kantong tinggal lima belas ribu.Cukup buat makan sekali, atau… buat naik angkot dua kali tanpa makan.
Tiba-tiba, ada suara cewek dari belakang.“Mas, maaf, boleh pinjam korek?”Aku kaget.Cewek muda, rambut pendek, tatapan kosong. Di tangannya... rokok sudah nyala.“Eh... itu udah nyala...“Iya, saya tahu,” katanya sambil senyum miris.“Saya cuma pengen ngobrol. Gak ada yang mau dengerin saya, jadi saya pakai alasan bodoh.”
Aku diam.Cewek ini... bukan sembarang orang.Tatapan matanya kayak orang yang pernah tenggelam dalam gelap.Kami duduk di taman.Dia cerita, pelan.Pernah hampir bunuh diri. Pernah kehilangan anak. Pernah ditinggal suami.Dan sekarang...hidupnya hanya sisa rutinitas kosong dan rokok filter.
Aku tak banyak bicara.Cuma dengarkan.Lalu kutarik botol air dari tasku,kumasukkan setetes air dari kendi pondok.Air itu... hasil doa malam terakhir di pondok Ustad Wahid.
“Minum ini...“Apa ini?“Air. Tapi... mungkin bisa nyiram luka yang sudah lama kamu pendam.”Dia minum.Lalu diam.Lalu...menangis.Tapi bukan tangis keras.Tangis orang yang sudah terlalu lama gak punya tempat untuk bernafas.Aku tinggalkan dia di bangku taman.Sebelum berpisah, dia bilang:
“Aku gak tahu siapa kamu...Tapi terima kasih,malam ini aku gak pengen mati lagi.”Aku melangkah pelan.Malam mulai turun.Lampu kota menyala satu-satu.Dan aku sadar...Ternyata, kota ini pun butuh pengelana.Bukan untuk menyembuhkan semua orang.Tapi cukup... menemani mereka yang sedang jatuh.Tanpa menghakimi. Tanpa pamer ilmu.
Catatanku malam itu:
“Kadang, seseorang gak butuh diselamatkan.Dia cuma butuh ditemani...sampai dia sendiri mau bangkit lagi.”
Malam itu, Suryo menginap di mushola terminal.Bukan karena kehabisan ongkos.Tapi karena...hatinya pengen diam sebentar.Dari pagi keliling kota, gak nemu arah.Orang-orang terlalu sibuk buat menoleh.Motor lewat, mobil padat, tapi tak ada yang benar-benar sampai.
Mushola itu kecil.Ada tiga sajadah, satu kipas rusak, dan lampu neon berkedip.Tapi hangat.Lebih hangat dari trotoar, lebih jujur dari hotel bintang lima.Saat sedang duduk,Suryo lihat seorang anak kecil duduk di pojok.Pakai kaos lusuh, celana gombrang, rambutnya awut-awutan.Tapi wajahnya bersih. Tatapannya... tajam!.
“Mas...” katanya pelan.“Kenapa kamu sedih?“Eh? Aku gak sedih, Dek.“Bohong.“Lho?“Sedihmu kelihatan dari cara kamu duduk.”Suryo bingung.Anak ini siapa?Ngapain di mushola malam-malam sendirian?“Kamu... tinggal di sini?“Iya. Tapi gak tidur.“Kenapa?“Karena aku... gak bisa tidur sejak kecelakaan itu.”
Suryo merinding.Cahaya lampu makin temaram.Jam di dinding berdetak keras.Dan detik itu, Suryo sadar...Anak ini bukan anak biasa.Anak itu berdiri.Jalan pelan ke arah Suryo.“Dulu aku pengen ke luar kota.Tapi mobil yang aku tumpangi nabrak truk.Ibuku selamat, tapi aku...gak sempat pamit.”
Dia senyum.Senyum yang... bikin dada sesak.“Orang-orang sering lihat aku, tapi gak sadar.Kadang aku bantuin ibu-ibu bawain tas,tapi gak pernah ada yang ngucapin makasih.Karena... mereka pikir aku cuma bayangan.”Suryo hampir nangis.“Kamu pengen apa sekarang?”
“Aku cuma pengen satu hal...Ada yang mau doain aku pakai namaku.”Suryo menarik napas.Lalu membuka kitab.Membaca doa.Bukan panjang.Tapi dari hati.Anak itu duduk. Menunduk.Matanya basah. Tapi senyumnya tenang.Dan perlahan...dia menghilang.Azan subuh berkumandang.Suryo masih duduk.Tapi hatinya... seperti baru lahir kembali.Saat keluar mushola,penjaga warung nanya:
“Lho Mas... ngapain semalam di mushola?“Tidur. Sama anak kecil...”Penjaga warung terdiam.Matanya mengecil.“Mushola itu... udah lama kosong, Mas.Dan anak kecil?Sejak tiga tahun lalu... gak pernah ada yang tinggal di sana.”Suryo melangkah pelan.
Langit mulai terang.Dan dalam hati...ia mulai paham,ilmu ini bukan buat nampak hebat.Tapi buat menemani yang tersesat.
Catatan pagi itu:
“Kadang, tugas kita di dunia ini bukan jadi orang besar.Tapi jadi cahaya kecil di pojok mushola,yang membantu satu jiwa... pulang dengan tenang.”
Pagi itu, Suryo duduk di bawah pohon di samping pasar.Tongkat bersandar, dan air putih sisa semalam didekap di pangkuan.Ia masih belum tahu mau ke mana,tapi hatinya tahu: "Tunggu saja... nanti juga datang sendiri."Benar saja.Seorang ibu mendekat.Wajahnya lelah. Tangannya kasar. Bajunya basah oleh cucian.
“Mas... maaf ganggu.“Saya tadi lihat Mas baca doa di mushola...Boleh saya minta tolong?”Suryo menatap wajahnya.Perempuan paruh baya. Mata sayu. Tapi penuh harap.Ibu ini... bukan cari pengobatan mahal. Bukan cari pertunjukan.Dia cuma cari... sedikit pertolongan.
“Anak saya, Mas...namanya Fahri. Umur delapan tahun.Sejak tiga bulan lalu... gak mau bicara. Gak mau makan.Kayak orang kosong.“Dokter bilang gak apa-apa...Tapi saya tahu, Mas. Saya ibunya.Anak saya ada yang ganggu.”Suryo mengangguk pelan.“Saya cuma orang biasa, Bu. Saya juga belum banyak pengalaman...”
“Gak apa-apa, Mas.Kalau Mas gak bisa bantu...minimal saya lega udah nyoba.”Di sinilah ujian batin Suryo dimulai.Ia ikut ibu itu naik angkot.Masuk gang sempit.Lewati rumah-rumah berdinding triplek dan bau got yang tergenang.
Sampai di rumah...Fahri duduk di pojok.Matanya kosong.Pakaiannya lusuh.Mulutnya diam.Bola mainan di dekatnya... tidak disentuh.Senyumnya... hilang.“Dia begini terus, Mas. Kadang nangis malam-malam.Kadang bicara sendiri,tapi bukan pakai suara dia...”
Suryo duduk dekat Fahri.Mengambil air putih dari tas.Membaca doa Karomathul Ghoib.Pelan. Tapi khusyuk.Seolah ia bicara ke hati... bukan hanya membaca dari lidah.
Tiba-tiba...!!
Fahri menoleh.Tapi yang kulihat... matanya beda.Tatapannya seperti orang dewasa.Tajam. Marah. Takut. Campur jadi satu.“Kau siapa?”Suaranya pelan, tapi bukan suara anak-anak.“Kenapa kau datang Ini bukan urusanmu!”Suryo gemetar.Tapi hatinya tetap tenang.Ia tahu…ini bukan anak kecil yang bicara.
“Saya gak datang untuk berkelahi...Saya datang untuk menjemput Fahri.“Kalau kamu bukan bagian dari dia...pergilah !!”Tiba-tiba...Fahri menjerit.Tubuhnya menggigil.Lalu... pingsan.Ibu itu menjerit pelan.“Mas! Anak saya!”Suryo menenangkan.“Tenang, Bu. Dia gak apa-apa.Dia sedang dibersihkan.Bukan karena saya sakti...Tapi karena hatinya, dan hati Ibu, sudah membuka pintu."
Beberapa menit kemudian,Fahri terbangun.Dan untuk pertama kalinya...dia menangis.Bukan karena kerasukan.Tapi karena rindunya pada ibunya sendiri.
“Bu...“Iya, Nak. Ibu di sini...”Mereka berpelukan.Tangis itu meledak di tengah rumah kecil.Tangis dari hati yang ketemu lagi setelah lama terhalang kabut tak kasat mata.Suryo keluar.Langit cerah.Hatinya juga terang.
Dan ia menulis di catatan kecilnya :
“Terkadang, hantu yang mengganggu bukan dari luar.Tapi dari luka dalam diri... yang tak pernah sempat diobati.Dan ibu... adalah doa paling mujarab di bumi ini.”
Pagi itu, Suryo duduk di bangku taman.Langit belum tinggi. Embun masih menempel di ujung rumput.Ia baru saja menyelesaikan subuh di mushola pinggir jalan,dan masih menyimpan perasaan aneh sejak malam sebelumnya.Bukan takut.Bukan gelisah.Lebih seperti...“Ada sesuatu yang mau datang, tapi belum tahu dari mana.”
Dari kejauhan, ia melihat seorang pengemis tua.Duduk bersila di bawah pohon besar.Kepalanya tertutup sarung, dan di tangannya... bukan kaleng recehan,melainkan tasbih kayu yang sudah aus.Suryo mendekat.Pengemis itu tidak minta uang. Tidak merengek.Hanya duduk diam, seolah sedang menunggu seseorang.
“Pak... sendirian?“Iya, Nak. Tapi saya gak pernah merasa sendiri.”Suaranya dalam.Tapi bukan berat karena usia.Melainkan berat karena menyimpan terlalu banyak diam.“Sudah lama di sini?“Lama... sangat lama. Tapi belum tentu lama di mata orang.“Saya hanya singgah,menunggu satu jiwa yang datang untuk diberi kunci.”
Suryo merasa aneh.“Kunci apa, Pak?“Kunci dari langit... yang hanya bisa dipegang oleh hati yang tidak serakah.”Suryo duduk di depannya.Angin bertiup pelan.Pengemis itu mengangkat wajahnya sedikit.Dan di situ...Suryo baru sadar: matanya kosong.Ia buta.Tapi... seperti bisa melihat jauh melebihi orang yang matanya terbuka.
“Suryo...!!“Kau telah membuka gerbang.Tapi perjalananmu belum apa-apa.“Nanti kamu akan ditunjuk.Tapi jangan pernah merasa dipilih.“Karena mereka yang merasa terpilih...akan jatuh dalam perangkap tertinggi ( kesombongan batin).”
Seketika itu, tasbih di tangan pengemis itu berputar sendiri.Pelan. Tapi jelas.Lalu...ia menyodorkan sesuatu.Sebuah koin tua.Warnanya hitam keperakan, dan di tengahnya ada lambang segitiga dengan tulisan kecil :
"Dengar lebih banyak, lihat lebih dalam, bicara lebih sedikit."
“Ini bukan jimat, Le...“Ini hanya pengingat,bahwa mata bisa ditutup,tapi hati... tak bisa dibohongi.”Setelah itu...pengemis itu tertawa pelan.“Sudah cukup. Kau sudah menemuiku.Kita akan bertemu lagi...tapi bukan di dunia yang sama.”Suryo hendak bicara.Tapi begitu ia menunduk sebentar,lalu melihat kembali...pengemis itu sudah tak ada.Bangku kosong.Tasbih tak tersisa.Koin tetap di tangan.
Malamnya,Suryo menulis:
“Tak semua yang tampak hina, butuh dikasihani.Kadang, mereka hanya sedang menyamar...untuk menguji siapa di antara kitayang masih punya hati.”
Siang itu, Suryo diajak oleh seorang kenalan seorang bapak dari masjid kecil untuk menengok majikannya.“Mas Suryo,” kata Pak Imam, “ada keluarga kaya yang butuh bantuan.Anak tunggalnya... aneh !.Bukan kesurupan biasa. Tapi kayak... hilang jiwanya.“Dokter gak bisa. Psikiater pun angkat tangan.
Kata mereka, ini ‘bukan medis’.Suryo hanya mengangguk.Langkahnya tenang.Batinya diam.Karena ia tahu, semakin besar rumah... belum tentu semakin terang jiwanya.Rumah itu luas.Tinggi. Mewah.Pagar besi. Mobil berjajar.Tapi hawa di dalamnya... kosong.Langit-langit tinggi, tapi suasananya sunyi.Seperti istana hampa yang dibangun dari pencapaian, tapi lupa disirami cinta.
Suryo dipersilakan masuk ke kamar si anak.Namanya Tama. Usia 17 tahun.Sejak enam bulan terakhir... tidak bicara. Tidak tersenyum.Dan... tidak tidur dengan benar.Dia hanya menatap tembok.Tiap malam teriak.Tapi tiap pagi... diam seperti boneka.Ibunya duduk di pojok kamar.Wajahnya cantik, tapi lelah.Ayahnya... sibuk di kantor. Tidak hadir.
“Saya... dulu terlalu sibuk,” ucap sang ibu lirih.“Saya pikir... uang, sekolah bagus, makanan sehat...sudah cukup.”Tapi saya lupa... pelukan.Saya lupa menemaninya saat dia sedih.”Suryo duduk dekat ranjang.Tama menoleh sebentar.
Dan seketika..!! ia menatap tepat ke arah mata Suryo.“Jangan usir aku...”Di sini tenang.“Jangan paksa aku pulang ke tubuh itu.”Suryo merinding.Tapi hatinya tetap tenang.Karena kalimat itu...bukan dari roh jahat. Tapi dari jiwa Tama sendiri... yang kabur.Suryo membaca pelan.Doa Karomathul Ghoib mengalir dari mulutnya,bukan seperti mantra,tapi seperti ibu membacakan dongeng ke anak yang takut gelap.
“Tama...!! bukan dunia yang meninggalkanmu.Tapi kamu yang menutup pintunya.Ayo buka lagi pelan-pelan.Di luar, ada ibu yang menyesal...dan masih mau menebus semuanya.”Tubuh Tama bergetar.Tangannya mencengkeram selimut.Mata yang tadinya kosong... mulai basah.
“Kenapa... baru sekarang?”Kenapa dulu semua sibuk?”Suryo mengangguk pelan.“Karena kadang...orang baru sadar,saat kehilangan sudah hampir penuh.“Tapi... lebih baik terlambat minta maaf,daripada terus melanjutkan penyesalan.”
Tama menangis.Ibu di pojok kamar ikut menangis.Dan untuk pertama kalinya,tiga jiwa saling mendengar tanpa perlu suara keras.Suryo tidak menyembuhkan siapa-siapa.Tapi ia membuka kunci.Kunci yang tak bisa dibeli.Hanya bisa diberi... dari hati ke hati.Saat ia pamit, ibu Tama menggenggam tangannya.
“Terima kasih, Mas...“Kami gak bisa bayar...”Suryo senyum.“Bu, saya bukan datang bawa harga.Saya datang karena... saya juga pernah hampa.Dan sekarang, saya cuma mau bantu orang lain menyalakan lilin kecilnya.”
Keluar dari rumah itu,langit mulai senja.Dan untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir...angin sore terasa seperti bisikan:‘Pulanglah, Le… Sudah waktunya.’
Catatan dalam buku kecilku :
“Banyak orang bilang: kesurupan itu menakutkan.Tapi yang lebih menakutkan adalah…jiwa yang diam tapi sekarat.
Di dunia ini, banyak orang waras secara medis,tapi sudah lama hilang arah.Dan tugas kita bukan menyembuhkan semua…tapi menemani mereka kembali ke dirinya sendiri.”Itulah tanda-tanda awal dari misteri yang belum terpecahkan.
✧✦✧