PENGELANA KAROMATHUL GHOIB 7
TIDUR DI MAKAM DAN DIKETAWAIN HANTU ANAK-ANAK
Malam itu, Ustad Walid duduk di teras.Dari siang beliau gak banyak bicara. Cuma nyapu halaman, ngerokok lintingan, dan sesekali ngelus kucing kampung yang suka nyolong ikan asin.Tapi malam itu...beliau manggilku pelan.
“Suryo... malam ini kamu belajar hal yang gak ada di kitab. Tapi ada di rasa.”Belajar apa,Ustad?”Belajar... percaya.”Bawa sajadah. Kita jalan.”Aku ikut saja.Langkah beliau pelan, tapi pasti.Lalu aku sadar... kami menuju belakang bukit.Semakin lama... semakin sepi.
Udara makin dingin. Rumput makin tinggi.Sampai di depan kami, terbentang... pemakaman tua.Kuburan-kuburan kecil, sebagian udah doyong, banyak yang batu nisannya gak ada tulisan.Lampu remang cuma satu, dari rumah warga jauh di bawah.“Di sini?” tanyaku pelan.
“Iya. Di sini.Malam ini kamu tidur di tengah makam. Gak usah dzikir tinggi-tinggi. Gak usah wirid panjang-panjang. Cukup duduk, pejamkan mata, dan dengarkan apa yang ingin bicara.”
Aku ingin protes !.Tapi tatapan Ustad Walid lembut sekali.Seolah beliau bilang: “Tenang... kamu gak sendiri.”Jam 11 malam, aku duduk di antara dua nisan.Satu milik "Mbah Saminah", wafat tahun 1963.Yang satunya cuma batu tanpa nama.Di bawah pohon asem, dan tanahnya agak lembab.Aku pejamkan mata.Awalnya biasa saja.Angin lewat pelan.Suara kodok jauh-jauh.
Tapi tiba-tiba..."Huhuhuhuhuhuuu…"Ada suara tangis kecil.Lalu..."Hihihi... ayo tangkap diaaa!"Disusul tawa cekikikan anak-anak.Aku buka mata.
Kosong!.Tapi di pojok makam, di balik nisan doyong... ada bayangan kecil-kecil lari.Lari sambil loncat-loncat.Kayak main petak umpet.Aku gemetar.Tapi anehnya, rasa takut gak datang.Yang datang justru... haru.Karena tawa itu...tawa anak-anak.Tapi sunyi.Tertahan.Seolah mereka pengin diajak main... tapi udah terlalu lama gak ditemani siapa-siapa.
“Hei... kamu siapa?” tanyaku pelan.Mereka berhenti.Satu anak kecil, tubuhnya samar, bajunya lusuh, rambut acak-acakan...duduk di depanku.Matanya kosong. Tapi ada satu kalimat lirih keluar :“Kami... anak-anak yang gak sempat pulang.”
Aku terdiam !.Dan malam itu, aku menangis dalam sunyi.Bukan karena takut.Tapi karena untuk pertama kalinya...aku merasa paling hidup justru saat duduk di antara mereka yang mati.Pagi harinya, Ustad Walid datang bawa termos teh.“Gimana rasanya tidur bareng yang gak pernah tidur?”
Aku tersenyum, wajahku kusut.“Ustad... mereka baik. Gak jahat.Cuma... kesepian.”Beliau mengangguk.“Ilmu Karomathul Ghoib bukan buat lihat jin.Tapi buat ngerti yang manusia aja udah lupa...Bahwa setiap jiwa pernah kecil, pernah sendiri,dan cuma butuh didengar.”
Sejak malam itu...aku gak lagi takut sama gelap.Karena kadang...yang paling butuh cahaya bukan hantu,tapi manusia yang hidup tapi hatinya gelap terus-terusan.
KUNTILANAK PERTAMA DAN CELANA BASAH SURYO
Hari itu,Ustad Walid ngajari aku satu doa pendek.Kata beliau, ini awal pembuka ilmu pandangan batin.Gak berat, gak pake bahasa tinggi.Cuma beberapa kalimat Arab yang ringan di lidah.“Doa ini jangan dibaca buat gagah-gagahan, Le,” kata beliau.“Bukan buat pamer, bukan buat takutan orang.
Tapi biar kamu bisa lihat yang tersembunyi... supaya ngerti, bahwa dunia ini gak kamu miliki sendirian.”Aku angguk-angguk. Dalam hati: “Ah, paling-paling gak ngefek...”Malamnya, aku duduk sendirian di samping mushola kecil pondok.Tempat sepi. Di depanku cuma pohon jambu yang daunnya rontok, dan suara jangkrik bersahutan.
Kubaca doa itu pelan-pelan.Satu kalimat... dua kalimat... tiga kalimat...Awalnya biasa aja.Angin lewat. Dedaunan bergesek pelan.Tapi setelah bacaan selesai...
Aku duduk diam.Jantung deg-degan.Leher merinding.Dan tiba-tiba...Sesuatu terbang melintas cepat, dari pohon jambu ke atas atap!Bayangannya putih.Rambut panjang.Kainnya melambai... seperti... kain kafan!
“AAAAAAAAAA!!!”
Aku teriak, lompat dari tempat duduk.Langkahku kacau, sandal satu ketinggalan.Aku lari masuk mushola...tapi sebelum sampai pintu CROOOT !!.Aku beku.Panas di paha.Hangat... dan basah.Aku NGOMPOL.Iya, ngompol beneran.Seumur hidupku, terakhir aku ngompol itu waktu SD kelas dua.
Tapi malam itu... gara-gara penampakan kuntilanak perdana,aku pecah rekor pribadi.Ustad Walid dateng pelan sambil bawa minyak kayu putih.“Kamu lihat?” tanyanya.“L-l-lihat, Ustad... putih... terbang... wajahnya gak jelas... suaranya kayak bisikan... hiiiih...“Itu memang kuntilanak.
Tapi dia cuma lewat. Gak ganggu.Kamu yang panik, Le.”Aku diem. Malu.“Tapi Ustad... kok saya ngompol ya? “Itu tandanya... kamu manusia.”Gak semua orang siap lihat dunia ghaib meski udah baca doanya.Lha wong jin aja kadang takut sama manusia yang kelihatan serem waktu marah.”
Beliau ketawa. Aku cengar-cengir kaku.Celana basah. Harga diri kuyup.Malam itu, Ustad Walid menyuruhku mandi air sumur.Bukan buat syarat aneh-aneh. Tapi ya biar gak bau pesing katanya.Aku nurut.Tapi dalam hati... aku mulai sadar.Ini bukan sekadar ilmu. Ini perjalanan jiwa.
Dan ternyata..!! melihat hantu itu gak seperti di TV.Aslinya?Ngeri, lemes, terus... kencing.Sejak kejadian itu,aku jadi paham satu hal :
Bukan seberapa kuat doamu,tapi seberapa siap hatimu melihat apa yang selama ini disembunyikan dari pandangan.
WARUNG SOTO DAN WANITA YANG TIBA-TIBA MENANGIS
Hari itu aku diajak Ustad Walid ke warung soto milik seorang janda tua di kampung bawah.Warungnya sederhana.Bangku panjang dari kayu, meja dari triplek yang udah disangga batu bata.Ibu pemilik warung itu namanya Bu Narsih.Umurnya sekitar lima puluh lebih.Tiap pagi jualan soto, sore nyuci piring sendiri, malam kadang baca yasin sendirian di warung.
“Warung ini kenapa, Bu?” tanya Ustad.“Entah, Ustad...” jawab Bu Narsih pelan.“Tiap ada pembeli duduk di pojok situ...” beliau nunjuk ke bangku sebelah kendi “...gak lama pasti pucat, terus nangis... ada yang pingsan, ada yang muntah.”Aku duduk di situ.Cuma sebentar.Dan entah kenapa... badanku dingin.Mataku berat.Telingaku seperti mendengar suara tangis kecil... lirih... jauh...“Ibuu... Ibuuu... jangan tinggalin aku...”
Aku langsung merinding.Sore itu, datanglah seorang perempuan muda, beli soto.Duduk pas di bangku sebelah kendi.Baru sendok pertama,tiba-tiba tangannya gemetar.Matanya berkaca-kaca.Terus... menangis kencang.“Maaf... saya gak tahu kenapa, Bu...Tapi... saya sedih banget... kayak ada yang kehilangan...”Orang-orang mulai panik.
Ustad Walid berdiri, ngasih isyarat supaya semua tenang.Beliau dekati perempuan itu.Dipegang pundaknya, dibacakan doa pelan.Sambil kuusap air putih yang udah dibacakan doa, kutaruh di tangannya.Perempuan itu mendadak lemas... lalu tertidur di bangku.
Ustad duduk pelan.“Warung ini pernah jadi tempat orang meninggal, Bu...“Beberapa tahun lalu, ada seorang anak kecil yang ditinggal ibunya makan di sini.Ibunya gak balik-balik, karena ketabrak motor pas nyebrang.Anaknya terus duduk di sini sampai ketiduran.Dan malamnya... meninggal karena masuk angin dan kelaparan.”
Suasana hening.Bu Narsih menunduk.Matanya berkaca-kaca.“Saya gak tahu, Ustad... saya gak tahu...”Ustad Walid senyum kecil.“Tidak apa-apa. Arwah itu tidak marah.Dia hanya butuh didoakan,supaya rasa kehilangannya bisa selesai.”Malam itu, kami baca yasin di warung.
Doa sederhana.Air putih ditaruh di kendi.Dan aku...duduk di bangku tadi.Kali ini... hati terasa hangat.Tangis itu...sudah gak terdengar lagi.Yang tersisa cuma angin pelan, dan aroma soto yang hangatkan tubuh.
Di buku catatanku malam itu, kutulis:
“Kadang... yang kerasukan itu bukan tubuh.Tapi kenangan.Yang belum sembuh,yang belum dipulangkan.Dan doa... adalah tiket satu arah menuju ketenangan.”
RUMAH KOSONG PENINGGALAN DUKUN
Suatu sore, Ustad Wahid mengajakku turun ke kampung bawah.Jalan setapak yang kami lewati sunyi, ditutupi rumput liar dan daun jati kering.Langit mendung. Burung-burung seperti enggan terbang.“Kita ke rumah tua, Le,” kata Ustad sambil pelan.“Dulu pemiliknya pernah belajar ilmu, tapi jalannya melenceng.
Sekarang kosong. Tapi energinya masih nempel.”Aku diam.Hati gak enak, tapi juga penasaran.Rumah itu berdiri di ujung kampung.Tertutup ilalang, jendelanya pecah separuh.Cat temboknya mengelupas, dan halaman depannya... sunyi.Tapi bukan sunyi biasa.Sunyi yang bikin telinga terasa berdenging.
“Dulu pemilik rumah ini belajar ke gunung.Punya kemampuan... bisa manggil 'penunggu'.Tapi makin lama, dia malah jual jasa, minta mahar,bahkan ngelukai hewan buat ritual,” jelas Ustad.“Dia meninggal sendirian.Badannya gak ditemukan tiga hari.Sekarang rumah ini... gak ada yang berani nempatin.”
Kami masuk.Ustad di depan, aku di belakang.Langkahku ringan... tapi jantungku berat.Lantai rumah dingin. Bau apek dan kemenyan masih nyisa.Di dalam...hanya satu meja, tikar usang, dan cermin retak menggantung di dinding.Lalu… terdengar suara dari pojok ruangan.
"Hhh... hhh..."Napas. Pelan.Tapi jelas.Suara... seperti orang sedang tidur, tapi bukan manusia.“Duduk, Le,” kata Ustad.“Tenangkan hati. Baca doa pelan. Buka jiwamu.”Aku duduk di tikar.Pejamkan mata.Baca pelan doa Karomathul Ghoib yang kuhafal dari hari-hari sebelumnya.
Satu kalimat...dua kalimat...lalu...
Bayang-bayang muncul.Duduk di pojok.Lelaki tua, berjubah hitam.Wajahnya samar.Tangannya luka-luka.Dan dari tubuhnya... keluar suara tangis.“Aku dulu cuma pengin dihormati...Tapi aku salah jalan...“Aku masih di sini,karena gak ada yang mau doain aku...“Mereka cuma takut.Padahal aku... cuma pengin pulang.”
Aku buka mata.Tapi... Ustad Wahid masih duduk tenang.Dan rumah itu... tetap sepi.“Kamu lihat dia?” tanya Ustad.Aku angguk.“Bukan semua orang bisa. Tapi kamu bisa.Itu artinya... jiwamu udah mulai terbuka.”
Malam itu, kami berdoa di rumah itu.Minta ampunan untuk si pemilik lama.Menyalakan dupa wangi, bukan kemenyan.Bacaan doa lembut, bukan suara keras.Lalu... kami tinggalkan rumah itu tanpa takut.
Dalam perjalanan pulang, Ustad berkata,“Banyak tempat seperti itu di dunia ini, Le.Bukan tempatnya yang jahat...tapi niat manusianya yang bikin kotor.“Ilmu Karomathul Ghoib,bukan untuk jadi pawang setan.Tapi untuk jadi pawang hati sendiri.”
Dan aku belajar satu hal malam itu:
“Kadang, yang paling menyeramkan bukan makhluk halus.Tapi manusia yang memakai ilmu untuk menindas,bukan untuk menolong.”
✧✦✧